Tafsir Surat Al-Baqarah, ayat 94-96

Al-Baqarah, ayat 94-96

قُلْ إِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ عِنْدَ اللَّهِ خَالِصَةً مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

وَلَنْ يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ ۗ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu sela­ma-lamanya karena kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang­orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka, setamak-tamak manusia kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih tamak lagi) daripada orang-orang musyrik. Masing-ma­sing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Mu­hammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.:

Katakanlah, "Jika kalian (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar." (Al-Baqarah: 94)

Yakni berdoalah kalian untuk minta segera dimatikan. Khitab ini ditujukan kepada kedua belah pihak, yakni orang-orang Yahudi dan kaum muslim. Dengan kata lain, manakah di antara kedua golongan itu yang berdusta. Ternyata mereka menolak hal tersebut di hadapan Rasulullah Saw.

Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu sela­ma-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. (Al-Baqarah: 95)

Maksudnya, Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya perihal penge­tahuan mereka mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh diri mereka sendiri, bahkan mereka mengetahui kekufuran diri me­reka terhadap agamanya sendiri. Disebutkan, seandainya mereka be­nar-benar menginginkan kematian di saat Allah berfirman demikian terhadap mereka, niscaya tiada seorang pun dari kalangan Yahudi di muka bumi ini melainkan pasti binasa saat itu juga.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman­Nya, "Fatamannawul mauta," artinya minta matilah kalian.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al­Jazari, dari Ikrimah sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Maka inginilah kematian (kalian) jika kalian memang benar. (Al-Baqarah: 94)

Sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, niscaya mereka akan mati semua­nya."

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta­nafisi, telah menceritakan kepada kami Agga-m yang mengatakan bah­wa ia pemah mendengar dari Al-A'masy, yang ia yakini bahwa Al­A'masy mendengarnya dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Seandainya mereka benar-benar mengingini kematian, niscaya seseorang dari mereka menelan kem­bali air ludahnya (dahaknya)." Sanad dari semua riwayat tersebut me­mang sahih sampai kepada Ibnu Abbas.

Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah sampai se­buah riwayat kepada kami bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Seandainya orang-orang Yahudi itu mengingini kematian, nisca­ya mereka semua mati dan niscaya mereka akan melihat tempat kediaman mereka di neraka. Dan seandainya orang-orang yang diajak ber-mubahalah oleh Rasulullah Saw. keluar, niscaya me­reka akan kembali tanpa menemukan keluarga dan harta benda­nya lagi.

Hadis ini diceritakan kepada kami oleh Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. Imam Ahmad ibnu Ismail ibnu Yazid Ar-Raqi telah meriwayatkannya pula bahwa telah menceritakan ke­pada kami Furat, dari Abdul Karim dengan lafaz yang sama.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan yang mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt., "Mereka (orang-orang Yahudi) sama sekali tidak akan mengingini kematian itu karena ke­salahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri." Aku (Abbad ibnu Mansur) bertanya, "Bagaimanakah menurutmu, se­andainya mereka mengingini kematian itu, ketika dikatakan kepada mereka, kematian kalian!' Apakah mereka akan mati ketika itu juga?" Al-Hasan menjawab, "Tidak, demi Allah, mereka sama se­kali tidak akan mati ketika itu juga, sekalipun mereka mengingini ke­matian itu. Mereka sekali-kali tidak akan mengingini kematian itu, karena sesungguhnya seperti apa yang telah kamu dengar, Allah Swt. telah berfirman:

`Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu sela­ma-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri). Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya' (Al-Baqarah: 95)."

Sanad riwayat ini yang bersumber dari Al-Hasan berpredikat garib, mengingat penafsiran yang diketengahkan oleh Ibnu Abbas r.a. me­ngenai makna ayat ini bersifat telah dipastikan, yakni menyerukan ke­pada kedua belah pihak, siapakah di antara keduanya yang berdusta; apakah mereka (orang-orang Yahudi) atau kaum muslim melalui cara mubahalah (sumpah-menyumpah). Demikianlah menurut keterangan yang dinukil oleh Ibnu Jarir, dari Qatadah, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas rahimahullah.

Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Swt. dalam surat Al-Jumu'ah, yaitu:

Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, ji­ka kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah ke­kasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkan­lah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang be­nar." Mereka tidak akan mengharapkan kematian itu selarna-la­manya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan Langan mereka sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui akan orang-orang yang zalim. Katakanlah, "Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, ketnudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia be­ritakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan." (Al­-Jumu'ah: 6-8)

Ketika mereka —semoga laknat Allah menimpa mereka— menduga bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya, serta mereka berani mengatakan, "Tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang beragama Yahudi atau Nasrani," lalu mereka diajak untuk ber-mubahalah dan mendoakan kebinasaan terhadap siapa yang berdusta di antara kedua belah pihak; yakni dari kalangan mereka atau dari kalangan kaum muslim. Ketika mereka menolak untuk me­lakukan hal tersebut, maka masing-masing orang dari kalangan mere‑

ka mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim. Sean­dainya mereka merasa yakin dengan apa yang mereka jalani, niscaya mereka berani maju melakukan mubahalah tersebut. Tetapi setelah mereka mundur, maka diketahuilah bahwa mereka berdusta.

Hal yang sama pernah diserukan pula oleh Rasulullah Saw. ter­hadap delegasi dari orang-orang Nasrani Najran sesudah hujah mere­ka dipatahkan dalam suatu perdebatan, dan mereka masih tetap ingkar serta membangkang. Rasulullah Saw. mengajak mereka untuk ber­mubahalah. Hal ini disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

Siapa yang membantahmu ten tang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Mari­lah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri­istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemu­dian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Ali Imran: 61)

Ketika mereka dihadapkan kepada suatu kenyataan, maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Demi Allah, jika ka­lian mau ber-mubahalah dengan Nabi ini, niscaya tiada seorang pun dari kalian yang matanya masih berkedip (mati semua)." Maka sejak saat itu akhirnya mereka lebih cenderung untuk perdamaian, dan me­reka bersedia membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka da­lam keadaan hina. Maka Nabi Saw. menetapkan jizyah atas mereka dan mengutus kepada mereka Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai amin (sekretarisnya).

Sama dengan makna ayat ini atau mendekatinya adalah firman Allah Swt. kepada Nabi-Nya yang memerintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik, yaitu:

Katakanlah, "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, ma­ka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya." (Maryam: 75)

Yakni barang siapa yang berada dalam kesesatan dari kalangan kami dan kalian, semoga Allah menambahkan kepadanya apa yang sudah ada baginya dan memperpanjang serta menangguhkannya, seperti yang akan diterangkan pada tempatnya nanti, insya Allah.

Adapun mengenai orang yang menafsirkan firman-Nya, "Jika ka­lian memang benat," yakni dalam pengakuan kalian itu, maka ingini­lah kematian itu. Mereka yang menafsirkan demikian tidak menying­gung masalah mubahalah, seperti yang telah ditetapkan oleh sego­longan ulama ahli kalam (ahli tauhid) dan lain-lainnya. Ibnu Jarir cen­derung kepada pendapat ini sesudah mendekati pendapat yang perta­ma (yakni yang menyinggung masalah mubahalah). Karena sesung­guhnya is telah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat berikut:

Katakanlah, "Jika kalian (beranggapan bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untuk kalian di sisi Allah, bukan untuk orang lain ...." (Al-Baqarah: 94)

Bahwa ayat ini termasuk salah satu ayat yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya sebagai hujah terhadap orang-orang Yahudi yang berada di tempat dekat tempat hijrah beliau Saw., sekaligus mengungkap kedustaan para rahib dan para pendeta mereka.

Demikian itu karena Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi­Nya untuk memutuskan peradilan yang adil dalam menangani kasus yang terjadi antara beliau dan mereka, yakni kasus perselisihan. Seba­gaimana Allah memerintahkan kepada beliau agar mengajak golongan yang lain (yakni kaum Nasrani) —di saat mereka bertentangan de­ngannya dalam masalah Isa ibnu Maryam a.s. dan mereka berdebat dengan beliau mengenainya— untuk melerai hal ini melalui mu­bahalah antara beliau dan mereka.

Untuk itu dikatakan kepada golongan orang-orang Yahudi, "Jika kalian memang benar (dalam pengakuan kalian), maka inginilah ke­matian kalian. Karena sesungguhnya kematian itu tidak merugikan kalian jika kalian memang benar dalam pengakuan kalian yang me­nyatakan bahwa kalian beriman dan kedudukan kalian dekat dengan Allah Swt. Karena dengan kematian itu niscaya Allah akan segera memberikan apa yang kalian cita-citakan dan yang selama ini kalian dambakan itu. Karena sesungguhnya setelah kalian mati, kalian terbe­bas dari kepayahan hidup di dunia ini yang penuh dengan kekeruhan dan kelelahan di dalamnya; kemudian kalian beruntung memperoleh kedudukan di sisi Allah —yaitu di surga-Nya— jika perkaranya se­perti apa yang kalian duga, bahwa kampung akhirat (surga) hanya khusus buat kalian, bukan kami. Tetapi jika kalian tidak mau melaku­kannya, maka orang-orang lain akan mengetahui bahwa kalianlah yang batal dan kamilah yang benar dalam pengakuan kami, serta ter­bukalah bagi mereka perkara kami dan kalian."

Maka orang-orang Yahudi itu menolak melakukan hal tersebut karena mereka mengetahui jika mereka mengingini kematian, niscaya mereka benar-benar binasa. Akibatnya akan lenyaplah dunia mereka, dan tempat mereka kembali kepada kehinaan selama-lamanya di ne­geri akhirat.

Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang Nasrani, mereka me­nolak diajak untuk ber-mubahalah oleh Nabi Saw. ketika mereka ber­tentangan dengan Nabi Saw. sehubungan dengan masalah Isa ibnu Maryam a.s.

Pendapat ini permulaannya memang baik, tetapi bagian terakhir­nya masih perlu dipertimbangkan. Demikian itu karena yang tersim­pul darinya tidak mengandung hujah terhadap mereka. Mengingat da­pat saja dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada kaitan antara ke­adaan mereka yang mengakui benar dalam dakwaannya dengan kon­sekuensinya yang menyatakan bahwa mereka harus mengingini kema­tian. Dengan kata lain, hubungan antara keberadaan kemaslahatan dan mengharapkan kematian bukan merupakan suatu kaitan yang lazim. Dikatakan demikian karena pada kenyataannya banyak orang saleh yang tidak mengharapkan kematian dirinya, dan bahkan is meng­inginkan untuk diperpanjang usianya agar kebaikannya bertambah dan derajatnya di surga makin tinggi, seperti yang disebutkan di da­lam salah satu hadis:

Sebaik-baik kalian ialah orang yang panjang usianya dan baik amalnya.

Alasan seperti ini memberikan kesempatan kepada mereka untuk membalikkannya kepada kita, lalu mereka dapat saja mengatakan, "Sekarang kalian —kaum muslim— berkeyakinan bahwa kalian ada­lah ahli surga, sedangkan kalian sendiri tidak mengingini kematian dalam keadaan sehat. Mengapa kalian menetapkan kepada kami hal yang kalian sendiri tidak melakukannya?"

Semua itu hanyalah bersumber dari penafsiran ayat atas dasar pe­ngertian ini. Adapun mengenai tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, sama sekali tidak memberikan pengertian seperti itu; bahkan perkataan yang ditujukan kepada mereka merupakan perkataan yang seadanya, yaitu: "Jika kalian berkeyakinan bahwa kalian adalah ke­kasih-kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain; dan bahwa kalian adalah anak-anak Allah serta kekasih-kekasih-Nya, serta kalian adalah ahli surga, sedangkan selain kalian adalah ahli neraka, maka ber-mubahalah-lah kalian untuk membuktikan hal tersebut. Berdoalah untuk kebinasaan orang-orang yang dusta dari kalangan kalian atau dari kalangan selain kalian. Ketahuilah bahwa mubahalah itu pasti akan membinasakan orang yang dusta!"

Setelah mereka merasa yakin akan hal tersebut dan mengetahui kebenaran Nabi Saw., maka mereka menolak ber-mubahalah, meng­ingat mereka merasa bahwa diri mereka dusta dan hanya bohong be­laka. Mereka dengan sengaja menyembunyikan sifat dan ciri khas Ra­sulullah Saw., dan mereka mengetahui Rasulullah Saw. sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka sendiri secara pasti. Maka ma­sing-masing mereka mengetahui kebatilan, kehinaan, kesesatan, dan keingkaran diri mereka; semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat.

Mubahalah ini diungkapkan oleh ayat ini dengan istilah tamanni, mengingat setiap orang yang merasa benar niscaya berharap semoga lawannya yang batil dibinasakan oleh Allah. Terlebih lagi jika hal ter­sebut mengandung hujah yang menampakkan dan membuktikan kebe­naran pihakny a.

Mubahalah yang diajukan ialah mubahalah bersedia untuk mati, karena hidup bagi mereka sangat berharga dan diagungkan, meng­ingat mereka menyadari keburukan tempat kembali mereka sesudah mereka mad. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu sela­ma-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh Langan (mereka) sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. Dan sungguh kalian akan mendapati mereka manusia yang paling tamak kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 95-96)

Artinya, mereka adalah orang-orang yang paling menginginkan usia panjang, karena mereka mengetahui bahwa tempat kembali mereka sangat buruk dan akibat dari amal perbuatan mereka di hadapan Allah sangat merugi. Dunia ini bagaikan penjara bagi orang mukmin, dan bagaikan surga bagi orang kafir. Mereka sangat menginginkan sean­dainya ditangguhkan dari kepastian hari akhirat, untuk itu mereka berupaya ke arah itu dengan semua kemampuan yang mereka kuasai. Akan tetapi, apa yang mereka takutkan dan mereka hindari itu pasti akan menimpa diri mereka; hingga mereka lebih tamak kepada kehi­dupan di dunia ketimbang orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang tidak memiliki suatu kitab pun. Pengertian dan takwil ini terma­suk ke dalam Bab "Mengaitkan hal yang Khusus kepada Hal yang Umum".

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mandi, dari Sufyan, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman­Nya:

bahkan (lebih loba lagi) daripada orang-orang musyrik. (Al-Ba­qarah: 96)

Yang dimaksud dengan orang-orang musyrik adalah orang-orang Ajam, yakni selain orang Arab. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis

Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat kedua­nya (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkan­nya. Imam Hakim mengatakan bahwa keduanya telah sepakat (ittifaq) dalam sanad tafsir yang dikemukakan oleh sahabat.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan tafsir firman­Nya:

Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, setamak-tamak ma­nusia kepada kehidupan (di dunia). (Al-Baqarah: 96)

Orang munafik adalah orang yang paling tamak kepada kehidupan dunia dan lebih tamak lagi daripada orang musyrik.

Masing-masing dari mereka ingin, yakni masing-masing dari orang-orang Yahudi menginginkan. Demikianlah maknanya menurut konteks ayat. Sedangkan menurut Abul Aliyah, makna `masing-ma­sing dari mereka ingin' adalah orang-orang Majusi. Pendapat ini sama dengan pendapat pertama tadi, yaitu agar diberi umur seribu tahun.

Al-A'masy meriwayatkan dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96)

Hal ini sama dengan perkataan seorang Persia, "Dah hazarsal," yang artinya sepuluh ribu tahun. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair sendiri.

Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq. Ia pernah mendengar ayahnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96)

Maknanya sama dengan ucapan seorang Ajam (Persia), "Hazarsal nu­ruz wamahrajan," semoga usia sepuluh ribu tahun penuh dengan ke­gembiraan.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

Masing-masing dari mereka ingin agar diberi umur seribu tahun. (Al-Baqarah: 96)

"Aku berharap semoga sepanjang usia mereka dipenuhi dengan dosa­dosa."

Mujahid ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan de­ngan tafsir firman-Nya:

Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96)

Yakni hal tersebut tidak dapat menyelamatkannya dari siksa. Demi­kian itu karena orang musyrik tidak mengharapkan akan dibangkitkan kembali sesudah matinya, dia selalu mencintai hidup di dunia dalam usia yang panjang. Sedangkan seorang Yahudi telah mengetahui ke­hinaan apa yang bakal diterimanya kelak di akhirat, karena is telah menyia-nyiakan ilmu yang ada pada dirinya.

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan mak­na firman-Nya:

Padahal usia panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. (Al-Baqarah: 96)

Mereka yang berharap demikian adalah orang-orang (Yahudi) yang memusuhi Malaikat Jibril.

Abul Aliyah dan Ibnu Umar mengatakan sehubungan dengan taf­sir firman ini, bahwa hal tersebut (usia panjang) tidak dapat meno­longnya dari azab, tidak pula dapat menyelamatkannya.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan tafsir firman ini mengatakan bahwa orang Yahudi itu adalah setamak-tamak manusia kepada kehidupan di dunia daripada selain mereka. Orang­orang Yahudi ingin seandainya masing-masing dari mereka diberi umur seribu tahun, padahal usia panjang itu sama sekali tidak dapat menyelamatkan dirinya dari azab Allah. Seandainya dia diberi usia sebagaimana iblis, niscaya hal tersebut tiada manfaatnya bagi dirinya, mengingat dia adalah orang kafir.

Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Al­Baqarah: 96)

Allah Mahawaspada lagi Maha Melihat semua yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, baik amal baik atau pun amal buruk; dan kelak setiap orang yang beramal akan menerima balasan yang setimpal ka­rena perbuatannya.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100