Tafsir Surat Al-Baqarah, ayat 196

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (196) }
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya  tidak berada (di  sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Setelah Allah menyebutkan hukum-hukum puasa, lalu meng-'ataf kannya dengan sebutan masalah jihad, maka mulailah Allah menjelaskan masalah manasik. Untuk itu, Allah memerintahkan agar ibadah haji dan umrah disempurnakan. Menurut pengertian lahiriah konteks menunjukkan harus menyempurnakan semua pekerjaan haji dan umrah bilamana seseorang telah memulainya. Karena itulah sesudahnya disebutkan:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ}
Jika kalian terkepung. (Al-Baqarah: 196)
Yakni jika kalian terhalang sampai ke Baitullah dan kalian terhambat hingga tidak dapat menyempurnakan keduanya (karena terhalang oleh musuh atau karena sakit). Karena itulah para ulama sepakat bahwa memasuki ibadah haji dan umrah merupakan suatu keharusan, baik menurut pendapat yang mengatakan bahwa umrah itu wajib ataupun sunat, seperti pendapat-pendapat yang ada di kalangan ulama. Kami telah menyebutkan kedua masalah ini beserta dalil-dalilnya di dalam Kitabul Ahkam secara rinci.
Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Salamah, dari Ali yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Dikatakan demikian bilamana kamu telah memasuki ihram dari rumah keluargamu. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, dan Tawus.
Disebutkan dari Sufyan As-Sauri, ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa pengertian menyempurnakan haji dan umrah itu ialah bila kamu telah berihram dari rumah keluargamu dengan tujuan hanya untuk haji dan umrah. Kamu ber-ihlal (berihram) dari miqat, sedangkan tujuan kamu bukan untuk berniaga, bukan pula untuk keperluan lainnya. Ketika kamu sudah berada di dekat Mekah, maka kamu berkata, "Sekiranya aku melakukan haji atau umrah," yang demikian itu sudah dianggap cukup, tetapi yang sempurna ialah bila kamu berangkat ihram dan tiada niat lain kecuali hanya untuk itu.
Makhul mengatakan, pengertian menyempurnakan haji dan umrah ialah memulai keduanya dari miqat-nya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa sahabat Umar pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Bahwa termasuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah ialah bila kamu meng-ifrad-kan masing-masing dari yang lainnya secara terpisah, dan kamu lakukan ibadah umrah di luar bulan-bulan haji, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)
Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Aun bahwa ia pernah mendengar Al-Qasim ibnu Muhammad berkata, "Sesungguhnya melakukan ibadah umrah di dalam bulan-bulan haji kurang sempurna." Ketika dikatakan kepadanya, "Bagaimana dengan umrah dalam bulan Muharram?" Ia menjawab, "Menurut mereka, melakukan ibadah umrah dalam bulan tersebut dianggap sempurna."
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah ibnu Di'amah. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan karena disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw. melakukan umrahnya sebanyak empat kali, semuanya beliau lakukan dalam bulan Zul-Qa'dah. Umrah hudaibiyyah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun enam Hijriah, umrah qada dalam bulan Zul-Qa'dah tahun ketujuh Hijriah, umrah ji'arah dalam bulan Zul-Qa'dah tahun delapan Hijriah, dan umrah yang beliau lakukan dalam ibadah haji —beliau berihram untuk keduanya secara bersamaan (qiran)— dalam bulan Zul-Qa'dah tahun sepuluh Hijriah. Beliau Saw. tidak melakukan umrah lagi selain dari umrah-umrah tersebut setelah beliau hijrah. Akan tetapi, Nabi Saw. bersabda kepada Ummu Hani':
"عُمْرة فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِي"
Umrah dalam bulan Ramadan seimbang dengan melakukan ibadah haji bersamaku.
Dikatakan demikian karena Ummu Hani' bertekad untuk melakukan ibadah haji bersama Nabi Saw., tetapi ia terhambat melakukannya karena masa sucinya terlambat, seperti yang dijelaskan dengan panjang lebar di dalam hadis Imam Bukhari. Tetapi dalam nas Sa'id ibnu Jubair disebutkan bahwa hal tersebut hanya merupakan kekhususan bagi Ummu Hani'.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Yakni tegakkanlah (kerjakanlah) ibadah haji dan umrah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan sempurnakan ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Artinya, barang siapa yang telah berihram untuk ibadah haji atau umrah, maka dia tidak boleh ber-tahallul sebelum menyempurnakan keduanya, yaitu sempurnanya ibadah haji pada hari kurban. Bila ia telah melempar jumrah aqabah, tawaf di Baitullah, dan sa'i antara Safa dan Marwah; setelah semuanya dikerjakan, berarti sudah tiba masa tahallul-nya.
Qatadah meriwayatkan dari Zararah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Haji itu adalah Arafah, dan umrah itu adalah tawaf."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah sehubungan dengan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Disebutkan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud bunyinya demikian, "Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah," yakni melakukan ibadah umrah hanya di sekitar Baitullah, tidak melebihinya. Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Sa'id ibnu Jubair. Maka Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.
Sufyan meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia pernah mengatakan, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Ibrahim, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut yang artinya, "Dan dirikanlah ibadah haji dan umrah sampai ke Baitullah."
Asy-Sya'bi membaca ayat ini dengan me-rafa'-kan lafaz al-umrah, dan ia mengatakan bahwa ibadah umrah hukumnya tidak wajib, melainkan sunat. Akan tetapi, diriwayatkan darinya hal yang berbeda, yakni yang mengatakan wajib.
Telah disebutkan di dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang berbeda, dari Anas dan sejumlah sahabat, bahwa Rasulullah Saw. dalam ihramnya menggabungkan ibadah haji dan ibadah umrah. Ditetapkan di dalam hadis sahih yang bersumber dari Nabi Saw. bahwa beliau Saw. pernah bersabda kepada para sahabat:
"مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْي فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ"
Barang siapa yang membawa hadyu (hewan kurban), maka hendaklah ia ber-ihlal (berihram) untuk ibadah haji dan umrahnya.
Di dalam hadis sahih lain disebutkan pula bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
Umrah dimasukkan ke dalam ibadah haji sampai hari kiamat.
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Untuk itu dia mengatakan:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا غَسَّانُ الْهَرَوِيُّ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَان، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَضَمِّخٌ بِالزَّعْفَرَانِ، عَلَيْهِ جُبَّةٌ، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فِي عُمْرَتِي؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} فَقَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ العُمْرة؟ " فَقَالَ: هَا أَنَا ذَا. فَقَالَ لَهُ: "أَلْقِ عَنْكَ ثِيَابَكَ، ثُمَّ اغْتَسِلْ، وَاسْتَنْشِقْ مَا اسْتَطَعْتَ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجّك فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرَتِكَ"
telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Gassan Al-Harawi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tahman, dari Ata, dari Safwan ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan memakai minyak wangi za'faran yang ia balurkan pada baju jubahnya, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan dalam ibadah umrahku menurutmu, wahai Rasulullah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Lalu Rasulullah Saw. bertanya, "Ke manakah orang yang bertanya tentang umrah tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Lepaskanlah bajumu itu, lalu mandilah dan ber-istinsyaq-lah menurut kemampuanmu. Kemudian apa yang kamu lakukan dalam ibadah hajimu, lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu."
Hadis ini garib dan konteksnya aneh.
Hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain dari Ya'la ibnu Umayyah dalam kisah seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi Saw. ketika di Ji'ranah, disebutkan bahwa lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang berihram untuk umrah, sedangkan dia memakai kain jubah yang dilumuri dengan minyak za'faran?" Nabi Saw. diam, lalu turunlah wahyu kepadanya, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan bertanya, "Manakah orang yang bertanya tadi?" Lelaki itu menjawab, "Inilah aku." Maka beliau Saw. bersabda:
"أَمَّا الْجُبَّةُ فَانْزَعْهَا، وَأَمَّا الطِّيبُ الذِي بِكَ فَاغْسِلْهُ، ثُمَّ مَا كُنْتَ صَانِعًا فِي حَجِّكَ فَاصْنَعْهُ فِي عُمْرتك"
Adapun mengenai baju jubahmu, lepaskanlah ia; dan adapun mengenai wewangian yang ada pada tubuhmu, cucilah. Kemudian apa yang biasa kamu lakukan dalam ibadah hajimu, maka lakukanlah pula dalam ibadah umrahmu.
Di dalam riwayat ini tidak disebutkan masalah istinsyaq (mengisap air dengan hidung untuk mencucinya), juga tidak disebutkan mandi, tidak pula sebutan asbabun nuzul ayat ini. Hadis  ini dari Ya'la ibnu Umayyah, bukan Safwan ibnu Umayyah.
*****************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Mereka mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada tahun enam Hijriah, yakni pada tahun perjanjian Hudaibiyah, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi antara Rasulullah Saw. dan Baitullah, hingga beliau tidak dapat sampai kepadanya, dan Allah menurunkan sehubungan dengan peristiwa ini di dalam surat Al-Fath secara lengkap. Allah menurunkan bagi mereka keringanan, yaitu mereka diperbolehkan menyembelih hewan hadyu yang mereka bawa. Jumlah hewan hadyu yang mereka bawa saat itu kurang lebih tujuh puluh ekor unta, lalu mereka mencukur rambut mereka masing-masing dan diperintahkan untuk ber-tahallul dari ihram mereka.
Maka pada saat itu juga Nabi Saw. memerintahkan kepada mereka untuk mencukur rambut dan ber-tahallul dari ihramnya. Akan tetapi, pada mulanya mereka tidak mau melakukannya karena menunggu adanya perintah nasakh. Maka terpaksa Rasulullah Saw. keluar dan mencukur rambutnya, lalu orang-orang mengikuti jejaknya; dan di antara mereka ada orang-orang yang hanya memotong rambutnya saja, tidak mencukurnya. Karena itulah Nabi Saw. bersabda:
"رَحِم اللَّهُ المُحَلِّقين". قَالُوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ: "وَالْمُقَصِّرِينَ"
"Semoga Allah merahmati orang-orang yang bercukur." Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, doakanlah pula buat orang-orang yang memotong rambutnya." Pada yang ketiga kalinya baru Rasulullah Saw. berdoa, "Dan juga orang-orang yang mencukur rambutnya."
Mereka bersekutu dalam penyembelihan hadyu mereka, setiap tujuh orang satu ekor unta, sedangkan jumlah mereka seluruhnya ada seribu empat ratus orang. Tempat mereka di Hudaibiyyah berada di luar Tanah Suci. Menurut pendapat yang lain, bahkan mereka berada di pinggir kawasan Kota Suci.
Para ulama berselisih pendapat, apakah masalah boleh ber-tahallul di luar Kota Suci ini khusus hanya menyangkut keadaan bila dikepung oleh musuh, karenanya tidak boleh ber-tahallul kecuali hanya orang yang dikepung oleh musuh, bukan karena faktor sakit atau faktor lainnya? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, juga dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada kepungan kecuali karena kepungan musuh. Orang yang terkena sakit atau penyakitnya kambuh atau tersesat, maka tiada dispensasi apa pun atas dirinya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Apabila   kalian telah (merasa) aman. (Al-Baqarah: 196) Maksud keadaan aman itu ialah bila tidak dikepung.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Tawus, Az-Zuhri, dan Zaid ibnu Aslam.
Pendapat yang kedua mengatakan, pengertian hasr (terkepung) lebih umum daripada hanya sekadar dikepung musuh atau karena sakit atau karena tersesat jalannya atau faktor lainnya yang sejenis.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَجَّاج بْنُ الصوّافُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "من كُسِر أَوْ عَرِج فَقَدْ حَلَّ، وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnus Sawwaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ikrimah, dari Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang patah tulang atau sakit atau pincang, maka sesungguhnya dia telah ber-tahallul, dan wajib atas dirinya melakukan haji lagi.
Selanjutnya Ikrimah (tabi'in) mengatakan, lalu ia menceritakan hal ini kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah r.a. Keduanya mengatakan bahwa dia (yakni Al-Hajjaj ibnu Amr Al-Ansari) memang benar.
Penulis kitab-kitab pokok hadis yang empat menceritakan hadis ini melalui Yahya ibnu Abu Kasir dengan lafaz yang sama.
Menurut riwayat Abu Daud dan ibnu Majah disebutkan:
مَنْ عَرَجَ أَوْ كُسر أَوْ مَرض
Barang siapa yang pincang (terkilir) atau patah tulang atau sakit.
Kemudian kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas, yakni semakna dengannya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Al-Hajjaj ibnu Abu Us'man As-Sawwaf dengan lafaz yang sama.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnuz Zubair, Alqamah, Sa'id ibnul Musayyab, Urwah ibnuz Zubair, Mujahid, An-Nakha'i, Ata, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, "Yang dimaksud dengan istilah ihsar ialah terhalang oleh musuh atau sakit atau patah tulang."
As-Sauri mengatakan bahwa ihsar artinya segala sesuatu yang mengganggu.
Di dalam hadis Sahihain disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَل عَلَى ضُبَاعة بِنْتِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرِيدُ الْحَجَّ وَأَنَا شَاكِيَةٌ. فَقَالَ: "حُجِّي وَاشْتَرِطِي: أنَّ مَحِلِّي حيثُ حبَسْتَني"
dari hadis Aisyah bahwa Rasulullah Saw. memasuki rumah Duba'ah binti Zubair ibnu Abdul Muttalib, lalu Duba'ah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bermaksud menunaikan haji, sedangkan aku dalam keadaan sakit (sedang haid)." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Berhajilah kamu dan syaratkanlah dalam niatmu bahwa tempat tahallul-ku sekiranya penyakit (haid) menahanku.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Maka berpendapatlah sebagian ulama bahwa sah mengadakan persyaratan dalam niat haji karena berdasarkan hadis ini.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii memberikan komentarnya, bahwa kebenaran pendapat ini bergantung kepada kesahihan hadis yang dijadikan landasannya. Imam Baihaqi dan lain-lainnya dari kalangan huffaz (orang-orang yang hafal hadis) mengatakan bahwa hadis ini sahih.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Imam Malik meriwayatkan dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan hewan kurban ialah seekor kambing.
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan hadyu ialah hewan jantan dan hewan betina dari keempat jenis ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dan domba.
As-Sauri meriwayatkan dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah ternak kambing.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Abul Aliyah, Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abdur Rahman ibnul Qasim, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab empat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dan Ibnu Umar; keduanya berpendapat sehubungan dengan hewan kurban yang mudah didapat, bahwa yang dimaksud tiada lain adalah dua jenis ternak, yaitu berupa unta dan sapi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Salim, Al-Qasim, Urwah ibnuz Zubair, dan Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, sandaran yang dijadikan pegangan mereka untuk memperkuat pendapatnya ialah hadis yang mengisahkan peristiwa di Hudaibiyyah. Karena sesungguhnya belum pernah dinukil oleh seorang pun di antara mereka bahwa Nabi Saw. dalam tahallul-nya itu menyembelih kambing, melainkan yang disembelih oleh mereka sebagai kurban ialah ternak unta dan sapi.
Di dalam kitab Sahihain, dari Jabir, disebutkan:
أَمَرَنَا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَقَرَةٍ
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk bersekutu dalam kurban unta dan sapi, tiap-tiap tujuh orang di antara kami satu ekor sapi.
Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar menceritakan kepada kami, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, "Jika orang yang bersangkutan adalah orang kaya, maka ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak unta. Dan jika dia bukan orang kaya, ia termasuk ke dalam golongan kurban ternak sapi. Jika dia termasuk golongan yang lebih rendah tingkatan ekonominya, hendaklah ia berkurban dengan menyembelih seekor kambing."
Hisyam ibnu Urwah meriwayatkan dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: Maka (wajiblah baginya menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196) Sesungguhnya hal tersebut yang dijadikan standar ialah menurut pasang surutnya harga antara murah dan mahalnya. Sebagai dalil yang membenarkan pendapat jumhur ulama yang mengatakan cukup menyembelih kambing bila dalam keadaan terkepung, bahwa Allah Swt. hanya memerintahkan menyembelih hewan kurban yang mudah didapat, yakni berupa ternak apa pun selagi masih ada kategori hewan hadyu, baik berupa unta, sapi, ataupun kambing.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. Hal ini terbukti di dalam kitab Sahihain melalui Siti Aisyah Ummul Muminin r.a. yang menceritakan:
أهْدَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرة غَنَمًا
Nabi Saw. pernah sekali berkurban dengan menyembelih seekor domba.
************
{وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ}
Dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya. (Al-Baqarah: 196)
Jumlah ini di-'ataf-kan kepada firman-Nya:
{وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ}
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196)
Bukan di-'ataf-kan (dikaitkan) dengan firman-Nya:
{فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Seperti apa yang diduga oleh Ibnu Jarir rahimahullah. Karena Nabi Saw. bersama para sahabatnya pada tahun Hudaibiyah —yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy melarang mereka memasuki Tanah Suci— beliau Saw. bersama para sahabatnya bercukur dan menyembelih hewan kurban mereka di luar Tanah Suci. Adapun dalam keadaan aman dan telah sampai di Tanah Suci, tidak boleh baginya mencukur rambutnya (yakni tidak boleh ber-tahallul) sebelum hewan kurban sampai di tempat penyembelihannya. Orang yang berhaji telah selesai dari semua pekerjaan haji dan umrahnya jika ia sebagai orang yang ber-qiran, atau setelah ia mengerjakan salah satunya jika dia melakukan haji ifrad atau tamattu. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Siti Hafsah r.a. yang menceritakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا شَأْنُ النَّاسِ حَلّوا مِنَ الْعُمْرَةِ، وَلَمْ تَحِلّ أَنْتَ مِنْ عُمْرَتِكَ؟ فَقَالَ: "إِنِّي لَبَّدْتُ رَأْسِي وقلَّدت هَدْيي، فَلَا أَحِلُّ حَتَّى أَنْحَرَ"
"Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang ber-tahallul dari umrahnya, sedangkan engkau sendiri tidak ber-tahallul dari umrah-mu?" Maka Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku telah meminyaki rambut kepalaku dan telah kukalungi hewan kurbanku, maka aku tidak akan ber-tahallul sebelum menyembelih hewan kurbanku."
***************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
Jika di antara kalian ada yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَعْقل، قَالَ: فَعُدْتُ إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ -يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ -فَسَأَلْتُهُ عَنْ {فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ} فَقَالَ: حُملْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والقملُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي. فَقَالَ: "مَا كنتُ أرَى أَنَّ الجَهد بَلَغَ بِكَ هَذَا! أَمَا تَجِدُ شَاةً؟ " قُلْتُ: لَا. قَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفُ صَاعٍ مِنْ طَعَامٍ، وَاحْلِقْ رَأْسَكَ". فَنَزَلَتْ فِيَّ خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdur Rahman ibnul Asbahani, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ma'qal bercerita, "Aku pernah duduk di dekat Ka'b ibnu Ujrah di dalam masjid ini (yakni Masjid Kufah). Lalu aku bertanya kepadanya tentang fidyah yang berupa melakukan puasa. Maka Ka'b ibnu Ujrah menjawab bahwa ia berangkat untuk bergabung dengan Nabi Saw., sedangkan ketombe bertebaran di wajahnya. Maka Nabi Saw. bersabda, 'Sebelumnya aku tidak menduga bahwa kepayahan yang menimpamu sampai separah ini. Tidakkah kamu mempunyai kambing?' Ia menjawab, 'Tidak.' Nabi Saw. bersabda, 'Puasalah tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, masing-masing orang sebanyak setengah sa’ makanan, dan cukurlah rambutmu itu.' (Selanjutnya ia berkata), Maka turunlah ayat ini, berkenaan denganku secara khusus, tetapi maknanya umum mencakup kalian semua'."
وَقَالَ الْإِمَامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا إسماعيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَة قَالَ: أَتَى عَلَيّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُوقِدُ تَحْتَ قِدْرٍ، والقَمْلُ يتناثَرُ عَلَى وَجْهِي -أَوْ قَالَ: حَاجِبِي -فَقَالَ: "يُؤْذيك هَوَامُّ رَأْسِكَ؟ ". قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: "فَاحْلِقْهُ، وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوِ انْسَكْ نَسِيكَةً". قَالَ أَيُّوبُ: لَا أَدْرِي بِأَيَّتِهِنَّ بَدَأَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b Ujrah yang menceritakan: Nabi Saw. datang kepadaku ketika aku sedang menyalakan api untuk panci, dan ketombe bertebaran di wajahku, atau dia mengatakan, "Di alisku." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah penyakit yang ada di kepalamu itu mengganggumu?" Aku menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka cukurlah rambutmu itu dan puasalah tiga hari (sebagai fidyahnya), atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor hewan kurban." Ayyub (salah seorang perawi hadis ini) mengatakan bahwa ia tidak mengetahui manakah di antara semua fidyah itu yang disebutkan paling dahulu.
Imam Ahmad meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan, "Ketika kami berada di Hudaibiyah bersama Rasulullah Saw., sedangkan kami semuanya dalam keadaan berihram, dan orang-orang musyrik telah mengepungnya. Tersebutlah bahwa rambutku sangat lebat, maka ketombe bertebaran di wajahku (karena banyaknya). Lalu Nabi Saw. lewat di dekatku. Beliau bersabda, 'Apakah penyakit di kepalamu itu menganggumu?' Maka Nabi Saw. memerintahkan Ka'b ibnu Ujrah untuk bercukur." Selanjutnya Ka'b ibnu Ujrah mengatakan bahwa lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Usman, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas) dengan lafaz yang sama.
Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Syu'bah, dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ka'b ibnu Ujrah hal yang semisal. Imam Malik meriwayatkannya dari Humaid ibnu Qais, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah, lalu Imam Malik menyebutkan hadis yang semisal.
Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah meriwayatkan dari Aban ibnu Saleh, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Ujrah mengatakan, "Maka aku menyembelih seekor kambing."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih, telah diriwayatkan pula melalui hadis Umar ibnu Qais —dia orangnya daif— dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
النُّسُكُ شَاةٌ، وَالصِّيَامُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ، وَالطَّعَامُ فَرَق، بَيْنَ سِتَّةٍ"
Nusuk artinya menyembelih kambing, dan puasa adalah selama tiga hari, sedangkan memberi makan ialah dibagikan di antara enam orang (miskin).
Hal yang sama diriwayatkan dari Ali, Muhammad ibnu Ka'b, Alqamah, Ibrahim, Mujahid, Ata, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ: أَنَّ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ كعب ابن عُجْرة: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآذَاهُ القَمْل فِي رَأْسِهِ، فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ، وَقَالَ: "صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، مُدّين مُدَّيْنِ لِكُلِّ إِنْسَانٍ، أَوِ انسُك شَاةً، أيَّ ذَلِكَ فعلتَ أَجْزَأَ عَنْكَ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, bahwa Malik ibnu Anas pernah menceritakan hadis kepa-danya, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mujahid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ka'b ibnu Ujrah yang menceritakan bahwa ia pernah bersama Rasulullah Saw., lalu terganggu oleh banyaknya ketombe di kepalanya. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar ia mencukur rambutnya dan bersabda: Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan enam orang miskin dua mud-dua mud perorangnya, atau sembelihlah seekor kambing. Mana saja di antaranya yang kamu kerjakan, maka hal itu sudah cukup sebagai fidyahmu.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Ibnu Abbas mengatakan, apabila huruf 'ataf yang dipakai adalah au, maka mana saja yang kamu ambil, hal itu sudah mencukupi fidyah-mu.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Ata, Tawus, Al-Hasan, Humaid Al-A'raj, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dahhak, lalu disebutkan hal yang semisal.
Menurut kami, pendapat mazhab Imam yang empat serta mayoritas ulama merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa dalam hal ini orang yang bersangkutan diperbolehkan memilih salah satu di antara puasa, atau menyedekahkan satu farq makanan, yaitu tiga sa' untuk setiap orang miskin —setengah sa' yakni dua mud— atau menyembelih seekor kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir miskin. Mana saja yang ia pilih sudah cukup baginya, mengingat ungkapan Al-Qur'an dalam menjelaskan suatu keringanan, yang didahulukannya adalah yang paling mudah, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Akan tetapi, ketika Nabi Saw. memerintahkan hal tersebut kepada Ka'b ibnu Ujrah, beliau memberinya petunjuk kepada yang paling utama lebih dahulu, kemudian baru yang utama. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sembelihlah seekor kambing, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari.
Maka masing-masing dinilai baik bila disesuaikan dengan kondisi orang yang bersangkutan.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, bahwa Al-A'masy pernah menceritakan bahwa Ibrahim pernah bertanya kepada Sa'id ibnu Jubair tentang ayat berikut, yaitu firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Maka Sa'id ibnu Jubair menjawab dengan suatu jawaban yang menjadikan makanan sebagai tolok ukurnya. Jika dia mempunyai kemampuan untuk membeli seekor kambing, hendaklah ia membeli seekor kambing. Jika kambing tidak ada, maka harga kambing ditaksir, lalu jumlahnya diberikan berupa makanan untuk disedekahkan kepada fakir miskin. Jika ia tidak mempunyai uang, hendaklah ia berpuasa, untuk setengah sa’ ganti dengan puasa satu hari (hingga jumlah hari-hari yang dipuasainya berjumlah enam hari).
Selanjutnya Ibrahim mengatakan bahwa hal yang sama telah kudengar pula dari Alqamah. Alqamah menceritakan, "Ketika Sa'id Ibnu Jubair berkata kepadaku, 'Siapakah orang ini? Alangkah gantengnya!' Maka kujawab, 'Dia adalah Ibrahim.' Sa'id ibnu Jubair mengatakan, 'Alangkah gantengnya dia duduk bersama kita.' Lalu aku ceritakan kepada Ibrahim hal itu. Ketika kuceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, maka Ibrahim pergi dari majelis itu."
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Imran, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Mu'az, dari ayahnya, dari Asy'as, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaiiu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196)
Ia mengatakan, "Apabila orang yang sedang ihram mengalami gangguan di kepalanya, ia boleh bercukur dan membayar fidyah dengan salah satu di antara ketiga perkara ini menurut apa yang disukainya. Kalau puasa sebanyak sepuluh hari, kalau sedekah memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan tiap orang miskin sebanyak dua Makkuk' (1 Makkuk l.k 3,264 kg. –pen)  yaitu satu Makkuk berupa kurma, sedangkan satu Makkuk lainnya berupa jewawut. Sedangkan yang dimaksud dengan nusuk ialah menyembelih kurban, berupa seekor kambing.
Qatadah meriwayatkan dari Al-Hasan dan Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud dengan sedekah ialah memberi makan sepuluh orang miskin.
Kedua pendapat ini —yaitu yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Alqamah serta Al-Hasan dan Ikrimah— merupakan dua pendapat yang aneh, keduanya masih perlu dipertimbangkan. Karena telah disebutkan oleh sunnah melalui hadis Ka'b ibnu Ujrah bahwa puasa itu adalah tiga hari, bukan enam hari; dan memberi makan adalah kepada enam orang miskin, nusuk artinya menyembelih seekor kambing. Hal tersebut atas dasar takhyir (boleh memilih salah satu di antaranya), seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat Al-Qur'an. Adapun mengenai tartib (urutan), hal ini hanyalah dikenal dalam masalah membunuh binatang buruan, seperti yang disebutkan di dalam nas Al-Qur'an dan telah disepakati oleh semua ahli fiqih, lain halnya dengan masalah ini.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Tawus, bahwa ia selalu mengatakan sehubungan dengan masalah dam atau memberi makan; hal itu dilaksanakan di Mekah. Sedangkan yang menyangkut puasa boleh dilakukan di mana saja menurut apa yang disukai oleh orang yang bersangkutan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata, dan Al-Hasan.
Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj dan Abdul Malik serta selain keduanya, dari Ata. Ia acapkali mengatakan bahwa masalah apa saja yang menyangkut dam dilaksanakan di Mekah, sedangkan apa saja yang menyangkut memberi makan atau puasa dilaksanakan menurut kehendak orang yang bersangkutan.
Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ya'qub ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Asma maula Ibnu Ja'far yang menceritakan bahwa Usman ibnu Affan pernah berhaji ditemani oleh Ali dan Al-Husain ibnu Ali. Usman berangkat lebih dulu. Abu Asma' melanjutkan kisahnya, bahwa ia bersama Ibnu Ja'far, "Tiba-tiba kami bersua dengan seorang lelaki yang sedang tidur, sedangkan unta kendaraannya berada di dekat kepalanya, lalu aku (Abu Asma) berkata, 'Hai orang yang sedang tidur.' Lelaki itu bangun, dan ternyata dia adalah Al-Husain ibnu Ali. Lalu Ibnu Ja'far membawanya sampai datang ke tempat air. Kemudian dikirimkan seorang utusan untuk menemui Ali yang saat itu sedang bersama Asma binti Umais. Maka kami merawat Al-Husain ibnu Ali selama kurang lebih dua puluh malam. Lalu Ali bertanya kepada Al-Husain, 'Apakah sakit yang kamu rasakan?' Al-Husain mengisyaratkan dengan tangannya ke kepalanya. Maka Ali memerintahkan agar rambut Al-Husain dicukur, kemudian Ali meminta didatangkan seekor unta, lalu ia menyembelihnya."
Jika unta kurban ini sebagai fidyah dari bercukur, berarti Ali menyembelihnya di luar kota Mekah. Tetapi jika sebagai fidyah dari tahallul, maka masalahnya sudah jelas.
*************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, apabila kalian mampu untuk menunaikan manasik, tanpa hambatan apa pun, sedangkan di antara kalian ada yang ingin melakukan tamattu' dengan mengerjakan umrah dahulu sebelum ibadah haji tiba waktunya.
Pengertian tamattu' di sini mencakup orang yang berihram untuk keduanya atau berihram untuk umrah lebih dahulu, setelah selesai dari umrah baru berihram lagi untuk haji. Demikianlah pengertian tamattu' secara khusus yang telah terkenal di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan pengertian tamattu secara umum mencakup keduanya, seperti yang ditunjukkan oleh hadis-hadis sahih. Karena sesungguhnya di antara perawi ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. ber-tamattu', sedangkan yang lainnya mengatakan ber-qiran, tetapi di antara keduanya tidak ada perbedaan dalam masalah bahwa Nabi Saw. membawa hewan hadyunya.
**************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ}
Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. (Al-Baqarah: 196)
Dengan kata lain, hendaklah ia menyembelih kurban yang mudah didapat baginya, minimal seekor kambing. Tetapi diperbolehkan baginya menyembelih seekor sapi, karena Rasulullah Saw. sendiri menyembelih sapi untuk dam istri-istrinya.
Al-Auza'i meriwayatkan dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah, dari sahabat Abu Hurairah r.a.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ بَقَرَةً عَنْ نِسَائِهِ، وَكُنْ مُتَمَتِّعَاتٍ.
Bahwa Rasulullah Saw. menyembelih seekor sapi untuk (dam) istri-istrinya, karena mereka semuanya melakukan tamattu'.
Hadis riwayat Abu Bakar ibnu Murdawaih.
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa tamattu' itu disyariatkan, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Imran ibnu Husain yang mengatakan, "Ayat tamattu' telah diturunkan di dalam Kitabullah dan kami mengerjakannya bersama-sama Rasulullah Saw. Kemudian tidak ada wahyu lagi yang turun mengharamkannya serta Nabi Saw. tidak melarangnya pula hingga beliau wafat."
Akan tetapi, ada seorang lelaki yang berpendapat menurut kehendaknya sendiri. Imam Bukhari mengatakan bahwa lelaki itu adalah sahabat Umar. Apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari ini telah disebutkan dengan jelas, bahwa Umar pernah melarang orang-orang melakukan tamattu'. Ia mengatakan bahwa kita harus memegang Kitabullah, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk melakukannya dengan sempurna. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (Al-Baqarah: 196) Tetapi pada kenyataannya Umar r.a. tidak melarang orang yang berihram dengan tamattu'. Sesungguhnya dia melarangnya hanya untuk tujuan agar orang-orang yang ziarah ke Baitullah bertambah banyak, ada yang melakukan haji dan ada yang berumrah, seperti yang telah dijelaskannya sendiri.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang tidak dapat menemukan binatang kurban, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji, yakni di hari-hari manasik."
Menurut ulama, hal yang paling utama hendaknya puasa dilakukan sebelum hari Arafah, yaitu pada tanggal sepuluh. Demikianlah menurut Ata. Atau sejak dia melakukan ihram (untuk hajinya), menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, karena berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam ibadah hajinya. Di antara mereka ada yang memperbolehkan melakukan puasa sejak dari permulaan bulan Syawwal. Demikianlah menurut Tawus, Mujahid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Asy-Sya'bi memperbolehkan berpuasa pada hari Arafah dan dua hari sebelumnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Ata, Tawus, Al-Hakam, Al-Hasan, Hammad, Ibrahim, Abu Ja'far Al-Baqir, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan.
Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas, "Apabila seseorang tidak dapat menemukan hadyu, hendaklah ia puasa tiga hari dalam hari-hari haji sebelum hari Arafah. Untuk itu apabila jatuh hari yang ketiga dari Arafah, maka puasanya harus sudah selesai. Ia juga harus puasa tujuh hari setelah pulang ke tanah airnya."
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Ishaq, dari Wabrah, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa orang yang bersangkutan hendaknya memulai puasanya sehari sebelum hari Tarwih, kemudian hari Tarwih, dan yang terakhir pada hari Arafahnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali.
Sekiranya orang yang bersangkutan tidak melakukan puasanya pada hari-hari haji atau tidak melakukan sebagiannya sebelum hari Raya Adha, bolehkah ia melakukan puasanya itu pada hari-hari Tasyriq?
Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama, kedua-duanya diketengahkan pula oleh Imam Syafii. Menurut qaul qadim-nya, orang yang bersangkutan boleh melakukan puasanya pada hari-hari Tasyriq. Karena berdasarkan kepada ucapan Siti Aisyah dan Ibnu Umar yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari, yaitu bahwa Nabi Saw. tidak memperbolehkan melakukan puasa di hari-hari Tasyriq kecuali bagi orang yang tidak menemukan hadyu (hewan kurban).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Malik, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah, juga dari Salim, dari Ibnu Umar. Memang telah diriwayatkan dari keduanya (Siti Aisyah dan Ibnu Umar) melalui banyak jalur.
Sufyan meriwayatkannya dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Barang siapa yang kelewat waktunya hingga tidak melakukan puasa tiga hari pada hari-hari haji, maka ia harus melakukannya pada hari-hari Tasyriq."
Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaid ibnu Umair Al-Laisi, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri serta Urwah ibnuz Zubair.
Sesungguhnya mereka mengatakan demikian karena keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya: maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji. (Al-Baqarah: 196)
Sedangkan menurut qaul jadid, ia tidak boleh melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq, karena berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Qutaibah Al-Huzali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ"
Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, minum, dan berzikir kepada Allah Swt.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ}
dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Salah satunya mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke perjalanan pulang kalian. Karena itulah Mujahid mengatakan bahwa puasa tujuh hari ini merupakan rukhsah. Untuk itu apabila orang yang bersangkutan ingin melakukannya dalam perjalanan pulangnya, ia boleh melakukannya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata ibnu Abu Rabah.
Pendapat kedua mengatakan, yang dimaksud dengan iza raja'tum ialah apabila kalian kembali ke tanah air kalian, yakni kalian telah berada di negeri tempat tinggal kalian sendiri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Salim, bahwa ia pernah mendengar ibnu Umar berkata sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah bila orang yang bersangkutan telah kembali ke tempat keluarganya (tanah airnya).
Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang telah disepakati.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيل، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ قَالَ: تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّة الْوَدَاعِ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ وَأَهْدَى فَسَاقَ مَعَهُ الهَدْي مِنْ ذِي الحُلَيفة، وَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأهلَّ بِالْعُمْرَةِ، ثُمَّ أهلَّ بِالْحَجِّ، فَتَمَتَّعَ النَّاسُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ. فَكَانَ مِنَ النَّاسِ مَنْ أَهْدَى فَسَاقَ الهَدْي، وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُهْد. فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ قَالَ لِلنَّاسِ: "مَنْ كَانَ مِنْكُمْ أَهْدَى فَإِنَّهُ لَا يَحل لِشَيْءٍ حَرُم مِنْهُ حتَى يَقْضِيَ حَجّه، ومَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّر وليَحللْ ثُمَّ ليُهِلّ بِالْحَجِّ، فَمَنْ لَمْ يَجِدْ هَدْيًا فليصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ". وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Ibnu Umar pernah menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan tamattu' dalam haji wada'-nya dengan melakukan umrah sebelum ibadah haji, lalu beliau menyembelih hewan kurbannya. Untuk itu beliau membawa hewan hadyu (kurban) dari Zul Hulaifah, kemudian beliau berihram untuk ibadah umrahnya. Sesudah ilu baru beliau berihram untuk ibadah hajinya. Maka orang-orang pun ikut ber-tamattu' bersama-sama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. memulai pekerjaannya dengan ibadah umrah sebelum haji. Sedangkan di kalangan orang-orang ada yang berkurban, ia membawa hewan kurbannya; dan di antara mereka ada yang tidak berkurban. Ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, maka beliau bersabda kepada orang-orang, "Barang siapa di antara kalian mempunyai hewan kurban, maka tidak halal baginya melakukan sesuatu pun yang diharamkan atas dirinya sebelum menyelesaikan hajinya. Barang siapa di antara kalian tidak membawa hadyunya (hewan kurban-nya), hendaklah ia melakukan tawaf di Baitullah, dan sa'i di antara Safa dan Marwah serta memotong rambut dan ber-tahallul. Setelah itu hendaklah ia berihram lagi untuk ibadah hajinya. Barang siapa yang tidak menemukan hewan kurban, hendaklah ia berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila ia telah kembali kepada keluarganya. Hingga akhir hadis.
Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah r.a. hal yang semisal dengan apa yang telah diceritakan kepadaku oleh Salim, dari ayahnya. Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama.
************
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ}
Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. (Al-Baqarah: 196)
Menurut suatu pendapat, kalimat ayat ini merupakan taukid (yang menguatkan makna kalimat sebelumnya). Perihalnya sama dengan kata-kata orang Arab, "Aku melihat dengan kedua mataku sendiri, dan aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri, aku tulis dengan tanganku ini." Dan sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَلا طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ
dan tiada burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya. (Al-An'am: 38)
وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. (Al-'Ankabut: 48)
Adapun firman Allah Swt.:
وَواعَدْنا مُوسى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْناها بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnakanlah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)
Menurut pendapat yang lain, makna 'Kamilah' yang terkandung di dalam ayat ini ialah perintah untuk menyelesaikannya dengan sempurna. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban. Hisyam meriwayatkan dari Abbad ibnu Rasyid, dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Itulah sepuluh hari yang sempurna. (Al-Baqarah: 196) Yakni sudah cukup sebagai ganti menyembelih hewan kurban.
***************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahli takwil berbeda pendapat sehubungan dengan orang yang dimaksud di dalam firman-Nya: bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekah). (Al-Baqarah: 196) Padahal mereka telah sepakat bahwa yang dimaksud ialah penduduk kota Mekah. Tidak ada tamattu'' bagi mereka. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dimaksud ialah hanya khusus bagi penduduk kota Mekah, bukan selainnya.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yakni As-Sauri) yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Yang dimaksud dengan mereka (dalam ayat ini) adalah penduduk kota Mekah." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnul Mubarak, dari As-Sauri.
Jama'ah menambahkan dalam riwayatnya, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Hai penduduk Mekah, tiada tamattu' bagi kalian. Tamattu' hanya dihalalkan bagi penduduk negeri-negeri lain dan diharamkan atas kalian. Sesungguhnya seseorang dari kalian hanya tinggal menempuh sebuah lembah, atau dia menjadikan antara dirinya dan Tanah Suci sebuah lembah, kemudian ia berihram untuk umrahnya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tamattu' hanya diperbolehkan bagi orang-orang lain, bukan untuk penduduk Mekah, yaitu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Tanah Suci. Demikianlah menurut apa yang disebutkan di dalam firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196)
Abdur Razzaq mengatakan, telah sampai kepadanya dari Ibnu Abbas pendapat yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Tawus.
Ulama lainnya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk Tanah Suci dan daerah sekitarnya yang masih berada di antara Mekah dan miqat. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ata yang mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada sebelum miqat (dari Mekah), maka kedudukannya sama dengan penduduk Mekah, yakni tidak boleh melakukan tamattu"
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Yazid, dari Jabir, dari Makhul sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Makna yang dimaksud ialah orang yang tempat tinggalnya masih berada di dalam lingkungan miqat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 196) Yang dimaksud ialah Arafah, Muzdalifah, Urnah, dan Ar-Raji'.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa ia pernah mendengar Az-Zuhri mengatakan, "Barang siapa yang keluarganya berada dalam jarak perjalanan kurang lebih satu hari dari Mekah, maka ia boleh ber-tamattu'." Menurut riwayat yang lain darinya mengatakan perjalanan dua hari dari Mekah.
Ibnu Jarir sehubungan dengan masalah ini memilih mazhab Imam Syafii yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Mekah dan orang-orang yang tinggal dalam jarak tidak diperbolehkan melakukan qasar dari Kota Suci, karena sesungguhnya orang yang tempat tinggalnya sejauh itu masih termasuk ke dalam pengertian hadir, bukan musafir.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ}
Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 196)
Yaitu dalam mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan apa yang dilarang-Nya terhadap kalian.
{وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.  (Al-Baqarah: 196)

Yakni terhadap orang yang menentang perintah-Nya dan mengerjakan hal-hal yang dilarang ia melakukannya.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100