Tafsir Surat Al-Maidah, ayat 20-26

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (20) يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (21) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (22) قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24) قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (25) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (26)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaum­ku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi." Mereka berkata.”Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka telah keluar darinya, pasti kami akan memasukinya." Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, "Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu! Bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu; dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja!" Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu." Allah berfirman, "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”
Allah menceritakan tentang hamba dan Rasul-Nya yang juga merupakan orang yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya, yaitu Nabi Musa ibnu Imran a.s. Kisahnya menyangkut peringatan yang ia sampaikan kepada kaumnya akan nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di tangan mereka, yaitu Allah menghimpunkan bagi mereka kebaikan dunia dan akhirat sekiranya mereka tetap berada pada jalannya yang lurus. Allah Swt. berfirman:
{وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ}
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian." (Al-Maidah: 20)
Yakni setiap nabi meninggal dunia, maka bangkitlah di antara kalian nabi lainnya, sejak zaman kakek moyang kalian Nabi Ibrahim sampai masa-masa sesudahnya. Demikianlah keadaan mereka, masih tetap ada nabi-nabi dari kalangan mereka yang menyeru kepada agama Allah dan memperingatkan mereka akan pembalasan-Nya, sehingga diakhiri oleh Nabi Isa ibnu Maryam a.s.
Kemudian Allah memberikan wahyu kepada penutup seluruh para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad ibnu Abdullah yang nasabnya. sampai kepada Nabi Ismail a.s. ibnu Nabi Ibrahim a.s. Dia lebih mulia dan lebih terhormat daripada para nabi sebelumnya
Firman Allah Swt.:
{وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا}
dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka (Al-Maidah: 20)
Istilah muluk menurut apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Mansur, dari Al-Hakam atau lainnya, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna "Dan Dia menjadikan kalian muluk" ialah mempunyai pelayan, istri, dan rumah.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis As-Sauri pula, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "muluk" ialah istri dan pelayan.
{وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
Dan Dia telah memberikan kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud ialah umat-umat lain yang ada se­masa mereka. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil apabila telah mempunyai istri, pelayan, dan rumah tempat tinggal, maka ia dinamakan malik (raja).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la. telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Hambali mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As ketika ditanya oleh seorang lelaki, "Bukankah kita termasuk orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin?" Lalu Abdullah ibnu Amr ibnul As balik bertanya, "Bukankah kamu mempunyai istri yang menjadi teman hidupmu?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr bertanya lagi, "Bukankah kamu punya rumah tempat tinggal?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr berkata, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya." Lelaki itu berkata, "Aku mempunyai pelayan." Abdullah ibnu Amr menjawab, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya."
Al-Hasan Al-Bashri telah mengatakan bahwa raja itu tiada lain hanyalah seseorang yang mempunyai kendaraan, pelayan, dan rumah.
Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir meriwa­yatkan hal yang semisal, dari Al-Hakam, Mujahid, Mansur, dan Sufyan As-Sauri.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Maimun ibnu Mahran; Ibnu Syaizab telah mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan Bani Israil apabila memiliki rumah dan pelayan serta untuk bersua dengannya harus melalui penjaga, maka dia adalah seorang raja
Qatadah mengatakan, orang-orang Bani Israil adalah orang-orang yang mula-mula menggunakan pelayan.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Dia menjadikan kalian orang-orang yang merdeka. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud ialah "bila seseorang dari kalian telah memiliki dirinya, memiliki harta benda, dan mempunyai istri". Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: ذَكَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَة، عَنْ دَرَاج، عَنْ أَبِي الهَيْثَم، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كَانَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ خَادِمٌ وَدَابَّةٌ وَامْرَأَةٌ، كُتِب مَلِكًا".
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah, dari Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka mempunyai pelayan, kendaraan, dan istri, maka ia dicatat sebagai seorang raja.
Dari segi teksnya hadis ini berpredikat garib.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَة أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، [قَالَ] سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمٍ يَقُولُ: {وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا} فَلَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ كَانَ لَهُ بَيْتٌ وَخَادِمٌ فَهُوَ مَلِكٌ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abu Damrah Anas ibnu Iyad. bahwa ia pernah mendengar Zaid ibnu Aslam berkata menafsirkan makna firman-Nya, "Dan Dia menjadikan kalian orang-orang merdeka" (Al-Maidah: 20). Maka tiada yang dikatakannya kecuali hanya mengetengahkan hadis bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mempunyai rumah dan pelayan, maka dia adalah raja.
Hadis ini mursal lagi garib. Menurut Malik, yang dimaksud dengan raja ialah orang yang memiliki rumah, pelayan, dan istri. Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِربه، عِنْدَهُ قُوت يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزت لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا".
Barang siapa yang berpagi hari dari kalian dalam keadaan diberi kesehatan pada tubuhnya dan aman dijalannya, serta ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah diraih olehnya.
****
Firman Allah Swt.:
{وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}
dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah di­berikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)
Yakni orang-orang yang alim di masa kalian. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling mulia di zamannya, lebih mulia daripada orang-orang Yunani, orang-orang Egypt, dan bangsa-bangsa lain dari anak Adam. seperti yang disebutkan oleh ayat lain:
{وَلَقَدْ آتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ}
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian; dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik, dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (Al-Jatsiyah: 16)
Allah Swt. berfirman,menceritakan perihal Musa a.s. ketika umatnya mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ. إِنَّ هَؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ}
Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab, "Sesung­guhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)." Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab, "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kalian yang selain dari Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat.” (Al-A'raf: 138-140)
Yang kami maksudkan ialah "mereka adalah orang-orang yang paling unggul di masanya", karena sesungguhnya umat ini lebih mulia daripada mereka dan lebih utama di sisi Allah, syariatnya lebih sempurna dan jalannya lebih lurus, nabinya lebih mulia, kerajaannya lebih besar, rezekinya lebih berlimpah, harta dan anaknya lebih banyak, serta kerajaannya lebih luas dan kejayaannya lebih kekal. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ}
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. (Al-Baqarah: 143)
Kami telah mengetengahkan hadis-hadis yang mutawatir menceritakan perihal keutamaan umat ini dan kemuliaan serta kehormatannya di sisi Allah, yaitu pada tafsir firman-Nya:
{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ}
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (Ali Imran: 110)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Malik serta Sa'id ibnu Jubair, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud dengan lafaz al- 'alamina adalah umat Muhammad Saw.
Seakan-akan mereka bertiga bermaksud bahwa khitab dalam firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah di­berikan-Nya kepada seorang pun. (Al-Maidah: 20) menyertakan pula umat Muhammad. Sedangkan menurut Jumhur ulama, khitab ini dari Musa a.s., ditujukan kepada umatnya; dan makna yang dimaksud adalah orang-orang alim yang sezaman dengan mereka, seperti keterangan yang telah kami kemukakan di atas.
Menurut pendapat yang lain. makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20); Yakni apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada mereka, berupa manna dan salwa dan dinaungi oleh awan serta hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam lainnya yang pernah diberikan kepada mereka oleh Allah Swt. sebagai suatu kekhususan buat mereka.
Kemudian Allah Swt. menceritakan perihal anjuran yang dikeluarkan oleh Musa a.s. kepada Bani Israil untuk berjihad dan memasuki Baitul Muqaddas yang dahulunya adalah milik mereka di masa kakek moyang mereka, yaitu Nabi Ya'aub a.s. Nabi Ya'qub dan anak-anaknya serta semua keluarganya pergi meninggalkannya menuju ke negeri Mesir di masa Nabi Yusuf a.s. Mereka tetap tinggal di Mesir, dan baru keluar meninggalkannya bersama Musa a.s. Tetapi mereka menjumpai di dalam kota Baitul Maqdis suatu kaum dari orang-orang 'Amaliqah (raksasa) yang gagah perkasa, yang telah merebut kota itu dan menguasainya.
Maka utusan Allah —Nabi Musa a.s.— memerintahkan kaum Bani Israil untuk memasuki Baitul Muqaddas dan memerangi musuh me­reka serta membangkitkan semangat mereka dengan berita gembira akan mendapat pertolongan dan kemenangan atas musuh mereka. Tetapi mereka membangkang dan durhaka serta tidak mau menuruti perintah nabinya. Akhirnya mereka dihukum oleh Allah dengan hukuman terse­sat di padang sahara selama empat puluh tahun; selama itu mereka ti­dak mengetahui arah manakah yang mereka tempuh dan ke manakah tujuan mereka. Hal tersebut sebagai hukuman terhadap mereka karena mereka menyia-nyiakan perintah Allah Swt. dan tidak mau menaati­Nya.
Untuk itu Allah Swt. Berfirman menceritakan perihal Nabi Musa a.s. yang berkata kepada kaumnya:
{يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ}
“Hai kaumku masuklah ke tanah suci (Palestina).” (Al Maidah: 21)
Yakni: Mutahharah ialah "yang suci". Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna tanah suci ini, bahwa yang dimaksud ialah Bukit Tur dan daerah sekitarnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa tanah suci tersebut adalah Ariha. Hal yang sama telah dikatakan oleh bu­kan hanya seorang dari kalangan mufassirin. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat Ariha bukan kota yang dimaksudkan untuk diserang, bukan pula terletak di tengah perjalanan mereka menuju ke Baitul Maqdis, karena mereka datang dari negeri Mesir ketika Allah telah membinasakan musuh mereka, yaitu Raja Fir'aun; kecuali jika yang dimaksud dengan Ariha adalah Baitul Maqdis, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi menurut apa yang diriwayat­kan oleh Ibnu Jarir darinya. Jadi, yang dimaksud dengan Ariha bukan­lah sebuah kota terkenal yang terletak di pinggiran Bukit Tur sebelah tenggara kota Baitul Muqaddas.
Firman Allah Swt.:
{الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
yang telah ditentukan Allah bagi kalian. (Al-Maidah: 21)
Yakni Allah telah menjanjikannya buat kalian melalui lisan kakek moyang kalian —Nabi Ya*qub— bahwa tanah tersebut merupakan warisan bagi orang yang beriman di antara kalian.
{وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ}
dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut musuh). (Al-Maidah: 21)
Dengan kata lain, janganlah kalian membangkang untuk berjihad.
{فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ}
"Maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.”Mereka ber­kata, "Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali ti­dak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mere­ka keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.” (Al-Maidah: 21-22)
Mereka mengemukakan alasannya, bahwa "di negeri yang engkau perintahkan agar kami memasukinya dan memerangi penduduknya terdapat kaum yang gagah perkasa, memiliki tubuh raksasa yang kuat dan besar, dan sesungguhnya kami tidak mampu melawan mereka dan tidak pula menyerang mereka, serta tidak mungkin bagi kami mema­sukinya selagi mereka masih bercokol di dalamnya. Jika mereka keluar darinya, niscaya kami akan memasukinya; tetapi jika mereka masih tetap berada di dalamnya, maka tidak ada kekuatan bagi kami untuk mengusir mereka".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Sa'id pernah mengatakan bahwa Ikrimah telah menceritakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan: Musa diperintahkan untuk memasuki kota orang-orang yang gagah perkasa. Maka Musa berjalan bersama dengan orang-orang yang mengikutinya hingga turun istirahat di suatu tempat dekat dengan kota yang dimaksud, yaitu Ariha. Lalu Musa a.s. mengirimkan kepada mereka dua belas orang mata-mata yang berasal dari masing-masing kabilah. Mata-mata itu ditugaskan untuk melihat keadaan dan kekuatan musuh, lalu beritanya disampaikan kepada Nabi Musa a.s. dan pasukannya. Kedua belas orang mata-mata itu memasuki kota tersebut, dan ternyata mereka menyaksikan suatu hal yang hebat sekali. Mereka tertegun kaget melihat keadaan kota dan tubuh para penghuninya yang besar-besar seperti raksasa. Lalu mereka memasuki kebun milik salah seorang penduduk kota itu, tetapi pemilik kebun datang untuk meme­tik buah dari kebunnya. Kemudian ia memetik buah-buahan, dan ia menjumpai bekas telapak kaki kedua belas orang itu, lalu ia mengikuti dan mengejarnya. Setiap ia berhasil menangkap seseorang dari mereka, ia masukkan ke dalam kantong baju jubahnya bersama buah-buahan yang dipetiknya, hingga ia berhasil menangkap kedua belas orang mata-mata itu. Pemilik kebun itu memasukkan mereka ke dalam suatu kantong, bersama buah-buahan yang telah dipetiknya, lalu ia berangkat menghadap kepada rajanya dan mengeluarkan mereka semua dari kantong itu di hadapan rajanya. Si Raja berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kalian telah melihat keadaan dan kekuatan kami. maka sekarang pulanglah dan beri tahukanlah kepada pemimpin kalian." Maka mereka kembali kepada Musa a.s. dan menceritakan kepadanya semua apa yang telah mereka saksikan perihal musuh mere­ka.
Akan tetapi, sanad asar ini masih perlu dipertimbangkan.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Musa bersama kaumnya turun istirahat di suatu tempat, maka ia mengirimkan dua belas orang dari mereka yang semuanya adalah para pemimpin kabilah yang telah disebutkan oleh Allah Swt. Maka Musa a.s. mengirimkan mereka dengan tugas untuk membawa berita perihal kekuatan musuh mereka. Kedua belas orang itu berjalan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan salah seorang dari penduduk kota yang gagah perkasa. Maka orang itu memasukkan mereka ke dalam kantong jubahnya dan membawa mereka sampai ke kotanya. Lalu orang itu berseru kepada kaumnya, kemudian kaumnya berkumpul mengelilinginya. Setelah itu mereka (penduduk kota itu) bertanya, "Siapakah kalian ini?" Kedua belas orang itu menjawab, "Kami adalah kaum Nabi Musa, dialah yang mengirimkan kami untuk mencari berita tentang kalian." Maka mereka memberi kedua belas orang itu sebiji buah anggur yang cukup buat makan satu orang, dan mereka berkata, "Pergilah kalian kepada Musa dan kaumnya, dan katakanlah kepada mereka bahwa ini adalah  takdir." Maka mereka kembali dengan hati yang sangat takut, Ketika mereka datang kepada Musa, mereka langsung menceritakan apa yang telah mereka saksikan.  Ketika Musa memerintahkan mereka untuk memasuki kota itu dan memerangi penduduknya, maka mereka (kaum Musa) berkata, "Hai Musa. pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnul Hadi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdur Rahman yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Anas ibnu Malik memungut sebuah tongkat, lalu ia mengukurnya dengan sesuatu yang panjangnya tidak ia ketahui berapa hasta. Kemudian ia mengukurkannya ke tanah sepanjang lima puluh atau lima puluh lima kali panjang tongkat itu. Lalu ia berkata, "Inilah tinggi kaum 'Amaliqah (raksasa)."
Sehubungan dengan masalah ini banyak kalangan mufassirin yang menceritakan berita-berita buatan Bani Israil mengenai besarnya tubuh kaum yang gagah perkasa itu. Disebutkan bahwa di antara mere­ka ada seseorang yang dikenal dengan nama Auj ibnu Unuq binti Adam a.s. Konon tingginya adalah tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga hasta, berdasarkan ukuran perhitungan hasta. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat memalukan bila disebutkan, kemudi­an hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ [تَعَالَى] خَلَقَ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ لَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ".
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as. dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian keadaan (tubuh) manusia terus-menerus berkurang hingga sekarang.
Kemudian mereka menyebutkan bahwa Auj ibnu Unuq ini adalah seorang kafir, dia lahir dari hubungan zina, dan menolak menaiki perahu Nabi Nuh a.s. Dikatakan pula bahwa banjir besar tidak sampai sebatas lututnya (karena sangat tingginya); ini merupakan kedustaan dan kebohongan, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menceritakan bahwa Nabi Nuh a.s. mendoakan kebinasaan atas penduduk bumi yang kafir, seperti yang disebutkan melalui firman-Nya:
{رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا}
Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antaraorang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi (Nuh : 26)
{فَأَنْجَيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ ثُمَّ أَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِينَ}
Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal. (Asy-Syu'ara: 119-120)
{لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ}
Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang. (Hud: 43)
Apabila anak Nabi Nuh sendiri yang kafir tenggelam, maka mana mungkin Auj ibnu Unuq yang kafir lagi anak zina itu dapat selamat dan masih hidup? Hal ini jelas bertentangan dengan rasio dan syara' (agama). Kemudian keberadaan seorang lelaki yang bernama Auj ibnu Unuq ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.
*****
Firman Allah Swt.:
{قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا}
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya. (Al-Maidah: 23)
Ketika kaum Bani Israil menolak untuk taat kepada Allah dan menolak mengikuti rasul-Nya —yaitu Nabi Musa a.s.—, mereka digerakkan oleh dua orang lelaki yang telah mendapat nikmat yang besar dari Allah; keduanya termasuk orang-orang yang taat kepada perintah Allah dan takut terhadap siksaan-Nya.
Sebagian mufassirin ada yang membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut:
{قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يُخَافُونَ}
Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang berpengaruh (di kalangan mereka). (Al-Maidah: 23)
dengan dibaca mabni majhul, yakni sebagian dari orang-orang yang mempunyai pengaruh yang besar dan kedudukan di kalangan mereka (Bani Israil). Kedua orang tersebut menurut suatu pendapat bernama Yusya’ ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Kedua orang itu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:         
{ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila ka­lian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya ke­pada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah: 23)
Yakni jika kalian bertawakal kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya serta mendukung rasul-Nya, niscaya Allah akan menolong kalian terhadap musuh-musuh kalian, Dia akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas musuh-musuh kalian, dan kalian pasti akan memasuki negeri yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian.
Akan tetapi, hal tersebut tidak memberi pengaruh sedikit pun pada mereka, sebagaimana disebutkan oleh firman selanjutnya:
{قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُون}
Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya Karena itu, pergi­lah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, se­sungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (Al-Maidah: 24)
Ini merupakan sikap pembangkangan mereka yang tidak mau berjihad dan menentang rasul mereka serta menolak untuk berperang dengan Musuh mereka.
Disebutkan bahwa ketika mereka menolak berjihad dan bertekad untuk berangkat kembali menuju ke negeri Mesir, maka Musa dan Harun sujud (kepada Allah) di hadapan sejumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil karena sangat keberatan dengan apa yang mereka niatkan itu. Kemudian Yusya' ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana merobek bajunya sendiri (sebagai ungkapan kekesalan) dan mencaci kaumnya yang bersikap demikian itu (menolak berjihad). Menurut suatu kisah, mereka (kaum Bani Israil) merajam Yusya' dan Kalib, dan terjadilah suatu peristiwa yang sangat besar serta krisis yang sangat parah.
Sehubungan dengan hal ini, alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh para sahabat radiyallahu 'anhum pada hari Perang Badar kepada Rasulullah Saw., yaitu ketika Rasulullah Saw. meminta pendapat dari mereka untuk berangkat memerangi pasukan kaum musyrik yang datang untuk melindungi kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
Ketika kafilah itu terlepas dari penghadangan mereka, dan pasukan kaum musyrik yang terdiri atas sembilan ratus sampai seribu orang personel berikut semua perbekalan dan persenjataannya mendekat kepada pasukan kaum muslim, maka Abu Bakar r.a. mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapatnya itu baik. Kemudian sebagian dari sahabat yang terdiri atas kalangan kaum Muhajirin mengemukakan pula pendapatnya, sedangkan Rasulullah Saw. sendiri bersabda:
"أَشِيرُوا عليَّ أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ".
Berikanlah saran-saran kalian kepadaku, hai kaum muslim!
Rasulullah Saw. tidak sekali-kali memaklumatkan demikian kecuali untuk memberitahukan kepada para sahabat dari kalangan Ansar, karena hari itu mereka merupakan mayoritas. Maka Sa'd ibnu Mu'az (pemimpin mereka) berkata:
Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau menyindir kami. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau hadapkan kami ke laut ini, lalu engkau memasukinya, niscaya kami pun akan memasukinya pula bersamamu, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari kami. Kami sama sekali tidak segan untuk menghadapi musuh kami besok hari, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang teguh da­lam perang dan pantang mundur dalam medan laga. Mudah-mudahan Allah menampakkan kepadamu sikap kami yang akan membuat engkau senang hati, maka bawalah kami dengan berkah dari Allah
Mendengar perkataan Sa’d dan semangatnya yang berkobar untuk menghadapi medan perang, maka hati Rasulullah Saw. menjadi gembira.
Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Ali Ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Anshari, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. ketika hendak berangkat menuju ke medan Badar bermusyawarah dengan kaum muslim, maka sahabat Umar mengemukakan pendapatnya untuk berangkat. Kemudian Rasulullah Saw. meminta pendapat mereka, maka kaum Ansar berkata.”Hai orang-orang Ansar, sesungguhnya Rasulullah Saw. bermaksud minta pendapat dari kalian!" Maka mereka menjawab, "Kalau demikian, kami tidak akan mengatakan kepadanya seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa dalam firman-Nya: Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini sa­ja (Al-Maidah: 24) Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau pergi ke jantung pertahanan mereka sampai ke Barkil Gimad niscaya kami akan ikut besertamu.
Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ubaidah ibnu Humaid, dari Humaid At-Tawil, dari Anas dengan lafaz yang sama.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Khalid ibnul Haris, dari Humaid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Hibban meriwayatkannya dari Abu Ya'la, dari Abdul A'la ibnu Hammad, dari Ma'mar ibnu Sulaiman, dari Humaid dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Al-Hakam ibnu Ayyub, dari Abdullah ibnu Nasikh, dari Atabah ibnu Ubaid As-Sulami yang telah menceritakan bahwa Nabi Saw. berkata kepada para sahabatnya, "Maukah kalian berperang?" Mereka menjawab, "Ya, dan kami tidak akan berkata seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu yang disitir oleh firman-Nya: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja* (Al-Maidah: 24). Tetapi kami akan mengatakan, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu'."
Yang termasuk salah seorang yang memenuhi seruan itu adalah Al-Miqdad ibnu Amr Al-Kindi r.a. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Waki, telah menceritakan kepadaku Sufyan, dari Mukhariq ibnu Abdullah Al-Ahmasi, dari Tariq, yaitu Ibnu Syihab, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Rasulullah Saw. dalam peristiwa Perang Badar, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami pun ikut berperang bersama kamu berdua."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari segi ini.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur lain, bahwa telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir. telah menceritakan kepada kami Israil, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab yang telah menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah menyaksikan suatu sikap Al-Miqdad yang membuat diriku menginginkan seperti apa yang dilakukannya, yaitu ketika Rasulullah Saw. sedang menyeru kaum muslim untuk berperang melawan kaum musyrik, Al-Miqdad datang kepadanya, lalu berkata, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak akan mengatakan seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. (Al-Maidah: 24) Tetapi kami akan ikut berperang di sebelah kanan, di sebelah kiri, di sebelah depan, dan di sebelah belakangmu.' Maka aku melihat wajah Rasulullah Saw. berseri-seri karenanya. Hal itu membuatnya gembira."
Demikian pula Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Magazi dan kitab Tafsir melalui berbagai jalur dari Mukhariq. Lafaz yang diketengahkannya di dalam kitab Tafsir dari Abdullah adalah seperti berikut:
Pada hari Perang Badar, Al-Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Ansar) tidak akan mengatakan kepadamu seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi berangkatlah engkau,dan kami akan bersama denganmu." Maka seakan-akan Al-Miqdad membuat Rasulullah Saw. sangat gembira.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Waki', dari Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Nabi Saw. hingga akhir hadis.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa pada hari Hudaibiyah Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi hewan kurban kaum muslim dan menghalang-halangi antara mereka dan tempat manasiknya: Sesungguhnya aku akan pergi membawa hewan kurban, maka sembelihlah di Baitullah. Maka Al-Miqdad ibnul Aswad berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami tidak akan seperti segolongan orang dari kaum Bani Israil, ketika mereka berkata kepada nabi mereka (Nabi Musa a.s.). yaitu: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu." Ketika para sahabat mendengar hal ini maka mereka mengikuti sikap Al-Miqdad ibnul Aswad.
Hal ini bilamana memang terjadi pada hari Hudaibiyah, maka dapat diartikan bahwa ucapan tersebut pada hari itu kembali diulangi oleh Al-Miqdad sebagaimana yang pernah ia katakan pada hari Perang Badar.
*****
Firman Allah Swt.:
{قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu." (Al-Maidah: 25)
Yakni ketika kaum Bani Israil tidak mau berperang, maka Nabi Musa a.s. marah kepada mereka, dan ia berkata dalam doanya: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. (Al-Maidah: 25)
Dengan kata lain, tiada seorang pun dari mereka yang taat kepadaku, lalu mau mengerjakan perintah Allah dan memenuhi apa yang aku serukan, kecuali hanya aku dan saudaraku Harun.
{فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu. (Al-Maidah: 25)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "berilah keputusan antara aku dan mereka". Hal yang sama dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Ad-Dahhak, yakni "berilah keputusan antara kami dan mereka". Sedangkan menurut yang lainnya adalah "pisahkanlah antara kami dengan mereka". Perihalnya sama dengan pengertian yang ada di dalam sebuah bait syair berikut:
يَا رَبِّ فَافْرُقْ بَيْنَه وبَيْني ... أَشَدَّ مَا فَرقْت بَيْن اثْنَيْنِ ...
Ya Tuhanku, pisahkanlah antara dia dengan aku, dengan per­pisahan yang amat jauh yang pernah Engkau lakukan terhadap dua orang.
****
Firman Allah Swt.:
فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ
Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26), hingga akhir ayat
Setelah Nabi Musa a.s. menyeru mereka untuk berjihad dan mereka menolak, tidak mau berjihad, maka Allah memutuskan bahwa haram bagi mereka memasuki kota itu selama empat puluh tahun. Akhirnya mereka terjebak di padang Tih dan mereka berjalan berputar-putar selama masa tersebut di dalamnya tanpa mengetahui jalan keluarnya.
Di padang Tih itu terjadi banyak hal yang ajaib dan mukjizat-mukjizat, antara lain: Mereka selalu dinaungi oleh awan, diturunkannya manna dan salwa kepada mereka, dan keluarnya air dari benda mati, yaitu sebuah batu yang mereka bawa di atas seekor hewan kendaraan. Apabila Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka mengalirlah darinya dua belas mata air yang memancar, masing-masing kabilah memperoleh sebuah mata air. Terjadi pula mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Musa ibnu Imran.
Di padang Tih itulah kitab Taurat diturunkan, disyariatkan untuk mereka berbagai hukum, serta dibuatkan kubah perjanjian yang dikenal dengan sebutan "Kubah Zaman".
Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan dari Asbag ibnu Zaid, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt. berikut: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar­-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (AJ-Maidah: 26), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka tersesat di padang itu selama empat puluh tahun, setiap hari mereka berjalan tanpa ada tempat yang tetap bagi mereka. Kemudian di padang itulah mereka dinaungi oleh awan, dan diturunkan kepada mereka manna dan salwa. Inilah yang disebutkan oleh sebagian dari hadis Futun.
Kemudian pada masa itulah Harun a.s. wafat, selang tiga tahun kemudian Musa as. pun meninggal dunia. Lalu Allah mengangkat Yusya' ibnu Nun sebagai nabi mereka menggantikan Musa ibnu Imran as. Kebanyakan kaum Bani Israil meninggal dunia di masa itu, sehingga dikatakan bahwa tiada seorang pun dari mereka yang tersisa selain Yusya’ ibnu Nun dan Kalib. Berangkat dari pengertian ini sebagian kalangan mufassirin ada yang mengatakan bahwa firman-Nya:
{قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ}
Allah berfirman, "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka " (Al-Maidah: 26)
Pada ayat ini terdapat waqaf tam (bacaan berhenti atau titik), dan firman-Nya:
{أَرْبَعِينَ سَنَةً}
selama empat puluh tahun. (Al-Maidah: 26)
di-nasab-kan oleh fi'il yang terdapat pada firman-Nya:
{يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ}
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26)
Setelah masa empat puluh tahun berlalu, maka Yusya' ibnu Nun membawa mereka keluar dari padang itu bersama orang-orang yang masih hidup dari mereka atau dengan Bani Israil seluruhnya dari bukit yang berikutnya. Lalu Yusya' ibnu Nun a.s. membawa mereka dengan tujuan Baitul Maqdis, kemudian Yusya' mengepung kota itu, dan akhirnya kota itu berhasil ia jatuhkan pada hari Jumat sesudah asar.
Ketika matahari hampir tenggelam dan Yusya' merasa khawatir akan masuknya hari Sabtu (yang disucikan mereka), maka ia berkata, "Sesungguhnya engkau diperintahkan, aku pun diperintahkan pula. Ya Allah, tahanlah matahari ini untukku." Maka Allah menahannya hingga kemenangan mereka raih secara sempurna.
Allah memerintahkan Yusya' ibnu Nun agar memerintahkan ke­pada Bani Israil supaya memasuki Baitul Maqdis dari pintu gerbangnya seraya bersujud dan mengucapkan doa Hittah (yakni ampunilah dosa-dosa kami). Tetapi ternyata mereka mengganti semua yang diperintah­kan kepada mereka; mereka memasukinya dengan mengesot seraya mengatakan, "Habbah fi sya'rah." Hal ini telah kami terangkan di dalam surat Al-Baqarah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r,a. sehubungan dengan firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26); Bahwa mereka tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun, dan Musa serta Harun wafat di padang itu beserta semua orang yang usianya melampaui empat puluh tahun.
Setelah berlalu masa empat puluh tahun, maka Yusya' ibnu Nun memimpin mereka. Dialah yang memerintah mereka sesudah Musa a.s., dan dialah yang mengalahkan kota Baitul Maqdis, dia pula yang dikatakan kepadanya bahwa hari itu adalah hari Jumat. Ketika mereka hampir saja mengalahkan kota itu dan matahari mendekati ufuk baratnya, maka Yusya' ibnu Nun merasa khawatir bila malam Sabtu masuk, sehingga mereka harus menyucikan hari itu. Lalu ia berseru kepada matahari, "Sesungguhnya aku diperintahkan sebagaimana engkau pun diperintahkan." Maka matahari terhenti hingga Yusya' ibnu Nun menjatuhkan kota itu.
Di dalam kota itu Yusya ibnu Nun menjumpai harta yang berlimpah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian ia memasukkan semua harta ganimah itu ke dalam api, tetapi api tidak mau melahapnya. Maka ia berkata, "Di antara kalian ada orang yang korupsi." Lalu ia memanggil semua pemimpin kabilah yang berjumlah dua belas orang. Kemudian Yusya' membaiat mereka, ternyata tangan seseorang dari mereka ada yang menempel, tidak mau lepas dari tangannya. Maka Yusya' ibnu Nun berkata, "Penggelapan ini terjadi di antara orang-orangmu, maka keluarkanlah barang itu!"
Maka orang yang tangannya menempel itu mengeluarkan sebuah patung kepala sapi dari emas yang kedua matanya terbuat dari batu yaqut dan giginya dari mutiara. Lalu Yusya' ibnu Nun meletakkan patung sapi itu bersama dengan ganimah lainnya yang akan dibakar oleh api, maka saat itu juga api baru mau melahapnya.
Konteks asar ini mempunyai bukti yang menguatkannya di dalam kitab Sahih.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka (Al-Maidah: 26) merupakan 'amil yang berpengaruh pada lafaz arba'ina sanah (empat puluh tahun), dan bahwa mereka tinggal tanpa dapat memasuki Baitul Maqdis selama empat puluh tahun dalam keadaan tersesat di padang sahara tanpa mengetahui arah tujuannya.
Ibnu Jarir mengatakan, setelah itu Nabi Musa a.s. keluar dari padang Tih dan membuka kota Baitul Maqdis bersama dengan Bani Israil. Ibnu Jarir mengatakan demikian dengan berdalilkan kesepakatan pendapat ulama berita-berita umat terdahulu yang mengatakan bahwa Auj ibnu Unuq dibunuh oleh Musa a.s. Ibnu Jarir mengatakan, "Se­andainya Musa membunuhnya sebelum ia masuk ke padang Tih, niscaya kaum Bani Israil tidak merasa takut terhadap bangsa 'Amaliqah.
Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa kejadian tersebut sesudah pengembaraan di padang Tih."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa para ulama ahli berita umat ter­dahulu telah sepakat bahwa Bal'am ibnu Ba'ura membantu kaum yang gagah perkasa untuk melawan Musa a.s. melalui doanya. Ibnu Jarir mengatakan, hal tersebut masih belum terjadi kecuali setelah pengembaraan di padang Tih, karena mereka sebelum itu tidak merasa takut terhadap Musa a.s. dan kaumnya. Demikianlah alasan yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan ke­pada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa panjang tong­kat Nabi Musa adalah sepuluh hasta, sedangkan tinggi lompatannya sepuluh hasta, dan tinggi tubuhnya sendiri adalah sepuluh hasta. Lalu Nabi Musa a.s. melompat dan memukulkan tongkatnya kepada Auj ibnu Unuq. tetapi yang ia kenai hanya mata kakinya, dan ternyata pukulan itu mematikan Auj ibnu Unuq. Konon tulang (iganya) dijadikan jembatan Sungai Nil selama satu tahun.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Nauf Al-Bakkali yang telah mengatakan bahwa konon tempat tidur Auj ibnu Unuq panjangnya delapan ratus hasta. Tinggi Nabi Musa adalah sepuluh hasta, panjang tongkatnya sepuluh hasta, dan ia melompat ke atas setinggi sepuluh hasta, lalu ia memukul Auj ibnu Unuq dengan tongkatnya, yang ia kenai hanyalah mata kakinya Lalu Auj ibnu Unuq jatuh dan mati, maka (tulangnya) dijadikan oleh orang-orang sebagai jembatan tempat mereka berlalu lalang.
****
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}
Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu. (Al-Maidah: 26)
Hal ini dimaksudkan untuk menghibur hati Nabi Musa a.s. agar tidak memikirkan mereka. Dengan kata lain, janganlah kamu sesali dan jangan kamu bersedih hati terhadap mereka tentang apa yang telah engkau putuskan atas mereka, karena sesungguhnya mereka berhak untuk mendapat hukuman itu.
Di dalam kisah ini terkandung makna yang mengingatkan orang-orang Yahudi akan masa silam mereka yang penuh dengan kekelam­an dan terkandung penjelasan mengenai hal-hal yang memalukan mereka dan pertentangan mereka terhadap Allah dan rasul-Nya, serta pembangkangan mereka kepada keduanya, yakni mereka tidak me­naati perintah keduanya yang menganjurkan mereka untuk berjihad. Dan ternyata jiwa mereka lemah, tidak mampu bersabar untuk menghadapi musuh dan memeranginya, padahal di antara mereka terdapat utusan Allah yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan merupakan makhluk pilihan Allah di masa itu. Dia telah menjanjikan pertolongan dan kemenangan bagi mereka atas musuh-musuhnya. Padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang telah dilakukan oleh-Nya terhadap musuh mereka, yaitu Fir'aun, berupa azab-Nya, pembalasan-Nya, dan Fir'aun beserta bala tentaranya ditenggelamkan ke dalam laut oleh-Nya, sedangkan mereka menyaksikan peristiwa itu agar hati mereka tenteram, dan peristiwa tersebut tidaklah jauh dari masa mereka. Akan tetapi, mereka tetap membangkang, tidak mau berperang melawan penduduk Baitul Maqdis; padahal bila dibandingkan dengan penduduk Mesir, tidak ada satu persennya, baik dari segi bilangan penduduknya maupun dari segi perlengkapan senjatanya.
Ternyata keburukan-keburukan perbuatan dan sepak terjang mereka tampak jelas di mata orang-orang tertentu dan juga kalangan awam. Sejarah mereka yang memalukan itu tidak dapat ditutupi, sekalipun oleh gelapnya malam dan tidak dapat disembunyikan. Tetapi ironisnya mereka dalam kebodohannya bergelimangan, dan dalam kesesatannya tiada berkesudahan. Mereka adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah dan dianggap sebagai musuh-musuh-Nya. Tetapi anehnya sekalipun demikian mereka tega mengatakan bahwa dirinya adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Semoga Allah memburukkan wajah mereka yang seharian darinya telah dikutuk oleh Allah menjadi babi dan kera yang hina, dan selalu disertai oleh laknat Allah yang terus-menerus menemani mereka sampai ke neraka yang menyala-nyala. Allah memutuskan keabadian di dalam neraka bagi mereka, dan Allah telah melakukan hal itu. Segala puji bagi Allah dari segala seginya.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100