Tafsir Surat Al-Maidah, ayat 94-95

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (94) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (95)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak kalian supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya azab yang pedih Hai orang-orang yang beriman Janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan orang yang adil di antara kalian sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.
Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt.: Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang lemah dan yang kecil, Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan melalui binatang buruan itu dalam ihram mereka; sehingga seandainya mereka suka, mereka dapat menangkapnya dengan tangan mereka. Maka Allah melarang mereka mendekatinya.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Yang mudah didapat oleh tangan kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang kecil dan yang masih baru menetas. dan oleh tombak kalian. (Al-Maidah: 94) Yakni binatang buruan yang besar.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa umrah Hudaibiyyah. Tersebutlah bahwa saat itu binatang liar, burung-burung, dan binatang buruan lainnya banyak mereka dapati dalam perjalanan mereka; hal seperti itu belum pernah mereka lihat sebelumnya. Lalu Allah melarang mereka membunuh binatang-binatang buruan, sedang mereka dalam keadaan ihram.
{لِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَخَافُهُ بِالْغَيْبِ}
Supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. (Al-Maidah: 94)
Yakni Allah Swt. menguji mereka dengan binatang buruan yang mengelilingi mereka dalam perjalanannya, mereka dapat saja dengan mudah menangkap binatang-binatang buruan itu dengan tangan dan tombak mereka secara sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan. Dimaksudkan agar tampak siapa yang taat kepada Allah di antara mereka dalam kesendiriannya atau dalam terang-terangannya. Makna ayat ini sama dengan yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (Al-Mulk: 12)
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ}
Barang siapa yang melanggar batas sesudah itu. (Al-Maidah: 94)
Yakni sesudah pemberitahuan dan peringatan serta pendahuluan ini, menurut As-Saddi dan lain-lainnya.
{فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
maka baginya azab yang pedih. (Al-Maidah: 94)
Karena ia melanggar perintah Allah dan syariat-Nya.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. (Al-Maidah: 95)
Hal ini merupakan pengharaman dan larangan dari Allah Swt. untuk membunuh dan memakan binatang buruan dalam keadaan ihram. Dan hal ini tiada lain menyangkut binatang yang boleh dimakan dagingnya, bila ditinjau dari segi maknanya, sekalipun hewan yang dilahirkan dari campuran antara binatang yang halal dimakan dan binatang lainnya.
Mengenai binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya dari kalangan hewan darat; menurut Imam Syafii, orang yang sedang ihram diperbolehkan membunuhnya.
Lain halnya dengan jumhur ulama, mereka tetap mengharamkannya pula, dan tiada yang dikecualikan kecuali apa yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah Ummul Mu’minin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خَمْسُ فَواسِق يُقْتَلْنَ فِي الحِلِّ والحَرَم الغُراب وَالْحِدَأَةُ، والعَقْرب، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العَقُور".
Ada lima hewan jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah halal maupun di tanah suci, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking (scorpion), tikus, dan anjing gila.
قَالَ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَمْسٌ مِنَ الدَّوَابِّ لَيْسَ عَلَى الْمُحْرِمِ فِي قَتْلِهِنَّ جُنَاح: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ".
Imam Malik telah meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Ada lima macam hewan yang tiada dosa bagi orang yang sedang ihram membunuhnya, yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing gila.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkannya pula. Ayyub telah meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang semisal; dan Ayyub mengatakan, "Aku bertanya kepada Nafi' mengenai ular, maka Nafi' menjawab, 'Masalah ular tidak diragukan lagi, dan tiada yang memperselisihkan kebolehan membunuhnya'."
Di antara ulama seperti Imam Malik dan Imam Ahmad terdapat orang-orang yang menyamakan dengan anjing gila yaitu serigala, hewan pemangsa, macan tutul dan harimau, karena hewan-hewan tersebut lebih berbahaya daripada anjing gila.
Zaid ibnu Aslam dan Sufyan ibnu Uyaynah mengatakan bahwa pengertian anjing gila mencakup semua jenis hewan liar pemangsa.
Orang yang mengatakan demikian menyimpulkan dalil dari sebuah riwayat yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. mendoakan kebinasaan terhadap Atabah ibnu Abu Lahab, dalam doanya beliau mengucapkan:
"اللَّهُمَّ سَلِّط عَلَيْهِ كَلْبَكَ بِالشَّامِ"
Ya Allah, kuasakanlah atas dirinya. anjing-Mu yang ada di negeri Syam.
Ternyata Atabah dimangsa oleh hewan pemangsa di Zarqa.
Jumhur ulama mengatakan, jika seseorang membunuh selain hewan-hewan yang disebutkan dalam hadis, maka ia harus membayar dendanya, misalnya dia membunuh dubuk, musang, dan berang-berang serta lain-lainnya yang semisal.
Imam Malik mengatakan bahwa dikecualikan pula dari hal tersebut anak-anak dari kelima hewan yang disebutkan dalam nas hadis serta anak-anak hewan pemangsa yang disamakan dengan hewan-hewan tersebut.
Imam Syafii mengatakan, orang yang sedang ihram diperbolehkan membunuh semua hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara yang masih kecil dan yang sudah besar. Dan Imam Syafii menilai bahwa 'illat jami'ah yang membolehkannya diperlakukan demikian karena dagingnya tidak boleh dimakan.
Imam Abu Hanifah mengatakan, orang yang sedang ihram boleh membunuh anjing gila dan serigala, mengingat serigala adalah anjing liar. Dan jika seseorang membunuh selain keduanya, maka ia harus menebusnya; kecuali jika hewan yang selain keduanya itu menyerang­nya, maka barulah ia boleh membunuhnya, dan tidak ada kewajiban menebusnya. Hal ini merupakan pendapat Al-Auza'i dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay. Sedangkan menurut Zufar ibnul Huzail, orang yang bersangkutan tetap dikenakan tebusan, sekalipun binatang yang selain itu datang menyerangnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan burung gagak (al-gurab) dalam hadis ini ialah burung gagak yang berwarna abqa', yaitu yang pada punggungnya dan bagian bawah perutnya terdapat bulu yang berwarna putih (belang). Lain halnya dengan burung gagak adra’ yakni yang bulunya berwarna hitam mulus; juga burung asam, yakni burung gagak yang berwarna putih.
Hal ini berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَلِيٍّ الفَلاس، عَنْ يَحْيَى القَطَّان، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "خَمْسٌ يَقْتُلُهُنَّ الْمُحْرِمُ: الْحَيَّةُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ".
dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yahya Al-Qattan. dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab. dari Siti Aisyah. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada lima jenis  hewan yang boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram,: yaitu ular, tikus, burung elang, burung gagak belang, dan anjing gila.
Jumhur ulama berpendapat bahwa makna yang dimaksud lebih umum dari itu, karena menurut hadis yang ada di dalam kitab Sahihain disebutkan lafaz al-gurab secara mutlak tanpa ikatan (al-abqa').
Imam Malik rahimahulldh mengatakan bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh membunuh burung gagak, kecuali jika burung gagak itu menyerang dan mengganggunya. Sedangkan menurut Mujahid ibnu Jabr dan segolongan ulama, ia tidak boleh membunuhnya melainkan hanya melemparnya. Dan telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ali r.a.
قَدْ رَوَى هُشَيْم: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعْم، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أَنَّهُ سُئِلَ عَمَّا يَقْتُلُ الْمُحْرِمُ، فَقَالَ: "الْحَيَّةَ، وَالْعَقْرَبَ، والفُوَيْسِقَة، وَيَرْمِي الْغُرَابَ وَلَا يَقْتُلُهُ، وَالْكَلْبَ الْعَقُورَ، وَالْحِدَأَةَ، وَالسَّبُعَ العادي".
Hasyim telah meriwayatkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Abdur Rahman ibnu Abu Nu'm, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. Beliau pernah ditanya mengenai hewan yang boleh dibunuh oleh orang yang sedang ihram. Maka beliau Saw. menjawab: Ular, kalajengking, tikus, dan burung gagak tidak boleh dibunuh, tetapi dilempar (diusir); (begitu pula) anjing gila, elang serta hewan pemangsa yang menyerang.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Hambal, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Mani', keduanya dari Hasyim. Sedangkan Ibnu Majah dari Abu Kuraib dan Muhammad ibnu Fudail, keduanya dari Yazid ibnu Abu Ziyad, sedangkan dia orang­nya daif. Tetapi menurut Imam Turmuzi, hadis ini berpredikat hasan.
****
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub yang menceritakan bahwa ia mendapat berita dari Tawus yang mengatakan, "Orang yang membunuh binatang buruan karena tersalah tidak dijatuhi sanksi, melainkan yang dijatuhi sanksi ialah orang yang membunuhnya dengan sengaja." Hal ini merupakan mazhab (pendapat) yang aneh, bersumber dari Tawus; dia hanya berpegang kepada lahiriah makna ayat.
Mujahid ibnu Jabr mengatakan, yang dimaksud dengan makna muta'ammid dalam ayat ini ialah orang yang sengaja membunuh binatang buruan, sedangkan dia dalam keadaan lupa terhadap ihram yang sedang di jalaninya. Adapun orang yang sengaja membunuh binatang buruan, padahal ia ingat akan ihramnya, maka perkaranya lebih berat daripada hanya dikenai sanksi membayar kifarat, dan ihramnya batal. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bersumber dari Mujahid ibnu Jabr melalui jalur Ibnu Abu Nujaih, Lais ibnu Salim, dan lain-lainnya. Pendapat ini pun aneh.
Adapun menurut jumhur ulama, orang yang sengaja dan orang yang lupa dalam melakukannya sama saja, diwajibkan membayar tebusan (denda). Az-Zuhri mengatakan bahwa Al-Qur'an menunjukkan kepada orang yang sengaja, sedangkan sunnah menunjukkan kepada orang yang lupa (tidak sengaja). Dengan kata lain, Al-Qur'an menunjukkan bahwa orang yang sengaja diwajibkan membayar denda, dan bahwa perbuatannya itu berdosa. Hal ini diungkapkan melalui firman Allah Swt.:
{لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ}
Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Sedangkan yang ditunjukkan oleh sunnah, yaitu dari keputusan-keputusan Nabi Saw. dan keputusan-keputusan sahabatnya, wajib membayar denda dalam kasus perburuan secara tersalah. Perihalnya sama dengan kewajiban membayar denda dalam kasus sengaja. Lagi pula membunuh binatang buruan termasuk perbuatan merusak,dan merusak itu dikenai sanksi ganti rugi, baik dalam kasus sengaja ataupun tidak sengaja; tetapi orang yang melakukannya dengan sengaja berdosa, sedangkan orang yang keliru dimaafkan.
****
Firman Allah Swt.:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Sebagian dari ulama membacanya dengan idafah, yakni fajazau' misli. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan meng-ataf-kannya, yaitu:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud membacanya fajazauhu mislu (dengan memakai damir).
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ}
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (Al-Maidah: 95)
Menurut masing-masing dari dua qiraah di atas terkandung dalil yang dijadikan pegangan oleh pendapat Imam Malik dan Imam Syafii serta Imam Ahmad dan jumhur ulama, semuanya mengatakan wajib membayar denda berupa binatang ternak yang seimbang dengan binatang yang dibunuh oleh orang yang sedang ihram tersebut, jika binatang itu ada persamaannya dengan binatang yang jinak. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah, karena ia hanya mewajibkan harganya saja, baik binatang buruan yang terbunuh itu termasuk binatang yang ada persamaannya dengan binatang yang jinak ataupun bukan binatang yang mempunyai persamaan. Imam Abu Hanifah mengatakan, orang yang bersangkutan disuruh memilih, ia boleh menyedekahkan harganya, boleh pula harganya dibelikan hadya (hewan kurban).
Tetapi keputusan yang telah ditetapkan oleh para sahabat yang menyatakan denda dibayar dengan binatang yang seimbang merupakan pendapat yang lebih utama untuk diikuti. Mereka memutuskan bahwa membunuh burung unta dendanya ialah seekor unta, membunuh sapi liar dendanya ialah seekor sapi, membunuh kijang dendanya ialah domba. Peradilan yang ditetapkan oleh para sahabat berikut sandaran-sandaran-nya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Adapun jika binatang buruan bukan termasuk binatang yang ada imbangannya dari binatang yang jinak, maka Ibnu Abbas telah memutuskan dendanya, yaitu membayar harganya, lalu dibawa ke Mekah. Demikianlah menurut riwayat Imam Baihaqi.
****
Firman Allah Swt.:
{يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ}
menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95)
Mengenai ketetapan bayar denda dalam kasus binatang yang berstandar atau harganya dalam kasus membunuh binatang buruan yang tidak mempunyai standar dari binatang yang jinak, diputuskan oleh dua orang yang adil dari kalangan kaum muslim.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan diri si pelaku perburuan, apakah dia boleh dijadikan sebagai salah seorang dari dua hakim yang memutuskan sanksi dendanya, ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan tidak boleh, karena keputusan sanksi terhadap dirinya sendiri perlu dicurigai. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik.
Pendapat yang kedua mengatakan boleh, karena mengingat keumuman makna ayat. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad. Pendapat yang pertama beralasan bahwa seorang hakim tidak boleh merangkap menjadi mahkum 'alaih (yang dijatuhi sanksi) dalam waktu yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Ja'far (yaitu Ibnu Barqan), dari Maimun ibnu Mahran, bahwa seorang Arab Badui datang kepada Khalifah Abu Bakar, lalu lelaki Badui itu berkata, "Aku telah membunuh binatang buruan, sedangkan aku dalam keadaan berihram. Maka bagaimanakah menurut pendapatmu, denda apakah yang harus kubayar?" Maka Khalifah Abu Bakar r.a. bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b yang sedang duduk di sisinya, "Bagaimanakah kasus ini menurutmu?" Tetapi orang Badui itu menyangkal, "Aku datang kepadamu, dan kamu adalah khalifah Rasulullah. Aku hanya bertanya kepadamu, tetapi ternyata kamu menanyakan kepada orang lain." Abu Bakar r.a. menjawab, "Apakah yang kamu protes, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95) Maka aku bermusyawarah dengan temanku untuk mengambil suatu kesepakatan mengenai kasusmu itu. Apabila kami telah sepakat atas suatu keputusan, maka barulah kami akan menjatuhkannya kepadamu untuk dilakukan."
Sanad asar ini jayyid (baik), tetapi munqati (ada yang terputus) antara Maimun dan As-Siddiq. Dalam kasus seperti ini barangkali sanksi yang dijatuhkan adalah hewan yang seimbang. Khalifah Abu Bakar As-Siddiq menjelaskan kepada orang Badui itu keputusan hukumnya dengan lemah lembut dan hati-hati, mengingat ia  memandang bahwa orang Badui itu tidak mengerti. Dan sesungguhnya penawar atau obat bagi ketidak­mengertian hanyalah diberi pelajaran.
Jika orang yang menyangkal dikenal sebagai orang yang berilmu, kasusnya seperti yang disebutkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hannad dan Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnul Jarrah, dari Al-Mas'udi, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Qubaisah ibnu Jabir yang menceritakan, "Kami berangkat melakukan ibadah haji. Apabila memasuki waktu tengah hari, kami tuntun kendaraan kami dan kami berjalan seraya berbincang-bincang.
Pada suatu siang hari ketika kami dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada seekor kijang menyeberang di hadapan kami dari sisi kanan ke sisi kiri atau dari sisi kiri ke sisi kanan kami. Maka seorang lelaki di antara kami melemparnya dengan batu, dan ternyata lemparannya itu tepat mengenai bagian perutnya, lalu lelaki itu menaiki hewan kendaraan­nya dan meninggalkan kijang itu dalam keadaan mati. Dan kami meng­anggapnya telah melakukan suatu kesalahan yang besar.
Ketika kami tiba di Mekah, aku keluar bersamanya hingga sampai kepada Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. Lalu lelaki itu menceritakan kepadanya kisah tersebut. Saat itu di sebelah Khalifah Umar terdapat seorang lelaki yang wajahnya putih bersih bagaikan perak, dia adalah Abdur Rahman ibnu Auf. Lalu Umar menoleh kepadanya dan berbicara dengannya, setelah itu Umar memandang kepada lelaki itu dan bertanya, "Apakah kamu sengaja membunuhnya, ataukah tersalah?' Lelaki itu menjawab, 'Sesungguhnya aku sengaja melemparnya dengan batu, tetapi aku tidak sengaja membunuhnya' (maksudnya hanya menghardiknya).
Khalifah Umar berkata, 'Menurut pendapatku, perbuatan yang kamu lakukan itu merupakan gabungan dari unsur sengaja dan unsur keliru; maka carilah seekor kambing, kemudian sembelihlah dan sedekahkanlah dagingnya, tetapi biarkanlah kulitnya.'
Maka kami bangkit pergi dari Khalifah Umar dan aku (Qubaisah) berkata kepada temanku (si lelaki yang membunuh kijang tersebut), 'Hai kamu, sebaiknya kamu agungkan syiar-syiar Allah, Amirul Mu’minin tidak mengetahui apa yang harus ia fatwakan kepadamu sehingga ia bertanya kepada temannya (yakni Abdur Rahman ibnu Auf). Sekarang pergilah ke untamu, lalu sembelihlah untamu, maka mudah-mudahan hal itu mencukupimu'."
Qubaisah mengatakan bahwa saat itu dirinya dalam keadaan tidak ingat akan ayat dari surat Al-Maidah yang mengatakan: Menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95)
Qubaisah melanjutkan, "Dan ternyata ucapanku itu sampai kepada Khalifah Umar. Maka tiada sesuatu yang mengejutkan kami melainkan dia datang dengan membawa cambuk, lalu ia memukul temanku itu dengan cambuknya seraya berkata, 'Apakah kamu berani membunuh hewan buruan di tanah suci dan meremehkan keputusan hukum yang telah ditetapkan?'
Kemudian Khalifah Umar datang kepadaku, maka aku berkata, 'Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak akan menghalalkan bagimu hari ini sesuatu pun yang diharamkan bagimu atas diriku.' Maka Khalifah Umar r.a. berkata, 'Hai Qubaisah ibnu Jabir, sesungguhnya aku melihat­mu berusia muda, lapang dada, dan memiliki lisan yang jelas. Dan sesungguhnya dalam diri seorang pemuda itu terdapat sembilan macam akhlak yang baik dan satu akhlak yang buruk, tetapi akhlak yang buruk itu dapat merusak semua akhlak yang baik. Karena itu, jauhilah olehmu hal-hal yang dapat menggelincirkan seorang pemuda'."
Hasyim meriwayatkan kisah ini dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Qubaisah dengan lafaz yang semisal. Ia meriwayatkannya pula dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Qubaisah dengan lafaz yang semisal. Dan ia mengetengahkannya secara mursal melalui Umar ibnu Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Muhammad ibnu Sirin dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Mansur, dari Abu Wail, telah menceritakan kepadaku Ibnu Jarir Al-Bajali, bahwa ia pernah membunuh seekor kijang, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Lalu ia menceritakan hal itu kepada Khalifah Umar. Maka Khalifah Umar berkata, "Datangkanlah dua orang lelaki dari kalangan saudara-saudaramu, lalu hendaklah keduanya memutuskan perkaramu itu."
Maka aku (Ibnu Jarir Al-Bajali) datang kepada Abdur Rahman dan Sa'd, lalu keduanya memberikan keputusan terhadap diriku agar membayar denda berupa seekor domba jantan berbulu kelabu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Mukhariq, dari Tariq yang menceritakan bahwa Arbad menginjak seekor kijang hingga mem­bunuhnya, sedangkan ia dalam keadaan ihram. Lalu Arbad datang kepada Khalifah Umar untuk meminta keputusan perkaranya. Maka Khalifah Umar berkata kepadanya, "Ikutlah kamu dalam keputusan ini bersamaku (memusyawarahkannya)." Maka keduanya memutuskan denda berupa seekor kambing yang telah dapat minum dan memakan daun pepohonan. Kemudian Khalifah Umar membacakan firman-Nya: menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al-Maidah: 95)
Di dalam asar ini terkandung dalil yang menunjukkan boleh menjadikan orang yang terlibat sebagai salah satu dari dua orang hakim yang menangani kasusnya. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Imam Syafii dan Imam Ahmad.
Mereka berselisih pendapat, apakah diperlukan adanya keputusan baru atas setiap perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang berihram (yang membunuh binatang buruan)? Karena itu, diwajibkan mengadakan keputusan hukum baru yang dilakukan oleh dua orang yang adil, sekalipun kasus yang semisal telah dilakukan keputusannya oleh para sahabat; ataukah keputusannya cukup mengikut kepada keputusan sahabat yang terdahulu?
Ada dua pendapat mengenainya. Imam Syafii dan Imam Ahmad mengatakan bahwa dalam menangani kasus yang serupa, keputusan hukumnya mengikut kepada apa yang telah diputuskan oleh para sahabat. Keduanya menganggap bahwa keputusan sahabat itu merupakan syariat yang telah ditetapkan dan tidak boleh berpaling darinya. Sedangkan kasus-kasus yang keputusannya belum pernah dilakukan oleh para sahabat, maka keputusannya merujuk kepada pendapat dua orang hakim yang adil.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengatakan, diwajibkan melakukan keputusan hukum baru terhadap setiap kasus pelanggaran, baik jenis pelanggaran itu hukumnya pernah diputuskan oleh sahabat ataukah belum, karena Allah Swt. telah berfirman: menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian. (Al- Maidah: 95)
****
Firman Allah Swt.:
{هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ}
Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah. (Al-Maidah: 95)
Yakni dibawa sampai ke Tanah Suci, lalu disembelih di sana, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin Tanah Suci. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
Firman Allah Swt.:
{أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا}
atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95)
Yakni apabila orang yang berihram tersebut tidak menemukan hewan yang seimbang dengan binatang buruan yang telah dibunuhnya, atau karena memang binatang buruan yang dibunuhnya bukan termasuk binatang yang mempunyai standar perimbangan.
Huruf au dalam ayat ini menurut hemat kami bermakna takhyir, yakni boleh memilih salah satu di antara membayar denda yang seimbang dengan binatang yang dibunuhnya, atau memberi makan, atau puasa, seperti pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan, dan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii serta pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad. Dengan alasan bahwa makna lahiriah huruf au dalam ayat ini menunjukkan makna takhyir.
Pendapat lain mengatakan bahwa huruf au dalam ayat ini menunjukkan makna tartib (berurutan). Sebagai gambarannya ialah hendaklah orang yang bersangkutan beralih kepada nilai. Untuk itu, binatang buruan yang dibunuhnya ditaksir harganya. Demikianlah menurut pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta semua muridnya, begitu pula menurut Hammad serta Ibrahim.
Imam Syafii mengatakan, harga ternak yang semisal ditaksir seandainya ada, kemudian harganya dibelikan makanan, lalu makanan itu disedekahkan. Setiap orang miskin mendapat satu mud menurut Imam Syafii, Imam Malik, dan ulama fiqih Hijaz. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan, orang yang bersangkutan memberi makan setiap orang miskin sebanyak dua mud, pendapat inilah yang dikatakan oleh Mujahid. Sedangkan menurut Imam Ahmad adalah satu mud gandum atau dua mud makanan lainnya.
Jika orang yang bersangkutan tidak menemukan makanan —atau kita katakan menurut pendapat yang mengartikan takhyir— maka orang yang bersangkutan melakukan puasa sebagai ganti memberi makanan setiap orang miskin, yaitu setiap orang diganti menjadi puasa sehari. Ibnu Jarir mengatakan, ulama yang lain mengatakan bahwa orang yang bersangkutan melakukan puasa sehari untuk mengganti se­tiap sa makanan; perihalnya sama dengan kifarat dalam kasus pelanggar­an melakukan pencukuran dan lain-lainnya. Karena sesungguhnya Nabi Saw. telah memerintahkan Ka'b ibnul Ujrah untuk membagi-bagikan satu faraq makanan di antara enam orang miskin atau puasa tiga hari; satu faraq isinya tiga sa’.
Para ulama berselisih pendapat mengenai tempat pembagian makanan ini. Menurut Imam Syafii, makanan harus dibagikan di Tanah Suci, seperti apa yang dikatakan oleh Ata. Imam Malik mengatakan, makanan dibagikan di tempat orang yang bersangkutan membunuh binatang buruannya, atau di tempat-tempat yang berdekatan dengan tempat perburuannya itu.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jika orang yang bersangkut­an ingin membagi-bagikan makanannya di Tanah Suci, ia boleh melaku­kannya; dan jika ingin membagi-bagikannya di tempat lain, ia boleh pula melakukannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah mencerita­kan kepada kami Jarir, dari Mansur, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan binatang buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadyayang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.{Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia dikenakan sanksi membayar denda berupa hewan ternak (yang sebanding). Jika ia tidak dapat menemukan hewan ternak yang sebanding, maka dipertimbangkan nilai binatang buruan itu, kemudian dihargakan, dan harganya dibelikan makanan; dan (kalau) puasa, untuk setiap setengah sa' diganti dengan puasa satu hari.
Allah Swt. telah berfirman: atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sanksi memberi makan dan puasa ialah apabila orang yang bersangkutan menemukan makanan, berarti ia telah menemukan pembayaran dendanya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Jarir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubung­an dengan makna firman-Nya: Sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Apabila seseorang yang sedang ihram membunuh seekor binatang buru­an, maka ia dikenakan denda akibat perbuatannya itu. Jika ia membunuh seekor kijang atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor kambing yang kemudian disembelih di Mekah; jika tidak menemukan­nya, dendanya ialah memberi makan enam orang miskin. Dan jika tidak menemukannya, dendanya ialah melakukan puasa sebanyak tiga hari.
Jika ia membunuh kijang jantan atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor sapi betina; jika tidak menemukannya, dendanya memberi makan sepuluh orang miskin; jika tidak menemukannya, maka dendanya ialah berpuasa selama dua puluh hari. Jika ia membunuh seekor burung unta atau keledai atau zebra atau yang sejenis dengannya, dendanya ialah seekor unta; jika tidak menemukannya, dendanya ialah memberi makan tiga puluh orang miskin; dan jika tidak menemukannya, dendanya ialah melakukan puasa selama satu bulan (tiga puluh hari). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir yang menambahkan bahwa makanan diberikan kepada tiap orang sebanyak satu mud yang dapat mengenyangkan mereka.
Jabir Al-Ju'fi telah meriwayatkan dari Amri Asy-Sya'bi dan Ata serta Mujahid sehubungan dengan firman Allah Swt.: atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya makanan itu diberikan sebanyak satu mud untuk setiap orang miskin, hanya berlaku bagi orang yang dendanya masih belum mencapai hadyu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan Asbat, dari As-Saddi, bahwa makna atau dalam ayat ini menunjukkan pengertian tertib (berurutan).
Ata, Ikrimah, dan Mujahid dalam riwayat Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha' i mengatakan, makna atau dalam ayat ini menunj ukkan pengertian takhyir. Pendapat ini merupakan riwayat Al-Lais, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dan hal inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
****
Firman Allah Swt.:
{لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ}
Supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. (Al-Maidah: 95)
Yakni kita tetapkan atas si pelanggar untuk membayar kifarat supaya dia merasakan hukuman dari perbuatannya yang melanggar peraturan itu.
{عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ}
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. (Al-Maidah: 95)
Yakni pada masa Jahiliah bagi orang yang berbuat baik dalam Islam dan mengikuti syariat Allah dan tidak melakukan perbuatan maksiat.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ
Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Yakni barang siapa yang melakukannya sesudah diharamkan dalam Is­lam dan hukum syariat telah sampai kepadanya.
فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada Ata mengenai apa yang dimaksudkan dalam firman-Nya: Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. (Al-Maidah: 95) Maka Ata menjawab, "Yang dimaksud ialah Allah memaafkan apa yang telah terjadi di masa Jahiliah." Kemudian Ibnu Juraij bertanya lagi kepadanya mengenai makna firman-Nya: Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95) Ata mengatakan, "Barang siapa dalam masa Islam kembali melakukan­nya, maka Allah akan menyiksanya; selain itu ia dikenakan membayar kifarat dari perbuatannya." Ibnu Juraij bertanya, "Apakah pengertian kembali ini mempunyai batasan yang kamu ketahui?" Ata menjawab, "Tidak." Ibnu Juraij berta­nya, "Kalau demikian, engkau pasti berpandangan bahwa imam diwajib­kan menghukum pelakunya?" Ata menjawab, "Tidak, hal itu merupakan suatu dosa yang dilakukannya antara dia dan Allah Swt., tetapi ia harus membayar dendanya." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah bahwa Allah akan membalas pelakunya, yaitu dengan mengenakan hukuman wajib membayar denda kifarat terhadapnya. Demikianlah menurut Sa'id ibnu Jubair dan Ata.
Kemudian kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf mengatakan, "Manakala seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia diwajibkan membayar denda, tidak ada perbedaan antara pelang­garan pertama dengan yang kedua dan ketiganya; dan sekalipun pelang­garannya itu dilakukan berulang-ulang, baik ia lakukan secara keliru ataupun sengaja, semuanya sama."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Barang siapa membunuh seekor binatang buruan secara keliru, sedangkan ia dalam keadaan berihram, maka ia dikenakan sanksi membayar dendanya setiap kali ia membunuhnya. Jika ia membunuh binatang buruan dengan sengaja, maka ia dikenakan sanksi membayar dendanya sekali; dan jika ia mengulangi lagi perbuatannya, maka Allah akan balas menyiksanya, seperti apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Ibnu Abu Addi, kedua-duanya dari Hisyam (yakni Ibnu Hassan), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang muhrim yang membunuh binatang buruan, bahwa pelakunya dikenakan sanksi membayar denda. Kemudian jika ia mengulangi lagi perbuatannya, ia tidak dikenakan sanksi membayar denda, tetapi Allah-lah yang akan balas menyiksanya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Syuraih, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan Al-Basri, dan Ibrahim An-Nakha'i. Semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang pertama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Yazid Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Zaid Abul Ma'la, dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa seorang lelaki membunuh binatang buruan, lalu ia dimaafkan; kemudian lelaki itu mengulangi lagi perbuatannya, ia membunuh binatang buruan lagi, maka turunlah api dari langit dan membakar lelaki itu. Hal inilah yang dimaksudkan dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. (Al-Maidah: 95)
Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah Mahakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (Al-Maidah: 95) Allah Swt. berfirman bahwa Diri-Nya Mahaperkasa dalam kekuasaan­Nya, tiada seorang pun yang dapat memaksa-Nya, tiada yang dapat menghalangi pembalasan yang Dia timpakan terhadap orang yang hendak dibalas-Nya, dan tiada seorang pun yang dapat menghalangi siksaan yang hendak Dia kenakan terhadap orang yang dikehendaki-Nya, karena semuanya adalah makhluk-Nya, dan hanya Dialah yang berhak memerin­tah; bagi-Nya segala keagungan dan keperkasaan.
Firman Allah Swt.:
{ذُو انْتِقَامٍ}
lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (Al-Maidah: 95)
Yakni Dia berhak menyiksa orang yang durhaka terhadap-Mya, karena perbuatan maksiatnya terhadap Allah Swt.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100