Tafsir Surat Al-Isra, ayat 16
{وَإِذَا
أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا
فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا (16) }
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,
maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya menaati Allah), tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri
itu sehancur-hancurnya.
Ulama ahli qiraat berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan lafaz amarna.
Menurut qiraat yang terkenal dibaca takhfif (bukan ammarna). Dan
kalangan ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut salah satu
pendapat, makna yang dimaksud ialah Kami perintahkan kepada orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu dengan perintah takdir. Seperti yang disebutkan dalam
firman-Nya:
{أَتَاهَا
أَمْرُنَا لَيْلا أَوْ نَهَارًا}
tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang.
(Yunus: 24)
Dan firman Allah Swt.:
إِنَّ
اللَّهَ لَا
يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ
Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang
keji. (Al-A'raf: 28)
Mereka yang berpendapat demikian mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah
Allah menundukkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan fahisyah,
karenanya mereka berhak menerima azab-Nya.
Menurut pendapat lain, Kami perintahkan mereka untuk mengerjakan ketaatan,
tetapi sebaliknya mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji, karenanya
mereka berhak mendapat hukuman. Demikianlah menurut riwayat ibnu Juraij, dari
Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Jarir mengatakan, barangkali makna yang dimaksud ialah bahwa Allah
menjadikan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu sebagai pemimpin mereka.
Menurut kami, pendapat ini tiada lain berdasarkan qiraat yang membaca ayat ini
dengan bacaan ammarna mittrafiha (maka Kami jadikan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu sebagai pemimpin-pemimpinnya).
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah
di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu. (Al-Isra: 16) Bahwa Kami jadikan orang-orang
jahat mereka berkuasa, lalu mereka melakukan kedurhakaan dan kerusakan di
dalamnya. Bilamana mereka melakukan hal tersebut, Allah membinasakan mereka
dengan azab-Nya. Tafsir ini semakna dengan firman-Nya:
{وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا
فِيهَا}
Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri pembesar-pembesar yang
jahat. (Al-An'am: 123), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abul Aliyah, Mujahid, dan Ar-Rabi' ibnu
Anas.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu.
(Al-Isra: 16) Yakni Kami perbanyak bilangan mereka.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan
Qatadah.
Diriwayatkan dari Malik, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya:
Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu.
(Al-Isra: 16) Maksudnya, Kami perbanyak bilangan mereka.
Sebagian dari mereka berdalilkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang
mengatakan,
حَدَّثَنَا
رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو نَعَامَةَ الْعَدَوِيُّ، عَنْ مُسْلِمِ
بْنِ بُدَيْل، عَنْ إِيَاسِ بْنِ زُهَيْرٍ، عَنْ سُوَيْد بْنِ هُبَيْرة، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ مَالِ امْرِئٍ لَهُ
مُهْرَةٌ مَأْمُورَةٌ أَوْ سِكَّةٌ مَأْبُورَةٌ".
telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, telah menceritakan kepada
kami Abu Na'im Al-Adawi, dari Muslim ibnu Badil, dari Iyas ibnu Zuhair, dari
Suwaid ibnu Hubairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sebaik-baik harta
seseorang buat dirinya sendiri ialah kuda, dan ternak yang berkembang biak atau
kebun karma cangkokan.
Imam Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitabnya Al-Garib
mengatakan bahwa al-ma'murah artinya yang banyak anaknya, sedangkan
as-sikkah artinya deretan pohon-pohon kurma yang ditanam rapi secara
berbaris. Al-ma’burah berasal dari ta’bir, artinya cangkokan.
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sesungguhnya hal ini dikemukakan secara
tanasub (bersesuaian), sama seperti pengertian yang terdapat di dalam
sabda Nabi Saw. yang mengatakan,
"مَأْزُورَاتٍ
غَيْرَ مَأْجُورَاتٍ"
"Yang dibiarkan rimbun dan tidak dipangkas."