Tafsir Surat An-Nur, ayat 1-2
{سُورَةٌ
أَنزلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ (1) الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (2) }
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan
Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami
turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kalian selalu mengingatinya.
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian
beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman.
Firman Allah Swt. yang mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami
turunkan' mengandung pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah Swt.
kepada surat ini, tetapi bukan berarti surat-surat lainnya tidak
diperhatikan-Nya.
{وَفَرَّضْنَاهَا}
dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya
(An-Nur: 1)
Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan
halal, haram, perintah, larangan, dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya.
Imam Bukhari mengatakan bahwa orang yang membacanya dengan bacaan
Faradnaha, maka artinya, 'Kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya kepada kalian, juga kepada orang-orang yang sesudah kalian'.
{وَأَنزلْنَا
فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ}
dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1)
Yaitu ayat-ayat yang jelas dan gamblang maknanya.
{لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ}
agar kalian selalu mengingatnya. (An-Nur: 1)
*******************
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ}
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)
Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi
orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang
terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada
kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan
adakalanya seorang yang muhsan (yakni orang yang pernah melakukan
persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).
Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman
had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia
ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari
negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu
Hanifah rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini
sepenuhnya diserahkan kepada imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si
pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat
bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.
Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah
ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari
Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid
ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada
Rasulullah Saw.
Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku
ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat
zina dengan istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus
ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada
orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman
seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini
dikenai hukuman rajam."
Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ
وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ.
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ -إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ
اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan
melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak
perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu
dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang
pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis
itu- kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka
hukum rajamlah dia.
Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya
wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari
batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati).
Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman
pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah
menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali. Jika dia adalah seorang muhsan
(yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih,
sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan
batu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah
menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah
ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya
bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan
puji dan sanjungan kepada Allah Swt., kemudian mengatakan:
أَمَّا
بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ،
وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ
الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ
أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ،
فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ
اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ،
إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.
Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw.
dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan
kepadanya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah
Saw. telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula
sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia,
lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di
dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu
yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah
ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki
maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi
kandungan atau pengakuan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab
sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang
kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya
terkandung dalil yang kita maksudkan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah
ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman
ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang
banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah,
sesungguhnya ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam
Kitabullah, dan sesungguhnya yang ada hanyalah hukum dera. Padahal Rasulullah
Saw. pernah merajam, dan kami pun merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak
dikhawatirkan ada seseorang berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan
tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku
akan menetapkannya sebagaimana ia diturunkan.
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan
sanad yang sama.
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari
Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul
Khattab r.a. berkhotbah yang di dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam. Ia
mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari
hukum rajam, karena sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum
had Allah Swt. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberlakukan
hukum rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak
dikhawatirkan akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah
membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal
darinya, tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar
ibnul Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa
Rasulullah Saw. telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula
sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan
hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang
dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus."
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya
Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan
diri kalian binasa karena meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.
Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan
bahwa hadis ini sahih.
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Zurai', telah menceritakan kepada kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa
Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang
bercerita bahwa ketika ia berada di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka
yang ada di dalam majelis itu terdapat Zaid ibnu Sabit. Maka Zaid ibnu Sabit
berkata, "Kami dahulu (di masa Rasulullah Saw.) pernah membaca ayat berikut,
yaitu:
"وَالشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ"
'Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa
(kawin) berbuat zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'.”
Marwan berkata, "Mengapa engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid
menjawab, "Kami pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul
Khattab, lalu ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami
bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap
kepada Rasulullah Saw., lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya.
Lelaki itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.'
Rasulullah Saw. menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan
kalimat lainnya yang semisal."
Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar,
dari Syu'bah dan Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari
Zaid ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini
sebagiannya dengan sebagian yang lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan
bahwa ayat rajam dahulunya memang tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya
di-mansukh, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Hanya Allah-lah Yang
Maha Mengetahui.
Rasulullah Saw. pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap
seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh
itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum
rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah.
Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera
mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang
saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis
tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh
pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.
Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman
terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan
hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul
Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang
wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah
muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari
Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan
merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.
Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam
Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu
Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خُذُوا
عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر،
جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ
وَالرَّجْمُ"
Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah
menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum
pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera
seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang
berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan
dirajam.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ}
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk
(menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2)
Yakni untuk menjalankan hukum Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian
berbelas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang
dilarang bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpakan hukuman had.
melainkan belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman
had. Belas kasihan yang terakhir ini tidak diperbolehkan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.
(An-Nur: 2) Yaitu untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya
telah dilaporkan kepada sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak
boleh diabaikan. Hal yang sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber
dari Sa'id ibnu Jubair dan Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah
disebutkan:
"تعافَوُا
الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ
وَجَب"
Hindarilah hukuman had yang terjadi di antara sesama kalian; karena kasus
had apa pun yang telah dilaporkan kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu
keharusan.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
"لَحَدٌّ
يُقَامُ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمطَروا أَرْبَعِينَ
صَبَاحًا"
Sesungguhnya suatu hukuman had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi
penghuninya daripada mendapat hujan selama empat puluh hari.
Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah Swt.: dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.
(An-Nur: 2) Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had
sebagaimana mestinya seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah
terulangnya perbuatan dosa. Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan
yang membuat si terhukum luka berat.
Amir Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan)
agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang
keras.
Ata mengatakan bahwa deraan yang dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan
(memayahkan).
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa
orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam
keadaan memakai baju yang dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman
deranya dalam keadaan terbuka pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu
Abu Sulaiman membaca firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id
ibnu Abu Arubah berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab,
"Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni dalam
menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah
Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari
Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada
seorang budak perempuan Ibnu Umar berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua
kakinya. Nafi' berkata bahwa menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya.
Ubaidillah ibnu Abdullah mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah
membacakan firman-Nya yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2)
Ibnu Umar menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas
kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk
membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah
membuatnya kesakitan saat aku memukulinya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2)
Yakni lakukanlah hal tersebut dan tegakkanlah hukuman-hukuman had
terhadap orang-orang yang berzina; dan pukullah mereka dengan pukulan yang
keras, tetapi tidak dengan pukulan yang membuat mereka lumpuh. Dimaksudkan agar
dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan
perbuatan yang semisal.
Di dalam kitab musnad telah disebutkan sebuah hadis dari salah seorang
sahabat yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar
menyembelih kambing, sedangkan hatiku merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah
Saw. bersabda:
"وَلَكَ
فِي ذَلِكَ أَجْرٌ"
Engkau mendapat suatu pahala atas belas kasihanmu itu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ}
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)
Hal ini merupakan pembalasan bagi sepasang pezina bila keduanya didera di
hadapan orang banyak dan akan lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar
keduanya benar-benar jera. Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan
pencemoohan terhadap si terhukum, juga mempermalukannya, bila banyak orang
menyaksikan pelaksanaan hukumannya.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yaitu hendaknya eksekusi itu
dilaksanakan secara terang-terangan.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman Allah Swt.: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang
dimaksud dengan sekumpulan ialah satu orang laki-laki hingga seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga
seribu orang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad
mengatakan bahwa sesungguhnya satu orang laki-laki sudah termasuk ke dalam
pengertian taifah.
Ata ibnu Abu Rabah mengatakan dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh
Ishaq ibnu Rohawais.
Demikian pula Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)
Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang laki-laki lebih.
Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
(An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya empat orang lebih, karena
sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina belumlah cukup melainkan
hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii.
Sedangkan menurut Rabi'ah, lima orang.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang.
Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi
keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah
kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan
pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami
Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu Alqamah yang mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa
hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar mereka
mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan
mendapatkan rahmat dari-Nya.