Tafsir Surat An-Nur, ayat 12-13
{لَوْلا
إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ (12) لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ
الْكَاذِبُونَ (13) }
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong
itu orang-orang mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka
sendiri, dan (mengapa tidak) berkata,
"Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Mengapa mereka (yang menuduh
itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena
mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah
orang-orang yang dusta.
Hal ini merupakan pelajaran dari Allah kepada orang-orang mukmin dalam kisah
Aisyah r.a. saat sebagian dari mereka memperbincangkan hal yang buruk dan
pergunjingan mereka tentang berita bohong tersebut. Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ
الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا}
Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu (yakni tuduhan
yang dilontarkan terhadap diri Siti Aisyah r.a.) orang-orang mukmin dan
mu’minat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri. (An-Nur:
12)
Yaitu mengapa pada diri mereka sendiri seandainya tuduhan seperti itu
dilontarkan terhadap diri mereka. Jika tuduhan tersebut tidak layak dilontarkan
terhadap diri mereka, maka terlebih lagi tidak layaknya jika dilontarkan kepada
Ummul Mu’minin; ia lebih bersih dari pada diri mereka.
Menurut pendapat lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Ayub Khalid
ibnu Zaid Al-Ansari dan istrinya.
Seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar,
dari ayahnya, dari sebagian orang yang terkemuka dari kalangan Bani Najjar,
bahwa Abu Ayub Khalid ibnu Zaid Al-Ansari ditanya oleh istrinya (yaitu Ummu
Ayub), "Hai Abu Ayub, tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh
orang-orang tentang Aisyah r.a." Abu Ayub menjawab, "Ya, berita tersebut adalah
dusta. Apakah engkau berani melakukan hal tersebut (seperti yang dituduhkan oleh
mereka), hai Ummu Ayub?" Ummu Ayub menjawab, "Tidak, demi Allah, aku benar-benar
tidak akan melakukan hal tersebut." Maka Abu Ayub menjawab, "Aisyah, demi Allah,
lebih baik daripada kamu."
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan ayat Al-Qur'an yang
menyebutkan tentang apa yang telah dituduhkan oleh para penyiar berita bohong
terhadap diri Aisyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kalian juga. (An-Nur: 11) Maksudnya,
Hassan dan teman-temannya yang mengatakan berita bohong itu. Kemudian Allah Swt.
berfirman: Mengapa di waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang
mukmin dan mu’minat tidak berprasangka baik. (An-Nur: 12), hingga akhir
ayat. Yakni seperti apa yang dikatakan oleh Abu Ayub dan istrinya.
Muhammad ibnu Umar Al-Waqidi mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu
Habib, dari Daud ibnul Husain, dari Abu Sufyan, dari Aflah maula Abu Ayyub,
bahwa Ummu Ayyub berkata kepada Abu Ayyub, "Tidakkah engkau mendengar apa yang
dikatakan oleh orang-orang tentang Aisyah?" Abu Ayyub menjawab, "Ya, benar, dan
itu adalah berita bohong. Apakah kamu berani melakukan hal itu, hai Ummu Ayyub?"
Ummu Ayyub menjawab, "Tidak, demi Allah." Abu Ayyub berkata, "Aisyah, demi
Allah, lebih baik daripada kamu." Setelah diturunkan wahyu yang menceritakan
tentang para penyiar berita bohong itu, Allah Swt. berfirman: Mengapa di
waktu kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak
berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (An-Nur: 12) Yaitu
seperti yang dikatakan oleh Abu Ayyub saat berkata kepada istrinya, Ummu
Ayyub.
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya orang yang berprasangka baik itu
hanyalah, Ubay ibnu Ka'b.
*******************
Firman Allah Swt.:
{ظَنَّ
الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ}
orang-orang mukmin (tiada) berprasangka. (An-Nur: 12), hingga
akhir ayat.
Artinya, mengapa mereka tidak berprasangka baik, karena sesungguhnya Ummul
Mu’minin adalah orang yang ahli kebaikan dan lebih utama sebagai ahli kebaikan.
Hal ini berkaitan dengan hati, yakni batin orang yang bersangkutan.
Firman Allah Swt.:
{وَقَالُوا هَذَا
إِفْكٌ مُبِينٌ}
Dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang
nyata.” (An-Nur: 12)
Kemudian lisan mereka mengatakan bahwa berita tersebut adalah dusta dan
bohong belaka yang mereka lontarkan terhadap pribadi Siti Aisyah Ummul Mu’minin.
Karena sesungguhnya kejadian yang sebenarnya sama sekali tidak mengandung hal
yang mencurigakan, sebab Siti Aisyah Ummul Mu’minin datang dengan mengendarai
unta Safwan ibnul Mu'attal di waktu tengah hari, sedangkan semua pasukan
menyaksikan kedatangan tersebut dan Rasulullah Saw. ada di antara mereka.
Seandainya hal tersebut mengandung kecurigaan, tentulah kedatangan tersebut
tidak dilakukan secara terang-terangan, tentu pula kedatangan keduanya tidak mau
disaksikan oleh semua orang yang ada dalam pasukan itu. Bahkan dengan segala
upaya seandainya mengandung hal yang mencurigakan, tentu kedatangan mereka
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh orang lain.
Berdasarkan kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang mereka lontarkan
terhadap diri Siti Aisyah berupa tuduhan tidak baik hanyalah bohong belaka dan
buat-buatan, serta tuduhan keji dan merupakan transaksi yang merugikan
pelakunya.
Allah Swt. berfirman:
{لَوْلا جَاءُوا
عَلَيْهِ}
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan. (An-Nur:.
13)
Yakni untuk membuktikan apa yang mereka katakan dalam tuduhannya itu.
{بِأَرْبَعَةِ
شُهَدَاءَ}
empat orang saksi. (An-Nur: 13)
untuk mempersaksikan kebenaran dari apa yang mereka tuduhkan.
{فَإِذْ
لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ
الْكَاذِبُونَ}
Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada
sisi Allah orang-orang yang dusta. (An-Nur: 13)
Menurut hukum Allah, mereka adalah orang-orang yang dusta lagi
durhaka.