Tafsir Surat Al-Mumtahanah, ayat 10-11
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا
هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ
حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (10) وَإِنْ
فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا
الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (11) }
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar.
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada
orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada
orang-orang yang lari istrinya itu sebanyak yang telah mereka bayar. Dan
bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.
Dalam surat Al-Fath yang lalu telah disebutkan mengenai gencatan senjata
Hudaibiyah yang telah ditandatangani oleh Rasulullah Saw. dan orang-orang kafir
Quraisy. Di dalam perjanjian tersebut tertuangkan naskah berikut, yang antara
lain tidak boleh datang kepada engkau seseorang dari kalangan kami walaupun dia
seagama dengan engkau, melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.
Menurut riwayat lain, sesungguhnya tidak boleh ada seseorang dari kami datang
kepadamu, sekalipun dia berada dalam agamamu, melainkan kamu harus
mengembalikannya kepada kami. Demikianlah menurut pendapat Urwah, Ad-Dahhak,
Abdur Rahman ibnu Zaid, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi.
Berdasarkan riwayat ini berarti ayat ini men-takhsis sunnah, dan ini
merupakan contoh yang terbaik tentang hal tersebut.
Tetapi sebagian ulama Salaf menyebutnya me-mansukh sunnah. Karena
sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman,
bahwa apabila datang kepada mereka wanita-wanita yang berhijrah, hendaklah
terlebih dahulu mereka menguji keimanan wanita-wanita yang baru tiba itu. Jika
ternyata wanita-wanita itu mereka ketahui beriman, maka janganlah mereka
mengembalikan wanita-wanita yang baru hijrah itu kepada suami-suami mereka yang
masih kafir; wanita-wanita itu tidak halal bagi suami mereka, dan suami mereka
tidak halal bagi wanita-wanita itu.
Kami telah menyebutkan dalam biografi Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy, bagian
dari Musnad Kabir-nya, melalui jalur Abu Bakar ibnu Abu Asim, dari
Muhammad ibnu Yahya Az-Zahali, dari Ya'qub ibnu Muhammad, dari Abdul Aziz ibnu
Imran, dari Majma' ibnu Ya'qub, dari Hanin ibnu Abu Abanah, dari Abdullah ibnu
Abu Ahmad yang menceritakan bahwa Ummu Kalsum binti Uqbah ibnu Abu Mu'it hijrah
ke Madinah, maka kedua saudara lelakinya (yaitu Imarah dan Al-Walid) menyusulnya
hingga keduanya sampai kepada Rasulullah Saw. Maka keduanya berbicara kepada
Rasulullah Saw. mengenai Ummu Kalsum dan meminta agar Nabi Saw. mengembalikannya
kepada keduanya. Maka Allah Swt. merusak perjanjian yang telah ada di antara
Nabi Saw. dan kaum musyrik dalam pasal yang berkenaan dengan kaum wanita secara
khusus. Maka Allah melarang kaum mukmin mengembalikan wanita-wanita yang beriman
kepada orang-orang musyrik, dan untuk itu Allah Swt. menurunkan ayat ujian
ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Qais ibnurRabi', dari Al-Agar
ibnusSabbah, dari Khalifah ibnu Husain, dari AbuNasr Al-Asadi yang mengatakan
bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang cara Rasulullah Saw. menguji
wanita-wanita yang berhijrah itu. Maka Ibnu Abbas menjawab, bahwa Nabi Saw.
menguji mereka dengan pertanyaan 'tiadalah seseorang dari mereka keluar karena
benci kepada suami,' lalu disumpah untuk itu. Disumpah pula bahwa hendaknya
keluarnya dia bukan karena mau pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Juga
disumpah dengan nama Allah bahwa ia keluar bukan untuk mencari dunia. Dan
disumpah pula bahwa hendaknya ia keluar bukan karena dorongan apa pun, melainkan
hanya karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian Abdullah ibnu Ahmad ibnu Jahsy meriwayatkannya pula melalui jalur
lain, dari Al-Agar ibnus Sabbah dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah
diriwayatkan oleh Al-Bazzar melalui jalurnya, dan disebutkan di dalamnya bahwa
yang menyumpah mereka atas perintah Rasulullah Saw. adalah Umar ibnul
Khattab.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman
Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Disebutkan bahwa ujian mereka ialah disuruh
mengucapkan kalimat tasyahud, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10) Yakni tanyailah mereka tentang
dorongan yang menyebabkan mereka datang ke negeri hijrah. Apabila dorongan
kedatangan mereka karena benci kepada suami mereka atau marah kepada suami
mereka atau alasan lainnya, sedangkan mereka tidak beriman, maka kembalikanlah
mereka kepada suami-suaminya masing-masing.
Ikrimah mengatakan bahwa dikatakan kepada seseorang dari mereka, "Bukankah
engkau datang hanyalah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukankah engkau
datang karena menyukai seseorang lelaki di antara kami, bukankah engkau datang
karena benci terhadap suamimu?" Itulah yang di maksud oleh firman-Nya: maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Qatadah mengatakan bahwa ujian mereka ialah disuruh bersumpah dengan nama
Allah, bahwa mereka keluar bukan karena benci terhadap suami mereka, dan mereka
datang tiada lain hanyalah karena cinta kepada Islam dan para pemeluknya serta
menaruh perhatian yang besar kepada Islam. Apabila mereka mau mengucapkan sumpah
itu, barulah mereka diterima.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ}
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa iman itu dapat dilihat
secara yakin.
Firman Allah Swt.:
{لَا
هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ}
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu
tiada halal pula bagi mereka. (Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini mengandung hukum yang mengharamkan wanita muslimah bagi lelaki
musyrik, pada masa permulaan Islam masih diperbolehkan seorang lelaki musyrik
kawin dengan wanita mukminah. Peristiwa ini dialami oleh Abul As ibnur Rabi'
(suami putri Nabi Saw. yang bernama Zainab r.a.). Zainab r.a. adalah wanita
muslimah, sedangkan suaminya masih tetap berpegang pada agama kaumnya. Ketika
Abul As menjadi tawanan Perang Badar, maka istrinya (Zainab r.a.) mengirimkan
tebusan untuk suaminya berupa sebuah kalung yang dahulunya adalah milik ibunya,
Siti Khadijah. Ketika Rasulullah Saw. melihat kalung itu, luluhlah hatinya dan
berbalik menjadi sayang. Lalu beliau bersabda kepada kaum muslim: Jika kalian
berpendapat akan melepaskan tawanannya demi dia, maka lakukanlah.
Maka mereka menerima tebusan itu, dan Rasulullah Saw. membebaskannya dengan
syarat hendaknya Abul As mengirimkan putri beliau ke Madinah. Abul As memenuhi
janjinya dengan tepat, untuk itu ia mengirimkan istrinya kepada Rasulullah Saw.
disertai dengan Zaid ibnu Harisah r.a. Sejak Perang Badar usai, Zainab r.a.
tinggal di Mekah, hal ini terjadi di tahun kedua Hijriah, hingga suaminya (yaitu
Abul As) masuk Islam pada tahun delapan Hijriah. Maka Rasulullah Saw.
mengembalikan putrinya kepadanya atas dasar nikah yang pertama, dan tidak
meminta mahar lagi untuk pengembalian itu.
Imah Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Daud ibnul
Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. mengembalikan
putrinya Zainab kepada Abul As. Hijrah yang dilakukan oleh Zainab adalah sebelum
suaminya masuk Islam dalam tenggang masa enam tahun, pengembalian tersebut
berdasarkan nikah yang pertama dan tidak memerlukan lagi persaksian ataupun
mahar.
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Turmuzi, dan Ibnu Majah. Di
antara ulama ada yang mengatakan bahwa tenggang masa itu hanyalah dua tahun, dan
inilah pendapat yang benar, karena masuk Islamnya Abul As sesudah kaum muslimat
diharamkan bagi kaum musyrik, yakni dua tahun sesudahnya.
Imam Turmuzi memberikan komentarnya, bahwa sanad riwayat ini tidak mengandung
kelemahan. Tetapi menurutnya, dia tidak mengenal jalur periwayatan hadis ini,
barangkali bersumber dari hafalan Daud ibnul Husain.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdu ibnu Humaid mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Yazid ibnu Harun menceritakan hadis ini dari Ishaq,
dan hadis Ibnul Hajjaj (yakni Ibnu Artah), dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya,
dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. mengembalikan putrinya kepada Abul As ibnur
Rabi' dengan mahar yang baru dan nikah yang baru.
Yazid mengatakan bahwa hadis Ibnu Abbas lebih baik sanadnya, dan yang
diberlakukan adalah hadis Amr ibnu Syu'aib. Kemudian kami memberikan komentar,
bahwa telah diriwayatkan pula hadis Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu'aib
oleh Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah. Imam Ahmad menilainya daif,
dan imam ahli hadis lainnya turut meriwayatkannya pula; hanya Allah-lah Yang
Maha Mengetahui.
Jumhur ulama menjawab tentang hadis Ibnu Abbas (yang menyatakan atas dasar
nikah yang pertama), bahwa hal tersebut merupakan masalah yang sudah jelas dan
mengandung pengertian bahwa Zainab r.a. masih belum habis idahnya dari Abul As.
Mengingat pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama menyebutkan bahwa
manakala idahnya telah habis, sedangkan suaminya masih juga belum masuk Islam,
maka otomatis nikahnya fasakh darinya. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan
apabila idahnya telah habis, maka si istri diperbolehkan memilih: Jika ingin
tetap dengan suaminya diperbolehkan dan nikahnya tetap berlangsung (utuh); dan
jika ingin pisah dengan suaminya, maka nikahnya fasakh, lalu ia boleh kawin
dengan lelaki lain. Mereka menakwilkan hadis Ibnu Abbas dengan pengertian ini;
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوهُمْ
مَا أَنْفَقُوا}
Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka
bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni kepada para suami wanita-wanita yang berhijrah dari kalangan kaum
musyrik. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa kembalikanlah kepada mereka
mahar yang pernah mereka bayarkan kepada istri-istri mereka. Demikianlah menurut
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Az-Zuhri, dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang.
Firman Allah Swt.:
{وَلا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ}
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. (Al-Mumtahanah: 10)
Yaitu apabila kamu telah membayar kepada mereka maharnya, maka kamu boleh
mengawininya. Tetapi dengan persyaratannya, yaitu habisnya masa idah, memakai
wali, dan lain sebagainya.
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ}
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Allah Swt. mengharamkan hamba-hamba-Nya yang mukmin menikahi wanita-wanita
musyrik dan tetap memelihara ikatan perkawinan dengan mereka.
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Al-Miswar dan
Marwan ibnul Hakam, bahwa Rasulullah Saw. setelah mengadakan perjanjian gencatan
senjata dengan orang-orang kafir Quraisy di Hudaibiyah, maka datanglah kepada
Nabi Saw. kaum wanita mereka yang mukminat. Lalu Allah Swt. menurunkan
firman-Nya:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
}
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Mumtahanah: 10)
sampai dengan firman-Nya:
{وَلا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ}
Dan janganlah kamu tetap berpegangpada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Maka Umar ibnul Khattab di hari itu menceraikan dua orang istrinya; yang
salah seorangnya kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan, sedangkan
yang lainnya dinikahi oleh Safwan ibnu Umayyah.
Ibnu Saur telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, bahwa ayat ini
diturunkan kepada Rasulullah Saw. Saat itu Rasulullah Saw. berada di bagian
bawah Hudaibiyah sedang mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang-orang
kafir Quraisy. Isi dari perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa barang
siapa yang datang kepada Nabi Saw. dari kalangan mereka, maka Nabi Saw. harus
mengembalikannya kepada mereka. Tetapi ketika yang datang adalah kaum wanita
yang beriman, maka turunlah ayat ini dan Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah agar
mengembalikan mahar mereka kepada suami-suami mereka. Diputuskan pula terhadap
kaum musyrik hal yang semisal, yaitu bahwa apabila datang kepada mereka seorang
wanita dari kaum muslim, hendaklah mereka mengembalikan maharnya kepada suami
wanita itu.
Dan Allah Swt. berfirman:
{وَلا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ}
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir. (Al-Mumtahanah: 10)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Ia
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memutuskan demikian di antara mereka
hanyalah karena mengingat telah adanya perjanjian tersebut antara orang-orang
muslim dan orang-orang musyrik.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Az-Zuhri bahwa pada hari turunnya
ayat ini Umar r.a. menceraikan Qaribah binti Abu Umayyah ibnul Mugirah yang
kemudian dinikahi oleh Mu'awiyah, dan Ummu Kalsum binti Amr ibnu Jarwal
Al-Khuza'iyah ibunya Abdullah ibnu Umar, lalu dikawin oleh Abu Jahm ibnu
Huzaifah ibnu Ganim, seorang lelaki dari kalangan kaumnya. Umar melakukan
demikian karena keduanya masih dalam kemusyrikannya. Dan Talhah ibnu Abdullah
menceraikan Arwa binti Rabi'ah ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib. kemudian ia
dikawin oleh Khalid ibnu Sa'id ibnul As sesudahnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَاسْأَلُوا
مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا}
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 10)
Yakni tuntutlah mahar yang telah kamu bayarkan kepada istri-istri kamu yang
pergi kepada orang-orang kafir, jika istri-istrimu itu pergi meninggalkanmu
menuju kepada mereka. Dan sebaliknya hendaklah mereka menuntut mahar yang telah
mereka bayarkan kepada istri-istri mereka yang berhijrah kepada kaum muslim.
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكُمْ
حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ}
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.
(Al-Mumtahanah: 10)
Yaitu dalam perjanjian perdamaian, dan pengecualian kaum wanita dari
perjanjian tersebut. Perintah demikian itu semuanya adalah hukum Allah, yang
berdasarkan ketentuan ini Dia menghukumi di antara makhluk-Nya.
{وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ}
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Mumtahanah: 10)
Allah Maha Mengetahui tentang kemaslahatan hamba-hamba-Nya, lagi
Mahabijaksana dalam mengatur kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemudian disebutkan
dalam firman berikutnya:
{وَإِنْ
فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا
الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا}
Dan jika seseorang dari istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir, lalu
kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari istrinya
itu mahar sebanyak yang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 11)
Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa ha! ini berkenaan dengan orang-orang
kafir yang tidak terikat dengan kaum muslim dalam suatu perjanjian perdamaian.
Yaitu apabila ada seorang wanita dari kalangan kaum muslim pergi bergabung
dengan mereka, sedangkan mereka tidak membayarkan sesuatu pun kepada suami
wanita yang lari itu. Maka apabila ada seorang wanita dari kalangan mereka
datang kepada kaum muslim, tidak dibayarkan kepada suaminya mahar yang telah
dibelanjakannya, sebelum mereka membayar pula mahar wanita muslim yang melarikan
diri itu kepada suaminya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari
Az-Zuhri yang mengatakan bahwa orang-orang mukmin mengakui hukum Allah ini. Oleh
karenanya mereka menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka, yaitu membayar
pembelanjaan yang telah dikeluarkan oleh kaum musyrik kepada istri-istri mereka.
Tetapi kaum musyrik menentang hukum itu dan tidak mau mengakui hukum Allah yang
menetapkan agar mereka menunaikan apa yang diwajibkan atas mereka, yaitu
menunaikan pembelanjaan kepada kaum muslim yang istrinya lari kepada mereka.
Untuk itulah maka Allah Swt. berfirman: Dan jika seseorang dari istri-istrimu
lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mengalahkan mereka, maka bayarkanlah
kepada orang orang yang lari istrinya itu mahar sebanyakyang telah mereka
bayar. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.
(Al-Mumtahanah: 11)
Untuk itu seandainya sesudah ayat ini diturunkan ada seorang wanita dari kaum
muslim lari kepada kaum musyrik, maka kaum mukmin berkewajiban membayarkan
kepada suaminya mahar yang telah dibelanjakannya. Pengembalian ini diambil dari
beban yang pernah dibayarkan oleh kaum muslim kepada mereka sebagai tebusan dari
istri-istri mereka yang berhijrah ke negeri kaum muslim. Adapun bila masih ada
lebihannya, maka dikembalikan kepada mereka. Yang dimaksud dengan beban ialah
mahar yang masih ada di tangan mereka dari kaum muslim sebagai tebusan buat
mereka karena mereka telah kehilangan istri-istrinya yang telah beriman dan
bergabung dengan kaum muslim di negeri hijrah.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini,
bahwajika ada seorang wanita istri seorang lelaki dari kalangan kaum Muhajirin
bergabung dengan orang-orang kafir, maka Rasulullah Saw. memerintahkan agar
lelaki itu diberi gantinya semisal dengan jumlah mahar yang telah ia belanjakan,
dan dananya diambil dari ganimah. Hal yang sama telah dikatakan oleh
Mujahid.
{فَعَاقَبْتُم}
lalu kamu mengalahkan mereka. (Al-Mumtahanah: 11)
Yakni kamu beroleh ganimah dari Quraisy atau dari lainnya.
{فَآتُوا
الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا}
maka bayarkanlah kepada orang-orang yang lari istrinya itu mahar
sebanyakyang telah mereka bayar. (Al-Mumtahanah: 11)
Yaitu mahar misilnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Masruq, Ibrahim,
Qatadah, Muqatil, Ad-Dahhak, Sufyan ibnu Husain, dan juga Az-Zuhri. Pendapat ini
tidaklah bertentangan dengan pendapat yang pertama. Dengan kata lain, jika dapat
direalisasikan pengembaliannya melalui cara yang pertama, maka itulah yang lebih
utama; dan jika tidak, maka diambil dari ganimah yang diperoleh dari tangan kaum
kuffar. Dalam hal ini terdapat keluasan dan pendapat inilah yang dipilih oleh
Ibnu Jarir.