Tafsir Surat Al-Qadar, ayat 1-5
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
(2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى
مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala
urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Allah Swt. menceritakan bahwa Dia menurunkan Al-Qur'an di malam Lailatul
Qadar, yaitu malam yang penuh dengan keberkahan, sebagaimana yang dijelaskan
dalam ayat lain melalui firman-Nya:
إِنَّا
أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati.
(Ad-Dukhan: 3)
Yaitu Lailatul Qadaryangterletakdi dalam bulan Ramadan, sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
شَهْرُ
رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan)Al-Qur’an. (Al-Baqarah: 185)
Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa Allah Swt. menurunkan Al-Qur'an
sekaligus dari Lauh Mahfuz ke Baitul 'Izzah di langit yang terdekat. Kemudian
diturunkan secara terpisah-pisah sesuai dengan kejadian-kejadian dalam masa dua
puluh tiga tahun kepada Rasulullah Saw.
Kemudian Allah Swt. berfirman, mengagungkan kedudukan Lailatul Qadar
yang dikhususkan oleh Allah Swt. sebagai malam diturunkan-Nya Al-Qur'an di
dalamnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَمَا
أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ}
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih
baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 2-3)
Abu Isa At-Turmuzi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Abu
Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani,
dari Yusuf ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa seorang lelaki bangkit menuju kepada
Al-Hasan ibnu Ali sesudah membaiat Mu'awiyah. Lalu lelaki itu berkata, "Engkau
telah mencoreng muka kaum mukmin," atau, "Hai orang yang mencoreng muka kaum
mukmin."
Maka Al-Hasan ibnu Ali menjawab, "Janganlah engkau mencelaku, semoga Allah
merahmatimu, karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah diperlihatkan kepadanya Bani
Umayyah berada di atas mimbarnya, hal itu membuat diri beliau merasa
berdukacita. Maka turunlah firman Allah Swt.:
إِنَّا
أَعْطَيْناكَ الْكَوْثَرَ
'Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar' (Al-Kautsar:
1)
hai Muhammad, yakni sebuah sungai (teiaga) di dalam surga. Dan turunlah pula
firman Allah Swt.:
{إِنَّا
أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ}
'Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
daripada seribu bulan' (Al-Qadar: 1-3).
yang akan dimilikkan sesudahmu kepada Bani Umayyah, hai Muhammad." Al-Qasim
mengatakan bahwa lalu kami menghitung-hitungnya, dan ternyata masa pemerintahan
Bani Umayyah adalah seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari
pun.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak
mengenalnya melainkan melalui jalur ini, yaitu melalui hadis Al-Qasim ibnul
Fadl. Dia adalah seorang yang berpredikat siqah, dinilai siqah oleh Yahya
Al-Qattan dan Abdur Rahman ibnu Mahdi.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa gurunya bernama Yusuf ibnu Sa'd yang dikenal
dengan nama Yusuf ibnu Mazin, dia adalah seorang yang tidak dikenal. Dan hadis
dengan lafaz yang seperti ini tidaklah dikenal melainkan hanya melalui jalur
ini.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan hadis ini melalui
jalur Al-Qasim ibnul Fadl, dari Yusuf ibnu Mazin dengan sanad yang sama. Dan
mengenai perkataan (penilaian) Imam Turmuzi yang menyebutkan bahwa Yusuf ibnu
Sa'd seorang yang tidak dikenal, masih perlu diteliti. Karena sesungguhnya telah
meriwayatkan darinya sejumiah ulama yang antara lain ialah Hammad ibnu Salamah,
Khalid Al-Hazza dan Yunus ibnu Ubaid. Yahya ibnu Mu'in menilainya sebagai
seorang yang masyhur (terkenal). Dan menurut suatu riwayat dari Ibnu Mu'in,
Yusuf ibnu Sa'd adalah seorang yang siqah (dipercaya).
Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini melalui jalur Al-Qasim ibnul Fadl, dari
Yusuf ibnu Mazin, demikianlah menurutnya, dan ini menimbulkan idtirab
dalam hadis ini; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Kemudian hadis ini dengan hipotesis apa pun berpredikat munkar sekali. Guru
kami Imam Al-Hafiz Al-Hujjah Abul Hajjaj Al-Maziy mengatakan bahwa hadis ini
berpredikat munkar.
Menurut hemat kami, ucapan Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani yang menyebutkan
bahwa ia menghitung-hitung masa pemerintahan Bani Umayyah, maka ternyata ia
menjumpainya seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun,
pendapat ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan r.a.
baru memegang tampuk pemerintahan saat Al-Hasan ibnu Ali menyerahkannya kepada
dia pada tahun empat puluh Hijriah, lalu semua baiat sepakat 'tertuju kepada
Mu'awiyah, maka tahun itu dinamakan dengan tahun Jama'ah.
Kemudian Bani Umayyah terus-menerus memegang kendali pemerintahan
berturut-turut di negeri Syam dan negeri lainnya. Tiada suatu kawasan pun yang
memberontak terhadap mereka kecuali hanya di masa pemerintahan Abdullah ibnuz
Zubair di kedua tanah suci (Mekah dan Madinah), dan Al-Ahwaz serta negeri-negeri
yang terdekat selama sembilan tahun. Akan tetapi, kesatuan dan persatuan mereka
tetap berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah secara keseluruhan terkecuali
hanya pada sebagian kawasan yang tertentu. Hingga pada akhirnya kekhalifahan
direbut dari tangan mereka oleh Banil Abbas pada tahun seratus tiga puluh
dua.
Dengan demikran, berarti jumlah masa pemerintahan Bani Umayyah seluruhnya
adalah sembilan puluh dua tahun, dan ini berarti lebih dari seribu bulan, yang
kalau dijumlahkan berarti hanya delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan.
Kalau begitu, berarti Al-Qasim ibnul Fadl menggugurkan masa pemerintahan
mereka di masa-masa Ibnuz Zubair (yang hanya sembilan tahun itu). Jika demikian,
berarti jumlah ini mendekati kebenaran dari apa yang dikatakannya; hanya Allah
jualah Yang Maha Mengetahui.
Bukti lain yang menunjukkan ke-daif-an hadis ini ialah karena hadis ini
sengaja diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan Bani Umayyah. Seandainya
dimaksudkan untuk mencela mereka, tentulah bukan dengan konteks seperti itu.
Mengingat keutamaan LailatuI Qadar di masa-masa pemerintahan mereka bukanlah
menunjukkan tercelanya hari-hari mereka. Sesungguhnya malam LailatuI Qadar itu
sangat mulia, dan surat yang mulia ini diturunkan hanya semata-mata memuji malam
LailatuI Qadar. Lalu mengapa ayat ini memuji keutamaannya di masa-masa
pemerintahan Bani Umayyah yang dinilai oleh hadis ini tercela. Hal ini tiada
lain hanyalah seperti apa yang dikatakan oleh penyair:
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ السَّيْفَ يَنْقُصُ قَدْرُهُ ... إِذَا
قِيلَ إِنَّ السَّيْفَ أَمْضَى مِنَ الْعَصَا
Tidakkah engkau lihat, bahwa pedang
itu turun pamornya bila dikatakan bahwa ia lebih tajam daripada
tongkat?
Penyair lainnya mengatakan:
إِذَا
أَنْتَ فَضَّلْتَ امْرَأً ذَا بَرَاعَةٍ ... عَلَى
نَاقِصٍ كَانَ الْمَدِيحُ مِنَ النَّقْصِ
Jika engkau mengutamakan seseorang
yang mempunyai keahlian di atas orang yang tidak mempunyai keahlian, maka sama
saja dengan merendahkan martabat orang yang dipujinya.
Kemudian bila-dipahami dari ayat ini bahwa seribu bulan yang disebutkan dalam
ayat menunjukkan masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan suratnya sendiri
adalah Makkiyyah. Lalu bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian seribu bulan
masa pemerintahan Bani Umayyah, padahal baik lafaz maupun makna ayat tidak
menunjukkan kepada pengertian itu. Dan lagi mimbar itu hanyalah baru dibuat di
Madinah sesudah hijrah. Semua bukti tersebut menunjukkan kelemahan dan
kemungkaran hadis di atas; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami
Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi Saw.
menceritakan tentang seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang menyandang
senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah Swt. Maka kaum
muslim merasa kagum dengan perihal lelaki Bani Israil itu. Mujahid melanjutkan
kisahnya, bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami
telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah
malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
(Al-Qadar: 1-3) Maksudnya, lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya
selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid,
telah menceritakan kepada kami Hakkam ibnu Muslim, dari Al-Musanna ibnus Sabbah,
dari Mujahid yang meHgatakan bahwa dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat
seorang lelaki yang malam harinya melakukan qiyam hingga pagi hari, kemudian di
siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Dia mengerjakan
amalan ini selama seribu bulan, maka Allah menurunkan firman-Nya: Malam
kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 3) Yakni
melakukan qiyam di malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani
Israil itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Maslamah ibnu
Ali, dari Ali ibnu Urwah yang mengatakan bahwa di suatu hari Rasulullah Saw.
menceritakan tentang kisah empat orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil (di
masa lalu); mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan
kedurhakaan kepada-Nya barang sekejap mata pun. Beliau Saw. menyebutkan nama
mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya' ibnu Nun.
Ali ibnu Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu para sahabat Rasulullah Saw.
merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi Saw. dan
berkata, "Hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan
puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka barang sekejap mata pun. Sesungguhnya
Allah Swt. telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu."
Kemudian Malaikat Jibril a.s. membacakan kepadanya firman Allah Swt.:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada
seribu bulan. (Al-Qadar: 1 -3)
Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah
karenanya Rasulullah Saw. dan orang-orang yang bersamanya saat itu.
Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa telah sampai kepadaku dari Mujahid
sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan. Bahwa
amalan, puasa, dan qiyamnya lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam
seribu bulan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Abu Zaidah, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan bahwa malam kemuliaan
lebih baik daripada seribu bulan yang di dalam bulan-bulannya tidak terdapat
malam Lailatul Qadar.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah ibnu Di'amah dan Imam Syafii serta
yang lainnya yang bukan hanya seorang. Amr ibnu Qais Al-Mala'i telah mengatakan
bahwa melakukan suatu amalan di malam kemuliaan lebih baik daripada melakukan
amalan selama seribu bulan.
Dan pendapat yang menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar itu lebih afdal
daripada melakukan ibadah selama seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat
Lailatul Qadar, merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir, dan pendapat
inilah yang benar, bukan yang lainnya.
Pengertian ini sama dengan apa yang disebutkan dalam sabda Nabi Saw. yang
mengatakan:
«رِبَاطُ
لَيْلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ لَيْلَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ
الْمَنَازِلِ»
Berjaga-jaga selama semalam di jalan Allah (jihad) lebih baik daripada
seribu malam di tempat-tempat yang lainnya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Sebagaimana pula yang disebutkan berkenaan dengan keutamaan seseorang yang
datang ke salat Jumat dengan penampilan yang baik dan niat yang saleh, bahwa
dicatatkan baginya amal selama satu tahun, berikut pahala puasa dan qiyamnya.
Dan masih banyak lagi nas-nas lainnya yang semakna.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابَة، عَنْ أَبِي هُريرة قَالَ: لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قد جَاءَكُمْ شَهْرُ
رَمَضَانَ، شَهَرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ
الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ، مَنْ حُرم خَيرَها فَقَدْ حُرم".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Hurairah r.a.
yang menceritakan bahwa ketika Ramadan tiba, Rasulullah Saw. bersabda: Telah
datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkati, Allah telah memfardukan
bagimu melakukan puasa padanya. Di dalamnya dibukakan semua pintu surga
dan ditutup rapat-rapat semua pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu. Di
dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang
siapa yang terhalang dari kebaikannya, berarti dia telah terhalang (dari semua
kebaikan).
Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ayyub dengan sanad yang sama.
Mengingat melakukan ibadah di dalam malam Lailatul Qadar sebanding pahalanya
dengan melakukan ibadah selama seribu bulan, telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«مَنْ
قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ»
Barang siapa yang melakukan qiyam (salat sunat) di malam Lailatul Qadar
karena iman dan mengharapkan pahala dan ridaAllah, maka diampunilah baginya
semua dosanya yang terdahulu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{تَنزلُ
الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ
أَمْرٍ}
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4)
Yakni banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan ini karena berkahnya yang
banyak. Dan para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat,
sebagaimana mereka pun turun ketika Al-Qur'an dibacakan dan mengelilingi
halqah-halqah zikir serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang menuntut
ilmu dengan benar karena menghormatinya.
Adapun mengenai ar-ruh dalam ayat ini, menurut suatu pendapat makna
yang dimaksud adalah Jibril a.s., yang hal ini berarti termasuk ke dalam Bab
"Ataf khusus kepada umum." Menurut pendapat lain menyebutkan, ar-ruh
adalah sejenis malaikat tertentu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
di dalam surat An-Naba. Hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.:
{مِنْ
كُلِّ أَمْرٍ}
untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4)
Mujahid mengatakan bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan.
Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus,
telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: Malam itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5) Bahwa malam
itu penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau
melakukan gangguan padanya.
Qatadah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua
urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki ditakdirkan,
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فِيها
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad'
Dukhan: 4)
Adapun firman Allah Swt.:
{سَلامٌ
هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ}
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar: 5)
Sa'id ibnu Mansur mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam,
dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan makna firman-Nya: untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
(Al-Qadar: 4-5) Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di malam
Lailatul Qadar kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit.
Dan Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca ayat ini
dengan bacaan berikut: Min kulli imri'in, yang artinya menjadi seperti
berikut: Kepada setiap orang (malaikat memberi salam) di malam Lailatul Qadar
sampai terbit fajar, yang dimaksud adalah ahli masjid.
Imam Baihaqi telah meriwayatkan sebuah asar yang garib yang menceritakan
turunnya para malaikat dan lewatnya mereka kepada orang-orang yang sedang salat
di malam itu (malam kemuliaan) sehingga orang-orang yang salat mendapat berkah
karenanya.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan sebuah asar yang garib dari Ka'bul Ahbar
cukup panjang menceritakan turunnya para malaikat dari Sidratul Muntaha dipimpin
oleh Malaikat Jibril a.s. ke bumi di malam kemuliaan dan doa mereka bagi
orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ -يَعْنِي الْقَطَّانَ-عَنْ
قَتَادَةَ، عَنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ أَبِي هُريرة: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: "إنها ليلة سابعة
-أو: تاسعة -وعشرين، وإن الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ
مِنْ عدد الحصى"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran
Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan (Lailatul Qadar):
Sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam dua puluh tujuh atau dua
puluh sembilan (Ramadan), dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu
jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu kerikil.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Al-Minhal, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila
sehubungan dengan makna firman-Nya: untuk mengatur segala urusan, yang
(penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 4-5) Yakni tiada suatu urusan pun yang
terjadi di malam itu.
Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: malam
itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5) Yaitu semuanya baik belaka, tiada
suatu keburukan pun yang terjadi di malam itu sampai matahari terbit.
Pengertian ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
حَدَّثَنَا
حَيْوَة بْنُ شُرَيح، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، حَدَّثَنِي بَحير بْنُ سَعْدٍ، عَنْ
خَالِدِ بْنِ مَعْدَان، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ
الْبَوَاقِي، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِيَ لَيْلَةٌ وِتْرٍ: تِسْعٍ
أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ". وَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إن أَمَارَةَ لَيْلَةِ
الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَة، كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةٌ
سَجِيَّةٌ، لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ، وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرمَى بِهِ
فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ. وَأَنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا
تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً، لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ،
وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ"
telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada
kami Baqiyyah. telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa'd dan Khalid ibnu
Ma’dan: dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Lailatul Qadar terdapat di malam sepuluh yang terakhir (dari bulan Ramadan);
barang siapa yang melakukan qiyam padanya karena mengharapkan pahala di
malam-malam tersebut, maka Allah memberi ampunan baginya atas semua dosanyayang
terdahulu dan yang kemudian. Malam Lailatul Qadar adalah malam yang ganjil, yang
jatuh pada malam dua puluh sembilan, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh lima,
atau dua puluh tiga, atau malam yang terakhir. Rasulullah Saw. telah
bersabda pula: Sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar ialah cuacanya bersih
lagi terang seakan-akan ada rembulannya, tenang, lagi hening; suhunya tidak
dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada
malam itu sampai pagi hari. Dan sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar itu dipagi
harinya matahari terbit dalam keadaan sempurna, tetapi tidak bercahaya seperti
biasanya melainkan seperti rembulan di malam purnama, dan tidak diperbolehkan
bagi setan ikut muncul bersamaan dengan terbitnya matahari di hari itu.
Sanad hadis ini hasan dan di dalam matannya terdapat garabah, dan pada
sebagian lafaznya terdapat yang hal munkar.
قَالَ
أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا زَمْعَة، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرام،
عَنْ عِكْرِمة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: "لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ، لَا
حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ، وَتُصْبِحُ شَمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيفَةً
حَمْرَاءَ"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zam'ah, dari
Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda sehubungan dengan malam Lailatul Qadar: (Yaitu) malam yang sedang
lagi terang, tidak panas dan tidak dingin, dan pada keesokan harinya cahaya
mataharinya lemah kemerah-merahan.
Ibnu Abu Asim An-Nabil telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Jabir ibnu
Abdullah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنِّي
رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَأُنْسِيتُهَا وَهِيَ فِي العشر الأواخر من لياليها
وهي طَلْقَةٌ بِلُجَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا لَا
يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيءَ فَجْرُهَا»
Sesungguhnya aku telah melihat malam Lailatul Qadar, lalu aku dijadikan
lupa kepadanya; malam Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan
Ramadan), pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas dan tidak pula
dingin, seakan-akan padanya terdapat rembulan; setan tidak dapat keluar di malam
itu hingga pagi harinya.
Para ulama berbeda pendapat, apakah di kalangan umat-umat terdahulu ada
Lailatul Qadar, ataukah memang Lailatul Qadar hanya khusus bagi umat ini? Ada
dua pendapat di kalangan mereka mengenainya.
Abu Mus'ab alias Ahmad ibnu Abu Bakar Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Malik, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah Saw. diperlihatkan
kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau
sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka
Rasulullah Saw. seakan-akan menganggap pendek usia umatnya bila dibandingkan
dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau
merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat mencapai tingkatan mereka. Maka
Allah Swt. memberinya Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan.
Hadis ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh
Malik ini memberikan pengertian bahwa Lailatul Qadar hanya dikhususkan bagi umat
ini. Dan pendapat ini telah dinukil oleh penulis kitab Al-Iddah, salah seorang
ulama dari kalangan mazhab Syafii dari jumhur ulama; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.
Al-Khattabi telah meriwayatkan adanya kesepakatan dalam hal ini, dan'Al-Qadi
telah menukilnya secara pasti dari mazhab Syafii. Akan tetapi, pengertian yang
ditunjukkan oleh hadis memberikan pengertian bahwa Lailatul Qadar terdapat pula
di kalangan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat di kalangan umat kita
sekarang.
قَالَ
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ
عَمَّارٍ: حَدَّثَنِي أَبُو زُمَيل سِمَاك الحَنَفي: حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ
مَرْثَد بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي مَرْثَد قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا ذَرٍّ
قُلْتُ: كَيْفَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ قَالَ: أَنَا كُنْتُ أَسْأَلُ النَّاسَ عَنْهَا، قُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، أَفِي رَمَضَانَ هِيَ أَوْ
فِي غَيْرِهِ؟ قَالَ: "بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ". قُلْتُ: تَكُونُ مَعَ
الْأَنْبِيَاءِ مَا كَانُوا، فَإِذَا قُبِضُوا رُفِعَتْ؟ أَمْ هِيَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: "بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ". قُلْتُ: فِي أَيِّ
رَمَضَانَ هِيَ؟ قَالَ: "الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأُوَلِ، وَالْعَشْرِ
الْأَوَاخِرِ". ثُمَّ حَدّثَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وحَدّث، ثُمَّ اهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ قُلْتُ: فِي أَيَّ الْعَشْرَيْنِ هِيَ؟
قَالَ: "ابْتَغَوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، لَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ
بَعْدَهَا". ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
ثُمَّ اهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ
بِحَقِّي عَلَيْكَ لَمَا أَخْبَرْتَنِي فِي أَيِّ الْعَشْرِ هِيَ؟ فَغَضِبَ عَلَيَّ
غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ مِثْلَهُ مُنْذُ صَحِبْتُهُ، وَقَالَ: "الْتَمِسُوهَا فِي
السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ، لَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا"
Imam Ahmad Ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu
Sa'id, dari Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Abu Zamil alias
Sammak Al-Hanafi, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Marsad ibnu Abdullah,
telah menceritakan kepadaku Marsad yang telah mengatakan bahwa aku bertanya
kepada Abu Zar, "Apakah yang pernah engkau tanyakan kepada Rasulullah Saw.
tentang Lailatul Qadar?" Abu Zar menjawab, bahwa dirinyalah orang yang paling
gencar menanyakan tentang Lailatul Qadar kepada Rasulullah Saw. Aku bertanya,
"Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah terdapat
di dalam bulan Ramadan ataukah di bulan yang lain?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Tidak, bahkan ia terdapat di dalam bulan Ramadan." Aku bertanya lagi,
"Apakah Lailatul Qadar itu hanya ada di masa para nabi saja? Apabila mereka
telah tiada, maka Lailatul Qadar dihapuskan, ataukah masih tetap ada sampai hari
kiamat?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak, bahkan Lailatul Qadar tetap ada
sampai hari kiamat." Aku bertanya lagi, "Di bagian manakah Lailatul Qadar
terdapat dalam bulan Ramadan?" Rasulullah Saw. menjawab: Carilah Lailatul
Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apapun
sesudah ini. Kemudian Rasulullah Saw. melanjutkan perbincangannya, dan
beliau terus berbincang-bincang, lalu aku memotong pembicaraannya dan bertanya,
"Di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?" Rasulullah Saw. menjawab:
Carilah ia di malam-malam sepuluh terakhir, dan jangan engkan bertanya lagi
mengenainya sesudah ini. Rasulullah Saw. melanjutkan pembicaraannya,
kemudian aku memotong lagi pembicaraannya dan kukatakan kepadanya, "Wahai
Rasulullah, aku bersumpah kepada engkau demi hakku atas dirimu setelah engkau
menceritakannya kepadaku, di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?" Maka
beliau Saw. kelihatan marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah seperti
itu sejak aku menjadi sahabatnya, lalu beliau bersabda: Carilah ia di
malam-malam tujuh terakhir, dan jangan lagi engkau menanyakannya kepadaku
sesudah ini.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Al-Fallas, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan
dengan sanad yang sama.
Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan seperti apa yang telah
kami sebutkan di atas, yaitu bahwa Lailatul Qadar masih tetap ada sampai hari
kiamat, tiap tahunnya sesudah Nabi Saw. tiada. Tidak sebagaimana yang disangka
oleh sebagian golongan Syi'ah yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar telah
diangkat secara keseluruhan, sesuai dengan pemahaman mereka terhadap hadis yang
akan kami kemukakan sehubungan dengan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَرُفِعَتْ
وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ»
Maka diangkatlah (dihapuskanlah) LailatuI Qadar dan mudah-mudahan hal ini
baik bagi kalian.
Karena sesungguhnya makna yang dimaksud ialah hanya penghapusan mengenai
pengetahuan malamnya secara tertentu.
Juga dalam hadis di atas menunjukkan bahwa LailatuI Qadar itu hanya khusus
terjadi di dalam bulan Ramadan, bukan bulan-bulan lainnya. Tidak sebagaimana
yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan ulama ahli Kufah yang mengikutinya,
mereka mengatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di sepanjang tahun dan
diharapkan terdapat di setiap bulannya secara merata.
Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya telah menukil hadis ini dalam Bab
"Penjelasan LailatuI Qadar" terdapat di semua Ramadan, untuk itu ia mengatakan
bahwa:
حَدَّثَنَا
حُمَيد بْنُ زَنْجُويه النَّسَائِيُّ أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ
عُقْبَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِل رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَقَالَ: "هِيَ فِي كُلِّ
رَمَضَانَ"
telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Zanjawaih As-Sami, telah
menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Ja'far ibnu Abu Kasir, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu
Uqbah, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Abdullah ibnu Umar yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai LailatuI Qadar,
sedangkan ia mendengarkannya. Maka beliau Saw. menjawab: LailatuI Qadar
terdapat di semua Ramadan.
Sanad ini semua perawinya berpredikat siqah; hanya saja Abu Daud mengatakan
bahwa Syu'bah dan Sufyan telah meriwayatkan hadis ini dari Abu Ishaq, dan
keduanya me-mauquf-kan hadis ini hanya sampai kepadanya. Dan telah diriwayatkan
dari Abu Hanifah rahimahullah, bahwa LailatuI Qadar itu diharapkan terdapat di
setiap bulan Ramadan. Ini merupakan suatu pendapat yang diriwayatkan oleh
Al-Gazali dan dinilai garib sekali oleh Ar-Rafi'i.
Kemudian dikatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di malam pertama bulan
Ramadan, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Razin.
Menurut pendapat yang lain, LailatuI Qadar terdapat pada malam tujuh belas
Ramadan. Sehubungan dengan hal ini Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadis
marfu' dari Ibnu Mas'ud. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang sama
secara mauquf hanya sampai pada Ibnu Mas'ud, Zaid ibnu Arqam, dan Usman ibnu
Abul As. Dan hal ini merupakan suatu pendapat yang bersumber dari Muhammad ibnu
Idris Asy-Syafii, dan diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengemukakan
alasannya, bahwa LailatuI Qadar terjadi di malam Perang Badar, yang jatuh pada
hari Jumat tanggal tujuh belas Ramadan. Dan di pagi harinya terjadi Perang
Badar, yaitu hari yang disebut oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dengan sebutan
Yaumul Furqan, alias hari pembeda antara perkara yang hak dan perkara
yang batil.
Menurut pendapat lain, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal sembilan belas bulan
Ramadan; pendapat ini bersumber dari Ali dan juga Ibnu Mas'ud. Menurut pendapat
yang lainnya lagi, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal dua puluh satu berdasarkan
hadis Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan
i'tikaf di malam-malam sepuluh pertama bulan Ramadan, dan kami pun ikut i'tikaf
bersamanya. Lalu datanglah Jibril dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya yang
engkau cari berada di depanmu." MakaNabi Saw. melakukan i'tikaf pada malam-malam
pertengahan (sepuluh kedua) bulan Ramadan, dan kami ikut beri'tikaf
bersamanya.
Dan Jibril datang lagi kepadanya, lalu berkata, "Yang engkau cari berada di
depanmu." Kemudian Nabi Saw. berdiri dan berkhotbah di pagi hari tanggal dua
puluh Ramadan, antara lain beliau bersabda:
«مَنْ
كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي
أُنْسِيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأواخر في وِتْرٍ وَإِنِّي رَأَيْتُ
كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاءٍ»
Barang siapa yang telah melakukan i'tikaf bersamaku, hendaklah ia pulang,
karena sesungguhnya aku telah melihat malam kemuliaan itu. Dan sesungguhnya aku
telah dibuat lupa terhadapnya, sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di
sepuluh terakhir bulan Ramadan pada malam-malam ganjilnya, dan sesungguhnya aku
telah bermimpi seakan-akan diriku sedang sujud di tanah dan air (karena cuacanya
hujan).
Sedangkan atap masjid terbuat dari pelepah daun kurma, pada mulanya kami
tidak melihat sepotong awan pun di langit. Lalu tiba-tiba terjadilah pelangi,
dan terjadilah hujan, dan Nabi Saw. membawa kami salat sehingga aku melihat
bekas tanah dan air menempel di kening beliau, hal ini membuktikan kebenaran
dari mimpi yang dilihatnya.
Menurut riwayat yang lain, kejadian itu terjadi pada pagi hari tanggal dua
puluh satu Ramadan; diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam
kitab sahihnya masing-masing. Imam Syafii mengatakan bahwa hadis ini merupakan
hadis yang sanadnya paling sahih.
Menurut pendapat lainnya, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tiga
Ramadan berdasarkan hadis Abdullah ibnu Unais dalam kitab Sahih Muslim, dan
hadis ini konteksnya mendekati hadisnya Abu Sa'id; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua
puluh empat Ramadan.
Sehubungan dengan hal ini Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari A.bu
Sa'id, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَيْلَةُ
الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ»
Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (bulan Ramadan).
Sanad hadis ini semua perawinya berpredikat siqah.
قَالَ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ يَزِيدَ
بْنِ أَبِي حَبِيب، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنِ الصُّنَابِحِيِّ، عَنْ بِلَالٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَيْلَةُ
الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ"
Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul
Khair As-Sanabiji, dari Bilal yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (Ramadan).
Ibnu Lahi'ah orangnya daif.
Hadis ini bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Asbag, dari Ibnu Wahb, dari Arar ibnul Haris, dari Yazid ibnu Abu Habib,
dari Abul Khair, dari Abu Abdullah As-Sanabiji yang mengatakan bahwa telah
menceritakan kepadaku Bilal juru azan Rasulullah Saw., bahwa malam kemuliaan itu
terdapat pada malam tujuh terakhir dari bulan Ramadan. Hadis ini mauquf hanya
sampai kepada Bilal, dan inilah yang paling sahih; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir,
Al-Hasan, Qatadah, dan Abdullah ibnu Wahb, bahwa malam kemuliaan terdapat pada
malam dua puluh empat Ramadan. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis
Wasilah ibnul Asqa' secara marfu', yaitu dalam tafsir surat Al-Baqarah, berbunyi
demikian:
«إِنَّ
الْقُرْآنَ أُنْزِلَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ»
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan pada malam dua puluh empat
(Ramadan).
Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua
puluh lima Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْتَمِسُوهَا
فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ
تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى»
Carilah malam kemuliaan di malam-malam sepuluh terakhir dari bulan
Ramadan, yaitu bila tinggal sembilan malam lagi atau bila tinggal tujuh malam
lagi, atau bila tinggal lima malam lagi.
Kebanyakan ulama menakwilkan makna hadis ini dengan malam-malam yang ganjil,
dan pendapat inilah yang kuat dan yang terkenal. Sedangkan ulama lainnya
menakwilkannya terjadi pada malam-malam yang genap dari malam-malam sepuluh
terakhir Ramadan. Ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Sa'id, bahwa ia menakwilkannya demikian; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua
puluh tujuh Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di
dalam kitab sahihnya, dari Ubay ibnu Ka'b, dari Rasulullah Saw., bahwa malam
kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tujuh.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang telah
mendengar dari Abdah dan Asim, dari Zur yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ubay ibnu Ka'b, "Hai Abul Munzir, engkau pernah berkata bahwa saudaramu
Ibnu Mas'ud pernah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan qiyaimil lail
sepanjang tahun, niscaya akan menjumpai Lailatul Qadar."
Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Semoga Allah merahmatinya, sesungguhnya dia telah
mengetahui bahwa malam kemuliaan itu terdapat di dalam bulan Ramadan dan
tepatnya di malam dua puluh tujuh." Kemudian Ubay ibnu Ka'b bersumpah untuk
menguatkan perkataannya. Dan aku bertanya, "Bagaimanakah kamu mengetahuinya?"
Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Melalui alamat atau tandanya yang telah diberitahukan
kepada kami oleh Nabi Saw., bahwa pada siang harinya mentari terbit di pagi
harinya, sedangkan cahayanya lemah."
Imam Muslim telah meriwayatkan ini melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah,
Syu'bah, dan Al-Auza'i, dari Abdah, dari Zur, dari Ubay, lalu disebutkan hal
yang semisal. Yang di dalamnya disebutkan bahwa Ubay ibnu Ka'b mengatakan, "Demi
Allah, yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya malam
kemuliaan itu benar-benar berada di bulan Ramadan." Ubay ibnu Ka'b bersumpah
tanpa mengucapkan pengecualian, lalu ia melanjutkan, "Demi Allah, sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui di tanggal berapakah Lailatul Qadar itu berada,
Rasulullah Saw. telah memerintahkan kami untuk melakukan qiyam padanya, yaitu
tanggal dua puluh tujuh. Dan pertandanya ialah di pagi harinya mentari terbit
dengan cahaya yang redup."
Dalam bab yang sama telah disebutkan dari Mu'awiyah, Ibnu Umar, dan Ibnu
Abbas serta selain mereka, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda bahwa
Lailatul Qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Dan inilah pendapat yang
dipegang oleh segolongan ulama Salaf, dan merupakan pendapat yang dianut di
kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah, juga menurut suatu riwayat
yang bersumber dari Imam Abu Hanifah menyebutkan hal yang sama. Telah
diriwayatkan pula dari sebagian ulama Salaf, bahwa Imam Abu Hanifah berupaya
menyimpulkan keadaan Lailatul Qadar jatuh pada tanggal duapuluh tujuh dari
Al-Qur'an melalui firman-Nya, "Hiya (malam itu)," dengan alasan bahwa
kalimat ini merupakan kalimat yang kedua puluh tujuh dari surat yang
bersangkutan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Dubri, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah dan Asim; keduanya pernah
mendengar Ikrimah mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah menceritakan bahwa Khalifah
Umar ibnul Khattab r.a. mengundang semua sahabat, lalu menanyakan kepada mereka
tentang Lailatul Qadar, maka mereka sepakat mengatakan bahwa malam Lailatul
Qadar berada di malam sepuluh terakhir bulan Ramadan.
Ibnu Abbas melanjutkan, bahwa lalu ia berkata kepada Umar, "Sesungguhnya aku
benar-benar mengetahui —atau merasa yakin— di malam ke berapakah Lailatul Qadar
berada?" Umar bertanya, "Kalau begitu, katakanlah di malam ke berapakah ia
berada?" Ibnu Abbas menjawab, bahwa Lailatul Qadar adanya pada sepuluh malam
terakhir Ramadan bila telah berlalu tujuh malam, atau bila tinggal tujuh malam
lagi.
Umar bertanya, "Dari manakah kamu mengetahui hal itu?" Ibnu Abbas menjawab,
bahwa Allah telah menciptakan langit tujuh lapis, bumi tujuh lapis, hari-hari
ada tujuh, dan bulan berputar pada tujuh (manzilah). Manusia diciptakan dari
tujuh (lapis bumi), makan dengan tujuh anggota, sujud dengan tujuh anggota,
tawaf tujuh kali, melempar jumrah tujuh kali, dan lain sebagainya. Maka Umar
berkata, "Sesungguhnya engkau mempunyai pandangan yang jeli yang kami tidak
menyadarinya." Dan tersebutlah bahwa menurut riwayat Qatadah, ia menambahkan
dalam perkataan Ibnu Abbas sesudah mengatakan bahwa manusia makan dengan tujuh
anggota, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: lalu Kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran. ('Abasa: 27-28), hingga
akhir ayat.
Sanad hadis ini Jayyid lagi kuat, tetapi matannya garib sekali; hanya Allah
Yang Maha Mengetahui.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, Lailatul Qadar terdapat di malam dua
puluh sembilan.
قَالَ
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا
أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سَلَمَةَ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ عُمرَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي رَمَضَانَ، فَالْتَمِسُوهَا فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَإِنَّهَا فِي وتْر إِحْدَى وَعِشْرِينَ، أَوْ ثَلَاثٍ
وَعِشْرِينَ، أَوْ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ، أَوْ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، [أَوْ تِسْعٍ
وَعِشْرِينَ] أَوْ فِي آخِرِ لَيْلَةٍ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Umar ibnu Abdur
Rahman, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang Lailatul Qadar bilakah adanya. Maka Rasulullah Saw. menjawab: Dalam
bulan Ramadan, carilah dalam malam-malam sepuluh terakhirnya, dan sesungguhnya
ia terdapat pada malam yang ganjil, yaitu dua puluh satu, atau dua puluh tiga,
atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau di
malam yang terakhirnya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -وَهُوَ: أَبُو دَاوُدَ
الطَّيَالِسِيُّ-حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ أَبِي
مَيْمُونَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِي ليلة القدر: "إنها ليلة سابعة أو تاسعة وَعِشْرِينَ، وَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ
الْحَصَى"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud
(yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan,
dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan: Sesungguhnya ia berada di malam
dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadan), dan sesungguhnya para
malaikat di malam itu di bumi jumlahnya lebih banyak daripada bilangan
kerikil.
Imam Ahmad meriwayatkannya secara tunggal, sanadnya tidak ada celanya.
Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar terdapat di malam terakhir bulan
Ramadan, berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas tadi, juga hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui hadis Uyaynah ibnu Abdur
Rahman, dari ayahnya, dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
فِي
تِسْعٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ سَبْعٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ ثَلَاثٍ،
أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ"
di malam duapuluh satu, atau duapuluh tiga, atau duapuluh lima, atau
duapuluh tujuh, atau di malam terakhir.
Yakni carilah malam kemuliaan tersebut di malam-malam itu. Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan, sahih. Dan di dalam kitab musnad
disebutkan melalui jalur Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.
sehubungan dengan malam kemuliaan ini:
"إِنَّهَا
آخِرُ لَيْلَةٍ"
Sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di malam terakhir
(Ramadan).
[FASAL]
Imam Syafii mengatakan sehubungan dengan riwayat-riwayat ini, bahwa semuanya
merupakan jawaban Nabi Saw. terhadap pertanyaan orang yang bertanya kepadanya,
"Apakah kita mencari malam kemuliaan di malam anu?" Maka beliau Saw. menjawab,
"Ya." Padahal sesungguhnya malam kemuliaan itu adalah malam tertentu yang tidak
berpindah-pindah. Demikianlah menurut apa yang telah dinukil oleh Imam Turmuzi
secara garis besarnya.
Telah diriwayatkan pula dari Abu Qilabah, bahwa ia telah mengatakan,
"Lailatul Qadar itu berpindah-pindah di malam-malam sepuluh terakhir Ramadan."
Dan apa yang diriwayatkan dari Abu Qilabah ini dicatat sebagai nas oleh Malik,
As-Sauri, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, Al-Muzani, dan Abu
Bakar ibnu Khuzaimah, dan lain-lainnya. Imam Syafii telah mengatakan hal yang
sama pula menurut apa yang dinukil oleh Al-Qadi darinya; dan pendapat inilah
yang lebih mirip kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Dan senada dengan pendapat ini apa yang telah disebutkan di dalam kitab
Sahihain melalui Abdullah ibnu Umar, bahwa beberapa orang laki-laki dari sahabat
Rasulullah Saw. diperlihatkan kepada mereka Lailatul Qadar dalam malam-malam
tujuh terakhir Ramadan. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَرَى
رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ، فَمَنْ كَانَ مُتحريها
فَلْيَتَحرها فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ"
Aku juga telah melihat hal yang sama seperti kalian dalam mimpiku, malam
kemuliaan itu berada di tujuh malam terakhir Ramadan. Maka barang siapa yang
mencarinya, hendaklah ia mencarinya di tujuh malam terakhir.
Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan pula melalui Aisyah r.a., bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda:
"تَحَرَّوْا
لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ
رَمَضَانَ"
Carilah Lailatul Qadar di malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir
bulan Ramadan.
Sedangkan lafaz hadis ini ada pada Imam Bukhari.
Imam Syafii dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar itu tidak
berpindah-pindah melainkan ada di malam tertentu dari bulan Ramadan beralasan
dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya
melalui -Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. muncul untuk
memberitahukan kepada kami tentang malam kemuliaan, maka tiba-tiba muncul pula
dua orang dari kalangan kaum muslim (menemuinya). Setelah itu Rasulullah Saw.
bersabda:
"خَرَجْتُ
لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ،
وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ
وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ"
Aku keluar untuk memberitahukan kepada kamu tentang malam kemuliaan, maka
muncullah si Fulan dan si Fulan sehingga (pengetahuan mengenai) malam kemuliaan
itu terhapuskan (dari ingatanku), dan barangkali hal ini baik bagi kamu. Maka
carilah ia di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh)
lima.
Yang tersimpulkan dari makna hadis ini menunjukkan bahwa seandainya malam
kemuliaan tidak tertentu secara berkesinambungan, tentulah tidak akan diperoleh
bagi mereka pengetahuan mengenai ketentuannya di setiap tahunnya. Sebab jika
malam kemuliaan itu memang berpindah-pindah, niscaya mereka tidak mengetahui
ketentuan malamnya terkecuali hanya tahun itu saja. Terkecuali jika dikatakan
bahwa sesungguhnya beliau keluar hanya untuk memberitahukan kepada mereka
mengenainya di tahun itu saja, dan hal ini ternyata tidak disebutkan. Sabda Nabi
Saw. yang mengatakan: maka muncullah si Fulan dan si Fulan, sehingga
(pengetahuanku mengenainya) terhapuskan (dari ingatanku).
Terkandung suatu rujukan yang menjadi sumber dari suatu peribahasa yang
mengatakan bahwa sesungguhnya berbelit-belit itu dapat memutuskan faedah dan
ilmu yang bermanfaat, sebagaimana pula halnya yang disebutkan dalam hadis yang
mengatakan:
"إِنَّ
الْعَبْدَ ليُحْرَم الرزقَ بالذَّنْبِ يُصِيبه"
Sesungguhnya seorang hamba benar-benar terhalang dari rezekinya disebabkan
dosa yang dikerjakannya.
Dan sabda Nabi Saw. yang mengatakan: maka dihapuslah (pengetahuan tentang
malam kemuliaan dari ingatanku). Yakni dihapuskan pengetahuan
mengenai ketentuan malamnya dari kalian, dan bukan berarti bahwa malam kemuliaan
itu dihapuskan seluruhnya, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang kurang
akalnya dari golongan Syi'ah. Karena sesungguhnya Nabi Saw. bersabda sesudahnya:
Maka carilah malam kemuliaan itu di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh)
tujuh, dan (dua puluh) lima.
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Dan barangkali hal itu lebih baik
bagi kamu. Yakni ketiadaan ketentuan malamnya lebih baik bagimu,
karena sesungguhnya jika malam kemuliaan dimisterikan ketentuannya, maka
orang-orang yang mencarinya akan mengejarnya dengan penuh kesungguhan guna
mendapatkannya dalam seluruh bulan Ramadan. Dengan demikian, berarti ibadah yang
dilakukannya lebih banyak. Berbeda halnya jika ketentuan malamnya disebutkan dan
mereka mengetahuinya, maka semangat menjadi pudar untuk mencarinya dan hanya
timbul di malam itu saja, sedangkan pada malam lainnya mereka tidak mau
melakukan qiyam padanya. Sesungguhnya hikmah disembunyikannya ketentuan malam
kemuliaan ini dimaksudkan agar ibadah meramaikan seluruh bulan Ramadan untuk
mencarinya, dan kesungguhan makin meningkat bila Ramadan mencapai sepuluh
terakhirnya.
Untuk itulah maka Rasulullah Saw. melakukan i'tikaf di malam sepuluh terakhir
Ramadan sampai Allah Swt. mewafatkannya, kemudian sesudah beliau istri-istri
beliau mengikuti jejaknya dalam melakukan i'tikaf ini. Imam Bukhari dan Imam
Muslim telah mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Aisyah r.a.
Dan masih dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah disebutkan melalui Ibnu
Umar bahwa Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf di malam-malam sepuluh
terakhir Ramadan. Dan Siti Aisyah r.a. telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
apabila telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadan, maka beliau menghidupkan
malam-malamnya (dengan qiyamul lail), dan membangunkan istri-istrinya (untuk
melakukan hal yang sama), dan beliau mengencangkan ikat pinggangnya (yakni tidak
melakukan senggama dengan istri-istri beliau di malam-malam tersebut).
Diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Menurut riwayat Imam Muslim melalui Aisyah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
mencurahkan semua kesibukannya untuk ibadah di malam (sepuluh terakhir Ramadan)
tidak sebagaimana kesungguhannya di malam-malam lainnya. Dan hal ini semakna
dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah, "Mengencangkan ikat pinggangnya."
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan mengencangkan ikat pinggang
ialah memisahkan diri dari istri-istrinya. Akan tetapi, dapat juga ditakwilkan
dengan pengertian mengikat pinggang sesungguhnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah
menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari
Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila Ramadan tinggal sepuluh
hari lagi, maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan menjauhi
istri-istrinya. Hadis diketengahkan oleh Imam Ahmad secara tunggal.
Telah diriwayatkan pula dari Malik rahimahullah, bahwa dianjurkan mencari
malam kemuliaan pada semua malam sepuluh terakhir Ramadan secara sama rata,
tidak ada perbedaan antara satu malam dengan malam lainnya. Penulis mengatakan
bahwa ia melihat pendapat ini dalam syarah Ar-Rafi'i rahimahullah.
Hal yang dianjurkan dalam semua waktu ialah memperbanyak doa, dan dalam bulan
Ramadan hal yang lebih banyak membacanya ialah bila telah mencapai sepuluh
terakhir darinya, kemudian yang lebih banyak lagi ialah di witir-witirnya. Dan
hal yang disunatkan ialah hendaknya seseorang memperbanyak doa berikut:
اللَّهُمَّ
إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf suka memberi maaf, maka
maafkanlah daku.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Al-Juwairi alias
Sa'id ibnu Iyas, dari Abdullah ibnu Buraidah, bahwa Aisyah pernah bertanya,
"Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku
ucapkan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«قُولِي
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»
Ucapkanlah olehmu, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka
memaafkan, maka maafkanlah daku.”
Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui
jalur Kahmas ibnul Hasan, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Aisyah yang telah
bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku mengetahui malam
kemuliaan, lalu apakah yang harus aku ucapkan padanya?" Rasulullah Saw.
menjawab:
«قُولِي
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»
Ucapkanlah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaaf, maka
maafkanlah daku.”
Hadis ini menurut lafaz yang ada pada Imam Turmuzi. Kemudian ia mengatakan
bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab
Mustadrak-nya, dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat
Syaikhain.
Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari
Alqamah ibnu Marsad, dari Suiaiman ibnu Buraidah, dari Aisyah yang mengatakan
bahwa ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu jika aku
menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku ucapkan padanya?" Rasulullah
Saw. menjawab:
"قولي:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُو تُحِبُّ الْعَفْوَ، فَاعْفُ عَنِّي"
Ucapkanlah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaaf, maka
maafkanlah daku.”
Asar yang aneh dan berita yang mengherankan berkaitan dengan malam
kemuliaan (Lailatul Qadar) ini.
Diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim dalam tafsir ayat ini.
Untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad Al-Qatwani, telah menceritakan
kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sa'id
Ar-Rasi, dari Hilal ibnu Abu Jabalah, dari Abu Abdus Salam, dari ayahnya, dari
Ka'b.
Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa sesungguhnya Sidratul Muntaha itu berada di
perbatasan langit ketujuh dekat dengan surga, udaranya adalah campuran antara
udara dunia dan udara akhirat. Dahan dan ranting-rantingnya berada di bawah
Al-Kursi. Padanya terdapat malaikat-malaikat yang bilangannya tiada yang
mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt. Mereka selalu melakukan ibadah kepada
Allah Swt. di semua dahannya dan di setiap tempat bulu pohon itu terdapat
seorang malaikat, sedangkan kedudukan Malaikat Jibril berada di
tengah-tengahnya.
Allah memanggil Jibril untuk turun di setiap malam kemuliaan bersama dengan
para malaikat yang menghuni Sidratul Muntaha. Tiada seorang malaikat pun dari
mereka melainkan telah dianugerahi rasa lembut dan kasih sayang kepada
orang-orang mukmin.
Maka turunlah mereka di bawah pimpinan Jibril a.s. di malam kemuliaan di saat
matahari terbenam. Maka tiada suatu tempat pun di bumi di malam kemuliaan
melainkan telah terisi oleh malaikat; ada yang sedang sujud, ada pula yang
sedang berdiri mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.Terkecuali
jika tempat itu berupa gereja, atau sinagog (tempat peribadatan orang-orang
Yahudi), atau tempat pemujaan api, atau tempat pemujaan berhala, atau sebagian
tempat kalian yang dipakai oleh kalian membuang kotoran, atau rumah yang di
dalamnya terdapat orang mabuk, atau rumah yang ada minuman yang memabukkan, atau
rumah yang di dalamnya ada berhala yang terpasang, atau rumah yang di dalamnya
ada lonceng yang tergantung atau tempat sampah, atau tempat sapu.
Mereka terus-menerus sepanjang malam itu mendoakan orang-orang mukmin
laki-laki dan perempuan. Dan Jibril tidak sekali-kali mendoakan seseorang dari
kaum mukmin melainkan ia menyalaminya. Dan sebagai pertandanya ialah bila
seseorang yang sedang melakukan qiyam bulunya merinding (berdiri) dan hatinya
lembut serta matanya menangis, maka itu akibat salam Jibril kepadanya (jabat
tangan Jibril kepadanya).
Ka'bul Ahbar menyebutkan bahwa barang siapa yang di malam kemuliaan membaca
kalimah "Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah" sebanyak tiga kali,
Allah memberikan ampunan baginya dengan salah satunya, dan menyelamatkannya dari
neraka dengan satunya lagi, dan dengan yang terakbir Allah memasukkannya ke
dalam surga.
Maka kami bertanya kepada Ka'bul Ahbar, "Hai Abu Ishaq, benarkah ucapanmu
itu?" Ka'bul Ahbar menjawab, "Tiada yang mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah' kecuali hanyalah orang yang benar. Demi Tuhan
yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya Lailatul Qadar
itu benar-benar terasa berat bagi orang kafir dan orang munafik, sehingga
seakan-akan beratnya seperti bukit di punggungnya."
Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa para malaikat itu terus-menerus dalam keadaan
demikian hingga fajar terbit. Dan malaikat yang mula-mula naik ke langit adalah
Malaikat Jibril; manakala sampai di ufuk yang tinggi di dekat matahari, maka ia
membuka lebar-lebar sayapnya. Ia memiliki sepasang sayap yang berwarna hijau,
dan dia belum pernah membukanya kecuali hanya di saat itu. Karenanya maka cahaya
matahari kelihatan redup.
Kemudian Jibril memanggil malaikat demi malaikat, maka naiklah yang
dipanggilnya sehingga berkumpullah nur para malaikat dan nur kedua sayap Jibril.
Maka matahari di hari itu terus-menerus kelihatan cahayanya pudar. Dan Jibril
beserta para malaikat bermukim di antara bumi dan langit di hari itu dalam
keadaan berdoa dan memohonkan rahmat serta ampunan bagi orang-orang mukmin
laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang yang puasa Ramadan karena iman dan
mengharapkan pahala Allah. Dan Jibril mendoakan orang yang hatinya mengatakan
bahwa jika dia hidup sampai Ramadan tahun depan, maka ia akan puasa lagi karena
Allah.
Bila hari telah petang, mereka memasuki perbatasan langit yang terdekat, lalu
mereka duduk dan membentuk lingkaran-lingkaran dan bergabung dengan mereka semua
malaikat yang ada di langit terdekat. Maka para malaikat langit yang terdekat
menanyakan kepada mereka tentang perihal laki-laki dan perempuan dari penduduk
dunia, lalu para malaikat Sidratul Muntaha menceritakan keadaan orang-orang yang
ditanyakan mereka kepada mereka. Hingga mereka bertanya, "Apakah yang dikerjakan
oleh si Fulan dan bagaimanakah engkau menjumpainya di tahun ini?" Maka para
malaikat yang bam datang itu menjawab, "Kami jumpai si Fulan di permulaan malam
tahun lalu sedang ibadah, dan kami jumpai dia tahun ini dalam keadaan
mengerjakan perbuatan bid'ah. Dan kami telah menjumpai si Fulan di tahun kemarin
dalam keadaan berbuat bid'ah, sedangkan di tahun ini kami menjumpainya dalam
keadaan beribadah."
Maka para malaikat langit yang terdekat tidak lagi mendoakan ampunan bagi
orang yang berbuat bid'ah dan memohonkan ampunan bagi orang yang beribadah. Dan
mereka memberitahukan bahwa kami jumpai si Fulan dan si Anu dalam keadaan
berzikir kepada Allah, dan kami jumpai si Fulan sedang rukuk, dan kami jumpai si
Fulan sedang sujud, dan kami jumpai si Anu sedang membaca Kitabullah.
Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa mereka di siang dan malam hari itu tetap
dalam keadaan demikian, hingga naiklah mereka ke langit yang kedua. Dan di
setiap langit mereka singgah selama sehari semalam, hingga sampailah mereka ke
tempat semula di Sidratul Muntaha.
Maka Sidratul Muntaha menyambut mereka dan berkata, "Hai para pendudukku,
ceritakanlah kepadaku tentang manusia dan sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku,
karena sesungguhnya aku mempunyai hak atas kalian, dan sesungguhnya aku menyukai
orang-orang yang menyukai Allah."
Ka'bul Ahbar menceritakan bahwa mereka menyebutkan kepada Sidratul Muntaha
apa yang diinginkannya dengan menyebutkan nama tiap laki-laki dan perempuan yang
diceritakannya, juga nama orang tua-orang tua mereka. Kemudian surga datang
kepada Sidratul Muntaha dan mengatakan, "'Ceritakanlah kepadaku apa yang telah
diceritakan oleh malaikat-malaikat yang menghunimu," lalu Sidratul Muntaha
menceritakan hal itu kepadanya.
Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa setelah itu surga mengatakan, "Semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya kepada si Fulan dan semoga Allah melimpahkan pula
rahmat-Nya kepada si Fulanah. Ya Allah, segerakanlah mereka kepadaku."
Jibril lebih dahulu sampai di tempatnya sebelum para malaikat yang
menyertainya, lalu Allah mengilhamkan kepadanya untuk berbicara, maka Jibril
berkata, "Aku telah menjumpai si Fulan sedang sujud, maka ampunilah dia,"
kemudian Allah memberikan ampunan bagi si Fulan yang bcsangkutan. Suara Jibril
terdengar oleh para malaikat pemikul 'Arasy, maka mereka memohon, "Semoga rahmat
Allah terlimpahkan kepada si Fulan, dan semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada
si Fulanah, dan semoga ampunan Allah diberikan kepada si Fulan."
Jibril berkata, "Ya Tuhanku, aku menjumpai hamba'-Mu si Fulan yang telah
kujumpai di tahun kemarin dalam keadaan menempuh jalan sunnah dan beribadah,
sekarang di tahun ini aku menjumpainya telah melakukan suatu perbuatan bid'ah,"
lalu Jibril menolak untuk memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang itu. Maka
Allah Swt. berfirman, "Hai Jibril, jika dia bertobat dan kembali ke jalan-Ku
tiga jam sebelum dia mati, Aku memberikan ampunan baginya."
Maka Jibril berkata, "Bagi-Mu segala puji, ya Tuhanku, Engkau lebih penyayang
daripada semua makhluk-Mu, dan Engkau lebih penyayang kepada hamba-hamba-Mu
daripada hamba-hamba-Mu terhadap diri mereka sendiri."
Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa lalu 'Arasy berguncang berikut semua yang ada
di sekitarnya dan juga semua hijab (tirai). Semua langit dan para penghuninya
mengatakan, "Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang."
Perawi mengatakan bahwa Ka'bul Ahbar telah mengatakan, "Barang siapa yang
melakukan puasa Ramadan, sedangkan dalam dirinya ia berbicara bahwa apabila ia
berbuka (yakni telah selesai dari puasa Ramadannya) ia bertekad untuk tidak akan
berbuat durhaka kepada Allah Swt., niscaya orang itu masuk surga tanpa
pertanyaan dan tanpa hisab."
Demikianlah akhir tafsir surat
Al-Qadar, segala puji bagi Allah atas segala karunia yang telah
dilimpahkan-Nya.