Tafsir Surat Asy-Syura, ayat 36-39

{فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (36) وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ (37) وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38) وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ (39) }
Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji; dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri.
Allah Swt. berfirman, menggambarkan kecilnya urusan duniawi dan perhiasannya serta segala sesuatu yang ada pada dunia berupa kegemer­lapan perhiasannya dan semua kesenangannya yang fana itu. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kesenangan hidup di dunia. (Asy-Syura: 36)
Maksudnya, apa pun yang kamu hasilkan dan kamu kumpulkan, janganlah kamu teperdaya olehnya, karena sesungguhnya itu adalah kesenangan hidup di dunia, sedangkan dunia adalah negeri yang fana dan pasti akan lenyap lagi tiada artinya dibandingkan dengan kesenangan di akhirat.
{وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى}
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal. (Asy-Syura: 36)
Yakni pahala Allah Swt. lebih baik daripada dunia, karena pahala Allah kekal dan selama-lamanya. Maka janganlah kamu mendahulukan yang fana dengan melalaikan yang kekal. Dalam firman berikutnya disebutkan:
{لِلَّذِينَ آمَنُوا}
bagi orang-orang yang beriman. (Asy-Syura: 36)
Yaitu bagi orang-orang yang bersabar dalam meninggalkan kesenangan duniawi.
{وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal. (Asy-Syura: 36)
Yakni ketawakalan mereka benar-benar dapat membantu mereka bersabar dalam menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan. Dan dalam firman berikutnya disebutkan:
{وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الإثْمِ وَالْفَوَاحِشَ}
dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. (Asy-Syura: 37)
Penjelasan mengenai dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji telah diterangkan di dalam tafsir'surat Al-A'raf.
{وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ}
dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. (Asy-Syura: 37)
Watak mereka adalah pemaaf dan penyantun terhadap orang lain, dan bukan termasuk watak mereka sifat pendendam.
Di dalam hadis sahih telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. belum pernah sama sekali marah karena pribadinya, melainkan bilamana hal-hal yang diharamkan oleh Allah dilanggar.
Di dalam hadis lain disebutkan, bahwa beliau Saw. :
"كَانَ يَقُولُ لِأَحَدِنَا عِنْدَ الْمَعْتَبَةِ: مَا لَهُ؟ تَرِبَتْ جَبِينُهُ"
apabila menegur seseorang dari kami (para sahabat) mengatakan: Mengapa dia, semoga dia mendapat keberuntungan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zar, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Zaidah, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa dahulu orang-orang mukmin tidak senang bila dihina dan mereka selalu memaaf apabila dikhianati.
************
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ}
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya. (Asy-Syura: 38)
Yakni mereka mengikuti rasul-rasul Allah dan taat kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.
{وَأَقَامُوا الصَّلاةَ}
dan mendirikan salat. (Asy-Syura: 38)
Salat adalah ibadah yang paling besar.
{وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ}
sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Asy-Syura: 38)
Artinya, mereka tidak pernah memutuskan sesuatu urusan melainkan terlebih dahulu mereka musyawarahkannya di antara sesamanya agar masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya. Seperti dalam menghadapi urusan perang dan lain sebagainya yang penting, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ}
dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) hingga akhir ayat.
Karena itulah Rasulullah Saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabat saat menghadapi peperangan dan urusan penting lainnya, sehingga dengan demikian hati mereka merasa senang dan lega.
Hal yang sama telah dilakukan oleh Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. saat menjelang ajalnya karena tertusuk, ia menjadikan urusan kekhalifahan sesudahnya agar dimusyawarahkan di antara sesama mereka untuk memilih salah seorang dari enam orang berikut, yaitu Usman, Ali, Talhah, Az-Zubair, Sa'd, dan Abdur Rahman ibnu Auf; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka. Maka akhirnya pendapat semua sahabat sepakat menunjuk sahabat Usman ibnu Affan r.a. sebagai khalifah sesudah Umar r.a.
{وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Asy-Syura: 38)
Yang demikian itu terealisasi dengan berbuat kebaikan kepada makhluk Allah yang paling dekat dengan mereka dari kalangan keluarga mereka, lalu berikutnya adalah orang-orang yang dekat dengan mereka.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ}
Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. (Asy-Syura: 39)
Yakni mereka mempunyai kekuatan untuk membela diri dari orang-orang yang berbuat aniaya dan memusuhi mereka. Mereka bukanlah orang-orang yang lemah, bukan pula orang-orang yang hina, bahkan mereka mempunyai kemampuan untuk membalas perbuatan orang-orang yang berlaku kelewat batas terhadap diri mereka. Sekalipun sifat mereka demikian, mereka selalu memberi maaf (yakni gemar memberi maaf), walaupun mereka mampu untuk membalas. Seperti halnya yang dikatakan oleh Nabi Yusuf a.s. kepada saudara-saudaranya yang pernah hampir membunuhnya:
{لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ}
Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu). (Yusuf: 92)
Padahal Yusuf a.s. mampu menghukum mereka dan membalas perbuatan mereka terhadap dirinya dengan balasan yang setimpal. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap delapan puluh orang yang berniat akan membunuhnya pada tahun Perjanjian Hudaibiyyah. Mereka turun dari Bukit Tan'im; dan setelah mereka dapat dikuasai, maka Rasulullah Saw. memberi maaf dan membebaskan mereka, padahal beliau Saw. mampu menghukum mereka.
Hal yang sama telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap Gauras ibnul Haris, ketika ia hendak membunuh beliau saat pedang beliau dicabut, sedangkan beliau dalam keadaan tidur. Lalu beliau terbangun, sedangkan pedangnya telah berada di tangan Gauras dalam keadaan terhunus. Maka beliau Saw. membentaknya sehingga pedang itu terjatuh dari tangannya, dan beliau memungut pedangnya. Kemudian beliau Saw. memanggil semua sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang apa yang telah dilakukan Gauras, dan beliau menceritakan kepada mereka bahwa beliau telah memaafkannya.
Rasulullah Saw. telah memaafkan pula perbuatan Labid ibnul A'sam yang telah menyihirnya; beliau tidak menangkapnya dan tidak pula mengecamnya, padahal beliau mampu untuk berbuat itu terhadapnya. Beliau telah memaafkan seorang wanita Yahudi yang bernama Zainab (saudara perempuan Marhab, seorang Yahudi dari Khaibar yang telah dibunuh oleh Mahmud ibnu Salamah). Wanita itu telah meracuni kaki kambing yang disajikan kepada Rasulullah Saw. pada hari Perang Khaibar. Lalu kaki kambing itu dapat berbicara dan menceritakan kepada beliau Saw. bahwa ada racun padanya. Maka beliau Saw. memanggil wanita Yahudi itu, dan ia mengakui perbuatannya. Nabi Saw. menanyainya, "Apakah yang mendorongmu berbuat demikian?" Wanita itu menjawab, "Aku bermaksud ingin menguji. Jika engkau benar seorang nabi, maka racun itu tidak membahayakan dirimu. Dan jika engkau bukan seorang nabi, maka kami akan terbebas darimu." Maka Nabi Saw. melepaskannya. Tetapi ketika Bisyr ibnul Barra r.a. mati karena racun itu (karena ia ikut memakannya bersama Rasulullah Saw.), maka beliau Saw. menghukum mati wanita Yahudi itu. Hadis-hadis dan atsar-atsar yang menceritakan kejadian ini cukup banyak.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100