Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 115

Al-Baqarah, ayat 115

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Makna ayat ini —hanya Allah yang mengetahuinya— merupakan penghibur bagi Rasulullah Saw. dan para sahabat yang telah diusir dari Mekah dan berpisah meninggalkan masjid dan tempat salat mere­ka. Pada mulanya Rasulullah Saw. salat di Mekah menghadap ke arah Baitul Maqdis, sedangkan Ka'bah berada di hadapannya. Ketika beliau Saw. tiba di Madinah, beliau masih menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. memalingkannya ke arah Ka'bah. Karena itu, Allah Swt. berfirman:

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Abu Ubaid Al-Qasim ibnu SalSm telah meriwayatkan di dalam kitab Nasikh wal Mansukh, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Juraij dan U§man ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa bagian per­mulaan dari Al-Qur'an yang di-mansukh bagi kami menurut apa yang diceritakan kepada kami —hanya Allah Yang lebih mengetahui­adalah mengenai masalah kiblat.

Allah Swt. berfirman:

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Maka Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam salat­nya dan meninggalkan arah Baitul 'Atiq (Ka'bah). Kemudian Allah me-nasakh-nya dan memalingkannya ke arah Baitul yaitu me­lalui firman-Nya:

Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajah­mu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu sekalian berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 150)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengata­kan bahwa permulaan ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah me­ngenai masalah kiblat. Hal ini terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah yang penduduknya antara lain adalah orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya), hingga orang-orang Yahudi gembira meli­hat hal itu. Rasulullah Saw. menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya) selama belasan bulan, padahal Rasulullah Saw. sendiri lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. (yaitu Ka'bah). Karena itu, beliau Saw. selalu menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah me­nurunkan firman-Nya:

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit —sampai dengan firman-Nya— maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144-150)

Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka berkata, "Apakah gerangan yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang pada mulanya mereka telah berkiblat kepada­nya?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqa­rah: 142)

Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115). Yang dimaksud dengan wajah Allah ialah kiblat Allah, yakni ke mana pun kamu menghadap, di situlah kiblat Allah, baik ke arah timur ataupun ke arah barat.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah" (Al­Baqarah: 115), yakni di mana pun kalian berada, maka menghadaplah kalian ke arah kiblat yang kalian sukai, yaitu Ka'bah.

Sesudah mengetengahkan riwayat a§ar di atas, Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas sebuah a§ar mengenai pe-nasakh‑an kiblat ini melalui Ata, dari Ibnu Abbas. Telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Ata Al-Khurrasani, Ikrimah, Qatadah, As­Saddi, dan Zaid ibnu Aslam hal yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya bahkan ada yang mengata­kan bahwa Allah menurunkan ayat ini sebelum ada kewajiban meng­hadap ke arah Ka'bah. Sesungguhnya Allah Swt. menurunkan ayat ini hanya untuk memberitahukan kepada Nabi-Nya dan para sahabatnya bahwa dalam salatnya mereka boleh menghadapkan wajah ke arah mana pun yang mereka sukai di antara arah timur dan barat. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali mereka menghadapkan wajahnya ke suatu arah mana pun melainkan Allah Swt. berada di arah tersebut, mengingat semua arah timur dan barat hanyalah milik-Nya belaka; dan bahwa tiada suatu arah pun melainkan Allah Swt. selalu berada padanya, seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:

Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. (Al-Mujaadilah: 7)

Mereka mengatakan bahwa setelah itu keharusan yang ditetapkan atas mereka adalah menghadap ke arah Masjidil Haram. Demikianlah me­nurut keterangan Ibnu Jarir. Mengenai penjelasan yang mengatakan bahwa tiada suatu tempat pun melainkan Allah selalu berada pada­nya; jika yang dimaksudkan adalah ilmu Allah Swt., berarti benar. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah Zat-Nya, maka tidak benar, ka­rena Zat Allah tidak dapat dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk­Nya (yakni Allah tidak membutuhkan tempat). Mahasuci Allah dari hal tersebut, dan Mahatinggi Dia dengan ketinggian yang setinggi­tingginya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, bahkan ayat ini diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya sebagai izin dari­Nya boleh menghadap ke arah mana pun —baik ke arah timur atau­pun ke arah barat— dalam salat sunatnya; juga dalam perjalanannya, ketika perang sedang berkobar, dan dalam keadaan yang sangat me­n alcutk an.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik alias Ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Umar, bah­wa ia pernah salat menghadap ke arah mana unta kendaraannya menghadap, lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mela­kukan hal itu berdasarkan takwil ayat berikut:

maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Turmu2i, dan Imam Nasai serta Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan lafaz seperti terse-but di atas. Asal hadis ini berada di dalam kitab Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) melalui hadis Ibnu Umar dan Amir ibnu Rabi'ah, tetapi tanpa menyebutkan ayat.

Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Nafi', dari Ibnu Umar r.a. disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai sa­lat Khauf, ia menggambarkan (memperagakan)nya. Kemudian ia me­ngatakan, "Apabila keadaan semakin menakutkan, maka mereka salat dengan berjalan kaki, ada pula yang berkendaraan, ada yang meng­hadap ke arah kiblat ada pula yang tidak menghadap ke arah kiblat." Selanjutnya Nafi' mengatakan, "Aku merasa yakin bahwa Ibnu Umar tidak sekali-kali menyebutkan hal ini melainkan dari Nabi Saw."

Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur darinya, tidak membedakan antara perjalanan biasa dan perjalanan untuk melakukan perang. Keduanya memang bersumber dari dia, ia memperbolehkan salat tatawwu' di atas kendaraan (dalam dua keadaan tersebut). Pen­dapat ini dianut oleh Imam Abu Hanifah, lain halnya dengan Imam Malik dan jamaahnya yang berpendapat berbeda. Sedangkan Abu Yu­suf dan Abu Sa'id Al-Astakhri memilih pendapat boleh melakukan salat sunat di atas kendaraan ketika di Mesir. Pendapat ini diriwayat­kan oleh Abu Yusuf melalui Anas ibnu Malik r.a., tetapi Abu Ja'far , At-Tabari memilih pendapat ini dan pendapat yang membolehkannya bagi orang yang berjalan kaki.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama yang lainnya lagi mengata­kan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang buta sama sekali akan arah kiblat hingga mereka tidak mengetahui mana arahnya, lalu mereka melakukan salatnya menghadap ke arah yang berbeda-beda. Maka Allah Swt. berfirman, "Dan kepunyaan Akulah timur dan barat itu. Maka ke arah mana pun kalian mengha­dapkan wajah kalian, di situlah terdapat wajah-Ku yang merupakan kiblat kalian; hal ini sebagai pemberitahuan buat kalian bahwa salal kalian hams tetap dilangsungkan."

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah men­ceritakan kepada kami Abur Rabi' As-Samman, dari Asim ibnu Ubai­dillah, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, dari ayahnya yang menceritakan:

Kami pernah bersama Rasulullah Saw. di suatu malam yang ge­lap gulita dan kami turun istirahat di suatu tempat, lalu sese­orang mulai mengambil batu-batu untuk membuat masjid (tempat sujud) untuk salat. Ketika pagi harinya, ternyata jelas bagi kami bahwa kami telah salat bukan menghadap ke arah kiblat. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tadi ma-lam salat bukan menghadap ke arah kiblat." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah." (Al-Baqarah: 115), hingga akhir ayat.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula hadis yang semisal melalui Sufyan ibnu Waki', dari ayahnya, dari Abur Rabi' As-Samman. Imam Turmudzi meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Gailan, dari Wa­ki'; sedangkan Ibnu Majah, dari Yahya ibnu Hakim, dari Abu Daud, dari Abur Rabi' As-Samman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, dari Sa'id ibnu Sulaiman, dari Ar-Rabi' As-Samman yang nama aslinya ialah Asy'a§ ibnu Sa'id Al-Basri, dia orang yang claif hadisnya. Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan, tetapi sanadnya tidaklah demikian, dan kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Al-Asy'a§ As­Samman, sedangkan Asy'as dinilai lemah hadisnya. Menurut kami (penulis), gurunya juga (yaitu Asim) dinilai lemah; bahkan menurut Imam Bukhari hadisnya dinilai munkar. Ibnu Mu'in mengatakan bah­wa dia orangnya daif, hadisnya tidak dapat dijadikan hujah. Ibnu Hib­ban mengatakan bahwa hadisnya berpredikat matruk.

Sesungguhnya telah diriwayatkan dari jalur yang lain melalui Ja­bir. Untuk itu, Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayat­kan di dalam tafsir ayat ini bahwa telah menceritakan kepada kami Is­mail ibnu Ali ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali ibnu Syabib, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Ab­dullah ibnul Hasan yang mengatakan bahwa di dalam kitab catatan ayahnya is pernah menemukan hal berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Al-Azrami, dari Ata ibnu Jabir yang men­ceritakan hadis berikut:

Rasulullah Saw. mengutus suatu pasukan yang aku termasuk sa­lah satu anggotanya, maka kami mengalami malam yang gelap gulita hingga kami tidak mengetahui arah kiblat. Lalu segolong­an orang dari kami berkata,"Sesungguhnya kami telah mengeta­hui arah kiblat mengarah ke sebelah ini, yakni sebelah utara." Maka mereka melakukan salat dan membuat garis-garis sebagai tandanya; ketika mereka berada di pagi hari dan matahari terbit, ternyata garis-garis tersebut bukan menghadap ke arah kiblat. Ketika kami kembali dari perjalanan misi kami, maka kami ta­nyakan hal itu kepada Nabi Saw., tetapi beliau diam (tidak men­jawab), dan Allah menurunkan firman-Nya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian mengha­dap, di situlah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).

Kemudian Al-I-lafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ubaidillah Al-Azrami, dari Ata, dari Jabir dengan lafaz yang sama.

Imam Daruqutni mengatakan, telah dibacakan kepada Abdullah ibnu Abdul Aziz, sedangkan aku mendengarkannya. Si pembaca hadis mengatakan, telah menceritakan kepada kalian Daud ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid dari Muhammad ibnu Salim, dari Ata, dari Jabir yang menceritakar, "Ka­mi pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, kemudi­an awan menutupi (pandangan kami) hingga kami kebingungan. Ma­ka kami berbeda pendapat dalam masalah kiblat, dan masing-masing orang dari kami melakukan salat dengan menghadap ke arahnya ma­sing-masing, dan seseorang di antara kami membuat garis di depan­nya sebagai tanda untuk mengetahui tempat kami menghadap. Kemu­dian kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., dan ternyata be­liau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi salat kami, lalu be­liau Saw. bersabda, "Salat kalian telah lewat."

Kemudian Imam Daruqutni mengatakan bahwa demikianlah apa yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Salim. Sedangkan selain Imam Daruqutni meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami, dari Ata, tetapi keduanya (Muhammad ibnu Salim dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Azrami) berpredikat

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas:

Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirim suatu pasukan sa­riyyah, lalu mereka tertutup oleh kabut hingga mereka tidak mendapat petunjuk untuk mengetahui arah kiblat. Maka mereka salat dengan menghadap ke arah selain kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka setelah matahari cerah, bahwa mereka salat meng­hadap ke arah selain kiblat. Ketika mereka datang kepada Ra­sulullah Saw., mereka menceritakan hal itu kepadanya, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini, yaitu: "Dan kepunyaan Allah­lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di si­tulah wajah Allah" (Al-Baqarah: 115).

Semua sanad yang telah diketengahkan di atas mengandung ke-daif­an, barangkali sebagian darinya memperkuat sebagian yang lain.

Mengulangi salat bagi orang yang keliru (menghadap bukan ke arah kiblat), sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di ka­langan para ulama. Semua hadis yang telah dikemukakan merupakan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa coda itu tidak ada.

Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) diturunkan karena masalah Raja Najasyi, se­perti yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Basysyar kepada kami, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'ai ibnu Hisyam, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Qatadah, bahwa Nabi Saw. per­nah bersabda, "Sesungguhnya seorang saudara kalian telah meninggal dunia, maka salatkanlah dia oleh kalian." Mereka bertanya, "Apakah kami akan menyalatkan seorang lelaki yang bukan muslim?" Qatadah melanjutkan riwayatnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya:

Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka beren­dah Kati kepada Allah. (Ali Imran: 199)

Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka mengatakan, "Sesung­guhnya dia (Raja Najasyi) tidak salat menghadap ke arah kiblat.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di.situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Hadis ini berpredikat garib. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya Raja Najasyi salat menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum sampai kepadanya pe-nasakh-an yang memerintahkan beralih menghadap ke arah Ka'bah, menurut riwayat yang diketengahkan oleh Al-Qurtubi melalui Qatadah. Imam Qurtubi menyebutkan pula bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah Saw. menyalatkannya. Maka ha­dis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengatakan di­syariatkannya salat gaib. Selanjutnya Imam Qurtubi mengatakan, hal ini merupakan suatu kekhususan menurut pendapat di kalangan kami, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, Rasulullah Saw. menyaksikan kematiannya. Di saat Ra­ja Najasyi meninggal dunia, maka bumi dilipat untuk Rasulullah Saw. hingga beliau dapat menyaksikannya.

Kedua, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, tiada seorang pun yang menyalatkannya di negeri tempat tinggalnya. Pendapat ini di­pilih oleh Ibnul Arabi. Tetapi menurut Imam Qurtubi, mustahil bila ada seorang raja muslim, sedangkan di kalangan kaumnya tiada se­orang pun yang seagama dengannya. Ibnul Arabi menjawab sanggah­an tersebut, barangkali di kalangan mereka masih belum disyariatkan salat mayat. Jawaban ini cukup baik.

Ketiga, Nabi Saw. sengaja menyalatkannya dengan maksud un­tuk memikat hati raja-raja lainnya.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam ki­tab tafsimya melalui hadis Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Ra­sulullah Saw. pernah bersabda:

Di antara timur dan barat terdapat kiblat bagi penduduk Madi­nah, penduduk Syam, dan penduduk Irak.

Hadis ini mempunyai kaitan dengan bab ini, dan telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Ma'syar yang nama aslinya ialah Nujaih ibnu Abdur Rahman As­Saddi Al-Madani dengan lafaz yang sama, yaitu:

Di antara timur dan barat terdapat kiblat.

Imam Turmudzi mengatakan bahwa hadis ini telah diriwayatkan mela­lui berbagai jalur dari Abu Hurairah. Sebagian kalangan ahlul ilmi mengenai diri Abu Ma'syar dari segi hafalan hadisnya (yakni hafalan­nya lemah).

Kemudian Imam Turmudzi mengatakan, telah menceritakan kepa­daku Al-Hasan ibnu Bakar Al-Mawarzi, telah menceritakan kepada kami Al Ma’la ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abdul­lah ibnu Ja'far Al-Makhzumi, dari Utsman ibnu Muhammad ibnul Mugirah Al-Akhnas, dari Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dan Nabi Saw. yang telah bersabda:

Di antara timur dan barat terdapat kiblat.

Kemudian Imam Turmudzi mengatakan, hadis ini berpredikat hasan sahih. Telah diriwayatkan dari Imam Bulchari bahwa dia telah menga­takan hadis ini lebih kuat dan lebih sahih daripada hadis Abu Ma'- syar.

Imam Turmudzi mengatakan, telah diriwayatkan hadis berikut oleh bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, yaitu:

Di antara timur dan barat terdapat kiblat.

Di antara mereka adalah Umar ibnul Khattab, Ali, dan Ibnu Abbas radiyallahu ' anhum. Ibnu Umar r.a. pernah mengatakan:

Apabila engkau jadikan arah barat di sebelah kananmu dan arah timur di sebelah kirimu, maka di antara keduanya adalah arah kiblat, jika engkau hendak menghadap ke arah kiblat.

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepa­da kami Ya'qub ibnu Yusuf maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, dari Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni dan Imam Baihaqi. Ibnu Murdawaih mengatakan, menurut pendapat yang masyhur hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. adalah perkataan Ibnu Umar r.a. sendiri.

Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat ini (Al-Baqarah ayat 115) da­pat diinterpretasikan seperti berikut: "Ke mana pun kalian mengarah­kan wajah kalian dalam doa kalian kepada-Ku, maka di situlah terda­pat wajah-Ku; Aku akan memperkenankan doa yang kalian panjat­kan." Seperti yang diceritakan kepada kami oleh Al-Qasim- yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah men­ceritakan kepadaku Hajjaj yang mengatakan bahwa Ibnu Juraij pernah meriwayatkan dari Mujahid, ketika ayat ini diturunkan (yaitu firman­Nya):

Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Al-Mu-min: 60)

maka mereka bertanya, "Ke arah manakah kami menghadap?" Lalu turunlah firman-Nya:

Maka ke arah mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya:

Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Menge­tahui. (Al-Baqarah: 115)

Artinya, rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan mem‑
beri mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya. Firman-Nya,

"'Alimun," artinya sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui per­buatan-perbuatan mereka; tiada sesuatu pun dari amal mereka yang ti­dal( diketahui-Nya dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya, bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuanya itu (baik yang lahir maupun yang batin).

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Keajaiban Terapi Ruqyah

Tafsir Surat Al Mu’minun, ayat 99-100