Tafsir Surat Al-Hajj, ayat 28-29
{لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ (28) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ (29) }
supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat
bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada
pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan
hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).
Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: supaya
mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (Al-Hajj: 28) Yakni
manfaat untuk dunia dan akhirat mereka.
Manfaat akhirat bagi mereka ialah mendapat rida dari Allah Swt. Sedangkan
manfaat dunia ialah apa yang mereka peroleh dari hewan kurban dan perniagaan.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang, bahwa yang dimaksud dengan manfaat ialah manfaat dunia dan akhirat.
Sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain,
yaitu:
{لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ}
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)
Adapun firman Allah Swt.:
{وَيَذْكُرُوا
اسْمَ اللَّهِ [فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ] عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
الأنْعَامِ}
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas
rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
(Al-Hajj: 28)
Syu'bah dan Hasyim telah meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari Sa'id, dari Ibnu
Abbas r.a., bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari-hari belasan.
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini secara ta'liq hanya dengan
ungkapan jazm dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Mujahid, Qatadah,
Ata, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Ibrahim
An-Nakha'i yang hal ini dijadikan pegangan oleh mazhab Imam Syafii dan pendapat
yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.
قَالَ
الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَة، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ
سُلَيْمَانَ، عَنْ مُسْلِمٍ البَطِين، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا
الْعَمَلُ فِي أَيْامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ" قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: "وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ،
يَخْرُجُ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ
بِشَيْءٍ".
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ur'urah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sulaiman, dari Muslim
Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: "Tiada suatu amal perbuatan di hari mana pun yang lebih utama
daripada amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya, "Tidak pula berjihad di
jalan Allah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak pula berjihad di jalan Allah,
terkecuali seorang lelaki yang mengorbankan jiwa dan hartanya (di jalan
Allah) dan yang pulang hanya namanya saja.”
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah telah
meriwayatkan hal yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
garib sahih. Dalam bab ini terdapat pula riwayat lain dari Ibnu Umar, Abu
Hurairah, Abdullah ibnu Amr, dan Jabir.
Saya telah meneliti jalur-jalur riwayat tersebut dan membahasnya secara
khusus dalam satu juz (bendel), antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا
عَفَّان، أَنْبَأَنَا أَبُو عَوَانة، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
"ما مِنْ أَيْامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبَّ إِلَيْهِ العملُ فِيهِنَّ،
مِنْ هَذِهِ الْأَيْامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِمْ مِنَ التَّهْلِيلِ
وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ"
telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu
Uwwanah, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu hari pun yang lebih besar
di sisi Allah, dan yang lebih disukai untuk dilakukan amal di dalamnya selain
hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah oleh kalian di hari-hari ini
membaca tahlil, takbir, dan tahmid.
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula melalui jalur lain, dari Mujahid dari Ibnu
Umar dengan lafaz yang semisal.
Imam Bukhari mengatakan, bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar
di hari-hari belasan (dari bulan Zul Hijjah) ini, maka keduanya bertakbir dan
orang-orang yang ada di pasar ikut bertakbir bersama takbir keduanya.
Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui Jabir secara marfu' bahwa
hari-hari belasan inilah yang disebutkan oleh Allah dalam sumpah-Nya melalui
firman-Nya:
{وَالْفَجْرِ
وَلَيَالٍ عَشْرٍ}
Demi fajar dan malam-malam yang sepuluh. (Al-Fajr: 1-2)
Sebagian ulama Salaf mengatakan, sesungguhnya hari-hari tersebut adalah
hari-hari yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
{وَأَتْمَمْنَاهَا
بِعَشْرٍ}
dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam (lagi).
(Al-A'raf: 142)
Di dalam kitab Sunan Imam Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
melakukan puasa di hari-hari sepuluh ini.
Hari-hari yang sepuluh ini mencakup hari Arafah yang telah ditetapkan di
dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Qatadah, bahwa:
سُئِلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ،
فَقَالَ: "أَحْتَسِبْ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَالْآتِيَةَ"
Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai mengerjakan puasa di hari 'Arafah,
maka beliau Saw. menjawab, "Saya menduga bahwa Allah akan menghapuskan dosa
tahun yang silam dan tahun yang akan datang."
Sepuluh hari ini mencakup pula Hari Raya Kurban yang merupakan hari haji
akbar. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan bahwa hari haji akbar itu adalah
hari yang paling utama di sisi Allah.
Pada garis besarnya sepuluh hari ini dapat dikatakan hari-hari yang paling
utama dalam satu tahunnya, sesuai dengan apa yang telah disebutkan di dalam
hadis. Keutamaan sepuluh hari ini melebihi keutamaan sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadan; karena dalam sepuluh hari Zul Hijjah ini disyariatkan di dalamnya
hal-hal yang juga disyariatkan di dalam sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadan, seperti salat, puasa, sedekah, dan lain-lainnya. Tetapi sepuluh hari
Zul Hijjah ini mempunyai keistimewaan yang melebihinya, yaitu ibadah fardu haji
dilakukan di dalamnya.
Menurut pendapat yang lain, sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan lebih
utama, karena di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang nilainya lebih utama
daripada seribu bulan.
Ulama lainnya berpendapat pertengahan. Mereka mengatakan bahwa hari-hari
belasan Zul Hujah lebih utama, sedangkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadan
lebih utama. Dengan demikian, pendapat ini menggabungkan semua dalil yang ada
mengenai keduanya.
Pendapat yang kedua tentang hari-hari yang ditentukan. Al-Hakam telah
meriwayatkan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa hari-hari yang ditentukan
adalah Hari Raya Kurban dan tiga hari sesudahnya. Hal yang sama telah
diriwayatkan melalui Ibnu Umar dan Ibrahim An-Nakha'i. Pendapat inilah yang
dipegang oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dalam suatu riwayat yang bersumber
darinya.
Pendapat ketiga. Imam ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Madini, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajian, telah
menceritakan kepadaku Nafi', bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan, "Hari-hari yang
ditentukan dan hari-hari yang berbilang, jumlah keseluruhannya ada empat hari,
yaitu hari-hari yang ditentukan ialah Hari Raya Kurban dan dua hari sesudahnya.
Sedangkan hari-hari yang berbilang ialah tiga hari sesudah Hari Raya Kurban."
Sanad riwayat ini berpredikat sahih bersumber darinya. As-Saddi mengatakan
pendapat ini, dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Malik ibnu Anas.
Pendapat ini dan yang sebelumnya diperkuat oleh firman Allah Swt. yang
mengatakan:
{عَلَى
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ}
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
(Al-Hajj: 28)
Yakni saat menyembelihnya disebutkan nama Allah.
Pendapat yang keempat mengatakan, sesungguhnya hari-hari sepuluh itu ialah
hari Arafah. Hari Raya Kurban, dan sehari sesudahnya. Pendapat inilah yang
dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah.
Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Zaid ibnu Aslam, dari
ayahnya yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari Arafah, Hari
Raya Kurban, dan hari-hari Tasyriq.
*******************
Firman Allah Swt.:
{عَلَى
مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ}
atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.
(Al-Hajj: 28)
Yakni unta, sapi, dan kambing. Seperti yang telah dijelaskan di dalam tafsir
surat Al-An'am, melalui firman-Nya:
{ثَمَانِيَةَ
أَزْوَاجٍ} الْآيَةَ
(yaitu) delapan binatang yang berpasangan. (Al-An'am: 143), hingga
akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ}
Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa memakan hewan
kurban hukumnya wajib. Akan tetapi, pendapat ini garib. Karena menurut
kebanyakan ulama, perintah makan kurban ini termasuk ke dalam Bab "Rukhsah
(Anjuran)." Seperti yang telah disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah
Saw. setelah menyembelih unta kurbannya, beliau memerintahkan agar dari setiap
unta yang disembelihnya diambil sepotong dagingnya, lalu beliau memasaknya dan
memakannya serta meminum kuahnya.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah berkata kepadanya, "Aku suka
makan daging hewan kurbanku." Alasannya ialah karena Allah Swt. telah berfirman:
Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28)
Ibnu Wahb mengatakan bahwa ia pernah menanyakan hal tersebut kepada Al-Lais,
dan ternyata Al-Lais mengatakan hal yang sama dengan Malik.
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim sehubungan
dengan makna firman-Nya: Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28)
Bahwa dahulu orang-orang musyrik tidak mau memakan sebagian dari hewan
sembelihan mereka, kemudian hal tersebut diperbolehkan bagi kaum muslim. Karena
itu barang siapa yang ingin memakannya, ia boleh memakannya; dan barang siapa
yang tidak suka, boleh tidak memakannya. Telah diriwayatkan hal yang semisal
dari Mujahid dan Ata.
Hasyim telah meriwayatkan dari Husain, dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28) Bahwa ayat ini
sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:
{وَإِذَا
حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا}
dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
(Al-Maidah: 2)
Dan firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ}
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi.
(Al-Jumu'ah: 10)
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya (yakni
memakan daging hewan kurban itu boleh bagi orang yang mengorbankannya).
Orang-orang yang berpendapat bahwa daging hewan kurban itu dibagi menjadi dua
bagian —yang sebagian untuk si pemilik, sedangkan sebagian lainnya untuk
disedekahkan—menguatkan pendapat ini dengan dalil firman Allah Swt.:
{فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ}
Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)
Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa daging kurban dibagi menjadi tiga
bagian, sepertiga untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan
sepertiga yang terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah Swt.
dalam ayat lainnya yang mengatakan:
{فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ}
maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa
yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
(Al-Hajj: 36)
Keterangan mengenainya akan dibahas pada tempatnya, yaitu saat menafsirkan
ayat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ}
orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)
Ikrimah mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang yang terdesak oleh
kebutuhan dan tampak pada dirinya tanda sengsara; keadaannya miskin, tetapi
tidak mau meminta-minta demi menjaga kehormatan dirinya.
Menurut Mujahid, ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta.
Sedangkan Qatadah berpendapat bahwa makna yang dimaksud ialah orang yang
menderita penyakit menahun.
Dan Muqatil mengatakan, maknanya yaitu orang yang tuna netra.
*******************
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ
لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ}
Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan
mereka. (Al-Hajj: 29)
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang
dimaksud ialah melepaskan ihram dengan bercukur, memakai pakaian biasa, memotong
kuku, dan lain-lainnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ata dan Mujahid, dari Ibnu Abbas.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Muhammad ibnu Ka'b
Al-Qurazi.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna fiman-Nya:
Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka.
(Al-Hajj: 29) Bahwa yang dimaksud dengan tafas ialah manasik-manasik
haji.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيُوفُوا
نُذُورَهُمْ}
dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (Al-Hajj:
29)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hendaklah orang
yang bersangkutan menyembelih kurban yang dinazarkannya.
Ibnu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.
(Al-Hajj: 29) Yakni nazar haji dan menyembelih kurban, serta segala sesuatu
yang dinazarkan seseorang dalam ibadah hajinya.
Ibrahim ibnu Maisarah telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka
(Al-Hajj: 29) Yaitu menyembelih hewan-hewan kurban mereka.
Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka
(Al-Hajj: 29) Maksudnya, semua nazar dalam waktu tertentu.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yakni ibadah haji
mereka.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Abu Hatim.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan sehubungan
dengan firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka
(Al-Hajj: 29) Yakni nazar-nazar haji.
Semua orang yang telah memasuki haji diharuskan mengerjakan tawaf di
Baitullah, sa'i di antara Safa dan Marwah, wuquf di Arafah dan
Muzdalifah, dan melempar jumrah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan
kepada mereka untuk mengerjakannya. Telah diriwayatkan pula dari Imam Malik hal
yang semisal dengan pendapat ini.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلْيَطَّوَّفُوا
بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ}
dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah). (Al-Hajj: 29)
Mujahid mengatakan, makna yang dimaksud ialah tawaf wajib di Hari Raya
Kurban.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami
Hammad, dari Abu Hamzah yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata
kepadanya, "Apakah engkau pernah membaca surat Al-Hajj? Yang di dalamnya
terdapat firman Allah Swt. yang mengatakan: dan hendaklah mereka melakukan
tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) "Maka
sesungguhnya akhir dari manasik haji itu ialah tawaf di Baitullah Al-'Atiq."
Menurut saya, memang demikianlah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah
Saw. Karena sesungguhnya setelah beliau kembali ke Mina di Hari Raya Kurban,
beliau mulai melempar jumrah. Beliau melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil.
Kemudian menyembelih kurbannya dan mencukur rambutnya, setelah itu beliau
berangkat dan melakukan tawaf ifadah di Baitullah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Ibnu Abbas bahwa ia
memerintahkan kepada orang-orang agar akhir dari ibadah haji mereka adalah di
Baitullah, yaitu dengan melakukan tawaf ifadah di sekelilingnya.
Hanya ia memberikan kemurahan (dispensasi) kepada wanita yang sedang
berhaid.
Firman Allah Swt.:
{بِالْبَيْتِ
الْعَتِيقِ}
di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29)
Di dalam makna ayat ini terkandung dalil bagi orang yang mengatakan bahwa
melakukan tawaf diwajibkan di luar Hijir Isma'il. Karena Hijir Isma'il pada
asalnya termasuk bagian dari Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang
Quraisy mengeluarkannya dari bangunan Ka'bah saat mereka merenovasi Ka'bah
karena kekurangan biaya. Karena itulah maka Rasulullah Saw. dalam tawafnya
selalu berada di luar Hijir Isma'il, dan beliau mengatakan bahwa Hijir Isma'il
termasuk bagian dalam Ka'bah. Rasulullah Saw. tidak mengusap kedua rukun Syam
Ka'bah karena keduanya masih belum sempurna tidak sesuai dengan bangunan Nabi
Ibrahim yang terdahulu.
Karena itulah Ibnu Abu Hatim mengatakan dalam riwayatnya, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Al-Adani, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Hajar, dari seorang lelaki,
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, yaitu
firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua
itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Maka Rasulullah Saw. tawaf di luar Hijir
Isma'il.
Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua
itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Bahwa Ka'bah disebutkan Al-'Atiq
karena ia merupakan rumah yang pertama dibangun untuk tempat ibadah manusia
di bumi ini.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Telah diriwayatkan dari Ikrimah ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya
Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena diselamatkan dari tenggelam saat
banjir besar di zaman Nabi Nuh.
Khasif mengatakan bahwa Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena belum
pernah ada seorang pun yang bersikap sewenang-wenang terhadapnya dapat beroleh
kemenangan.
Ibnu Abu Nujaih dan Lais telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ka'bah
dimerdekakan oleh Allah dari semua orang yang sewenang-wenang (tirani), mereka
sama sekali tidak dapat menguasainya. Hal yang sama telah dikatakan oleh
Qatadah.
Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Humaid, dari Al-Hasan ibnu
Muslim, dari Mujahid, bahwa dinamakan Baitul 'Atiq karena tiada seorang
pun yang berniat jahat terhadapnya melainkan pasti binasa.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnuz Zubair
yang mengatakan, "Sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena Allah
Swt. telah memerdekakannya dari semua orang yang bersikap tirani."
قَالَ
التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، أخبرني اللَّيْثُ،
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا سُمِّيَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ؛
لِأَنَّهُ لَمْ يَظْهَرْ عَلَيْهِ جَبَّارٌ".
Imam Turmuzi mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, dari Abdur Rahman ibnu
Khalid, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad ibnu Urwah, dari Abdullah ibnuz Zubair
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ka'bah
dinamakan Baitul 'Atiq karena belum pernah ada seorang tirani pun berkuasa
terhadapnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Sahl
Al-Muharibi, dari Abdullah ibnu Saleh dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir
mengatakan, sesungguhnya hadis ini sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa
hadis ini hasan garib. Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui
jalur lain dari Az-Zuhri secara mursal.