Tafsir Surat An-Nur, ayat 11
{إِنَّ
الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ
هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ وَالَّذِي
تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ (11) }
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu adalah dari golongan kalian juga. Janganlah kira bahwa berita bohong
itu buruk bagi kahan, bahkan ia baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab
yang besar.
Ayat ini hingga sembilan ayat berikutnya yang jumlah seluruhnya adalah
sepuluh ayat diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin r.a. ketika
ia dituduh berbuat serong oleh sejumlah orang yang menyiarkan berita bohong dari
kalangan orang-orang munafik, padahal berita yang mereka siarkan itu bohong dan
dusta belaka serta buat-buatan mereka sendiri. Peristiwa tersebut membuat Allah
cemburu (murka) demi Siti Aisyah dan Nabi-Nya. Maka Allah Swt. menurunkan wahyu
yang membersihkan kehormatan Siti Aisyah demi memelihara kehormatan Rasulullah
Saw. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِنَّ
الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
segolongan kalian juga, (An-Nur: 11)
Yakni sejumlah orang dari kalangan kalian sendiri; bukan satu atau dua orang,
melainkan segolongan orang. Orang yang pertama menyebar isu keji ini adalah
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dialah orang yang
mempunyai prakarsa menyebarkan isu dusta itu sehingga ada sebagian dari kalangan
kaum muslim yang termakan dan terhasut oleh isu yang disebarkannya, yang
akhirnya menjadi bahan pergunjingan mereka. Sedangkan sebagian kaum muslim
lainnya tidak mempunyai tanggapan apa pun terhadap peristiwa itu. Keadaan ini
berlanjut sampai hampir satu bulan lamanya. Akhirnya turunlah ayat-ayat
Al-Qur'an yang menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Keterangan mengenai
kisah ini secara rinci didapat di dalam hadis-hadis sahih.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku
Sa'id ibnul Musayyab dan Urwah ibnuzZubair, Alqamah ibnu Waqqas, serta
Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud tentang kisah Aisyah istri Nabi
Saw. saat para penyiar berita bohong melemparkan tuduhan mereka terhadapnya,
lalu Allah membersihkan nama Siti Aisyah r.a. melalui wahyu-Nya. Perawi
mengatakan bahwa semua sumber menceritakan kepadaku sejumlah hadis mengenai
kisah Siti Aisyah ini. Tetapi sebagian dari mereka ada yang lebih rinci dalam
mengemukakan kisahnya dan lebih kuat daripada lainnya. Aku telah menghafal semua
hadis yang diriwayatkan masing-masing dari mereka yang bersumber dari Siti
Aisyah. Pada garis besarnya sebagian dari kisah mereka membenarkan sebagian
lainnya.
Mereka mengisahkan bahwa Siti Aisyah r.a. istri Nabi Saw. pernah mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. apabila hendak bepergian terlebih dahulu melakukan undian
di antara para istrinya. Maka siapa pun di antara mereka yang keluar namanya
dalam undian itu, Rasulullah Saw. membawanya pergi.
Aisyah r.a. menceritakan bahwa lalu Rasul Saw. melakukan undian di antara
kami untuk menentukan siapa yang akan menemaninya di antara kami dalam
peperangan yang akan dilakukannya. Maka keluarlah bagianku, lalu aku berangkat
bersama Rasulullah Saw. Demikian itu terjadi sesudah diturunkan ayat hijab; dan
aku dibawa di atas sekedupku dan beristirahat di dalamnya.
Maka kami berangkat, dan manakala Rasulullah Saw. telah menyelesaikan
tugasnya dalam perang itu, dan kamipun kembali serta berada di dekat Madinah,
maka di suatu malam beliau menyerukan kepada rombongan untuk berangkat. Ketika
seruan berangkat telah dikumandangkan aku bangkit dan berjalan sampai melewati
barisan pasukan, setelah kupenuhi hajatku, maka aku kembali ke sekedupku dan aku
memegang dadaku, ternyata kalung manik-manikku telah terputus dan terjatuh, maka
aku kembali ke tempat aku buang hajat dalam rangka mencari kalung itu, sehingga
aku terlambat karena mencarinya.
Lalu datanglah rombongan yang membawaku dan mereka langsung mengangkat
sekedupku lalu menaikkannya ke punggung unta yang menjadi kendaraanku, sedang
mereka mengira bahwa aku berada di dalamnya.
Aisyah mengatakan, bahwa kaum wanita pada saat itu bertubuh kurus-kurus,
tidak berat dan tidak gemuk karena daging, mereka hanya makan sedikit. Maka kaum
yang mengangkat sekedupku tidak merasa aneh dengan keringanan sekedupku ketika
mereka mengangkatnya dan menaikkannya ke punggung unta. Sedang aku adalah
seorang wanita yang berusia sangat muda. Mereka langsung memberangkatkan untaku
dan melanjutkan perjalanannya.
Aku baru menemukan kalungku setelah pasukan melanjutkan perjalanannya, dan
aku mendatangi tempat mereka, yang ternyata sudah kosong tiada seorangpun yang
tertinggal. Maka aku menuju ke tempat aku beristirahat dengan harapan bahwa kaum
akan merasa kehilanganku lalu akan kembali menjemputku.
Ketika aku sedang duduk di tempat peristirahatanku itu tiba-tiba mataku
mengantuk akhirnya aku tertidur. Dan tersebutlah bahwa Safwan ibnul Mu'attal
Az-Zakwani beristirahat di belakang pasukan, dan dia melanjutkan perjalanannya
di malam hari, lalu ia sampai ke tempat aku berada, dan dia melihat sosok
manusia yang sedang tidur dalam kegelapan malam.
Ia mendatangiku dan mengenalku ketika dia melihatku, karena dia pernah
melihatku sebelum diturunkan ayat yang memerintahkan berhijab, dan aku terbangun
ketika mendengar ucapan istirja'-nya (kalimat Inna Lillahi wainna
ilaihi raji'un) begitu ia mengenalku.
Maka dengan segera aku tutupi wajahku dengan kain jilbabku; demi Allah dia
tidak berkata kepadaku barang sepatah katapun dan aku tidak pernah mendengar
ucapan yang keluar darinya selain dari bacaan istirja'-nya tadi saat dia
merundukkan unta kendaraannya, dan unta kendaraannya merundukkan kaki depannya
lalu aku menaikinya.
Safwan berangkat seraya menuntun unta kendaraannya hingga kami sampai ke
tempat pasukan berada sesudah mereka turun untuk istirahat di waktu tengah hari,
maka binasalah orang yang binasa berkenaan dengan peristiwa yang kualami itu.
Dan orang yang menjadi sumber berita bohong itu adalah Abdullah ibnu Ubay ibnu
Salul, dialah yang berperan bagi tersiarnya berita tersebut.
Kami tiba di Madinah dan saya sakit selama kurang lebih satu bulan sejak
kedatangan saya itu, sedangkan orang-orang ramai membicarakan tentang isu yang
disebarkan oleh para penyiar berita bohong, dan saya sendiri tidak merasakan
adanya berita bohong itu.
Dalam sakit itu saya merasakan bahwa Rasulullah Saw. berbeda dengan
kebiasaannya. Saya tidak melihat lagi kasih sayang beliau saat saya sedang
sakit. Melainkan beliau hanya masuk dan bersalam serta mengucapkan,
'Bagaimanakah keadaanmu sekarang?'
Sikap tersebut membuat saya curiga dan saya tidak merasakan adanya berita
buruk yang ditujukan terhadap diri saya. Dan ketika saya telah sembuh dari
sakit, saya keluar bersama Ummu Mistah menuju ke arah Manasi tempat kami biasa
membuang hajat. Kami tidak keluar ke tempat itu melainkan hanya malam hari.
Demikian itu terjadi sebelum kami membuat kakus di dekat rumah-rumah kami. Saat
itu keadaan kami sama dengan keadaan orang-orang Arab dahulu dalam hal membuang
hajat, yaitu di tempat yang jauh dari keramaian manusia, karena kami merasa
terganggu dengan adanya kakus di dekat rumah kami.
Saya berangkat bersama Ummu Mistah. Dia adalah binti Abu Rahm ibnul Muttalib
ibnu Abdu Manaf, sedangkan ibunya adalah anak perempuan Sakhr ibnu Amir, bibi
Abu Bakar As-Siddiq. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Mistah
ibnu Asasah ibnu Abbad ibnu Abdul Muttalib.
Ketika aku bersama dengan anak perempuan Abu Rahm alias Ummu Mistah kembali
menuju ke rumahku setelah kami selesai dari urusan kami, tiba-tiba dalam
perjalanan kembali itu Ummu Mistah kain kerudungnya tersangkut. Maka ia berkata,
'Celakalah Mistah.' Saya berkata kepadanya, 'Alangkah buruknya ucapanmu itu,
kamu berani mencaci seorang lelaki yang ikut dalam Perang Badar.'
Ummu Mistah menjawab, 'Wahai saudariku, tidakkah engkau mendengar apa yang
telah dikatakannya?' Aku bertanya, 'Apakah yang telah dikatakan oleh Mistah?'
Maka Ummu Mistah menceritakan kepada saya isu yang disebarkan oleh para penyiar
berita bohong itu, sehingga sakit saya kambuh lagi dan bertambah parah.
Ketika saya sampai di rumah, Rasulullah Saw. masuk menemui saya dan
mengucapkan salam serta bersabda, 'Bagaimanakah keadaanmu?' Maka saya
berkata kepadanya, 'Izinkanlah saya menemui kedua orang tua saya.' Saya
bermaksud mengecek berita tersebut dari kedua orang tua saya, dan Rasulullah
Saw. mengizinkan saya menemui mereka.
Ketika sampai di rumah kedua orang tua saya, saya bertanya kepada ibu saya,
"Wahai ibuku, mengapa orang-orang ramai membicarakan perihal berita bohong itu?'
Ibu saya berkata, 'Wahai anakku, tenangkanlah dirimu. Demi Allah, tidak
sekali-kali ada seorang wanita yang cantik menjadi istri seorang lelaki yang
sangat mencintainya, sedangkan lelaki itu mempunyai istri-istri yang lainnya,
melainkan istri-istrinya yang lain pasti banyak mempergunjingkan
tentangnya.'
Lalu saya berkata, 'Subhanallah, orang-orang ternyata ramai
membicarakannya.' Maka malam itu saya menangis terus hingga pagi harinya tanpa
tidur, dan pada pagi harinya saya menangis lagi.
Rasulullah Saw. memanggil Ali ibnu Abu Talib dan Usamah ibnu Zaid saat wahyu
datang terlambat dengan maksud meminta pendapat dan saran keduanya tentang
menceraikan istrinya.
Usamah ibnu Zaid hanya mengisyaratkan kepada Rasulullah Saw. menurut apa yang
diketahuinya, bahwa istri beliau adalah wanita yang bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka. Dia adalah orang yang menyukai keluarga Rasulullah Saw.
Usamah mengatakan, 'Wahai Rasulullah, mengenai istrimu, sepanjang pengetahuanku
baik-baik saja' Sedangkan Ali mengatakan 'Wahai Rasulullah, Allah tidak
mempersempit dirimu, wanita selain dia banyak. Dan jika engkau tanyakan kepada
si pelayan wanita itu, tentulah dia akan membenarkan berita itu.'
Maka Rasulullah Saw. memanggil Barirah dan bersabda kepadanya, 'Hai Barirah,
apakah kamu melihat sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?'
Barirah menjawab, 'Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, saya tidak
mempunyai pendapat lain tentangnya yang saya sembunyi-sembunyikan, melainkan dia
adalah seorang wanita muda yang masih berusia remaja, dia tertidur lelap
melupakan adonan roti suaminya, lalu datanglah seseorang yang lapar dan langsung
memakannya.'
Maka hari itu Rasulullah Saw. bangkit untuk menyangkal berita dari Abdullah
ibnu Ubay ibnu Salul. Beliau bersabda di atas mimbarnya:
"يَا
مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ رَجُلٍ قَدْ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي
أَهْلِ بَيْتِي، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا، وَلَقَدْ
ذَكَرُوا رَجُلًا مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا، وَمَا كَانَ يَدْخُلُ
عَلَى أَهْلِي إِلَّا مَعِي"
Hai kaum muslim, siapakah yang mau membelaku dari sikap seorang lelaki
yang telah menyakiti diriku melalui istriku. Demi Allah, aku tidak mengetahui
perihal istriku melainkan hanya baik-baik saja. Dan sesungguhnya mereka
menyebutkan perihal seorang lelaki yang sepanjang pengetahuanku tiada lain dia
adalah orang yang baik-baik saja; dia tidak pernah masuk menemui istriku,
melainkan selalu bersamaku.
Maka Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari r.a. berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah,
akulah yang membelamu terhadap dia. Jika dia dari kalangan kabilah Aus, kami
akan penggal kepalanya. Dan jika dia dari kalangan saudara-saudara kami kabilah
Khazraj, engkau perintahkan saja kepada kami, kami pasti melakukan apa yang
engkau perintahkan.'
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa maka berdirilah Sa'd ibnu
Ubadah, pemimpin orang-orang Khazraj. Dia adalah seorang yang saleh, tetapi
karena terdorong oleh rasa hamiyyah (fanatik)nya, maka ia berkata kepada
Sa'd ibnu Mu'az, "Kamu dusta. Demi Allah kamu tidak akan dapat membunuhnya, dan
kamu tidak akan mampu membunuhnya. Seandainya dia berasal dari golonganmu, saya
tidak suka ia dibunuh."
Usaid ibnu Hudair (anak paman Sa'd ibnu Mu'az) berdiri, lalu berkata kepada
Sa'd ibnu Ubadah, "Kamu dusta. Demi Allah, kami benar-benar akan membunuhnya,
sesungguhnya kamu orang munafik yang medebat orang munafik."
Kedua golongan besar Madinah itu —yakni kabilah Aus dan kabilah Khazraj—
perang mulut, sehingga hampir saja mereka perang fisik, sedangkan Rasulullah
Saw. berdiri di atas mimbarnya seraya terus-menerus melerai kedua golongan itu,
hingga akhirnya mereka diam dan Rasulullah Saw. diam pula.
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Pada hari itu sepenuhnya aku menangis
terus tanpa berhenti dan tanpa tidur, sehingga kedua orang tuaku menduga bahwa
tangisanku akan menyebabkan hatiku pecah.
Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di dekatku, sedangkan aku masih tetap
menangis, tiba-tiba masuklah Rasulullah Saw. menemui kami, lalu bersalam dan
duduk. Sejak tersiarnya berita bohong itu Rasulullah Saw. tidak pernah duduk,
dan sudah selama sebulan wahyu tidak datang kepadanya mengenai perihal
diriku."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah duduk Rasulullah Saw.
membaca syahadat dan bersabda, "Amma ba'du. Hai Aisyah, sesungguhnya telah
sampai kepadaku berita tentang dirimu yang menyatakan anu dan anu. Maka jika
engkau bersih, tentulah Allah akan membersihkanmu. Dan jika engkau merasa
berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya.
Karena sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui dosanya dan bertobat,
niscaya Allah akan menerima tobatnya."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Setelah Rasulullah Saw. menyelesaikan
sabdanya, barulah air mataku mengering sehingga aku tidak merasakan setetes air
mata pun yang keluar. Lalu aku berkata kepada ayahku, 'Jawablah Rasulullah
sebagai ganti dariku.' Ayahku berkata, 'Demi Allah, aku tidak mengetahui apa
yang harus kukatakan kepada Rasulullah.' Aku berkata kepada ibuku, 'Jawablah
Rasulullah sabagai ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Demi Allah, saya tidak
mengetahui apa yang harus saya katakan kepada Rasulullah."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa ia mengatakan, "Aku adalah seorang
wanita yang berusia masih terlalu muda, dan masih banyak bagian Al-Qur'an yang
belum kuhafal. Demi Allah, aku merasa yakin bahwa kalian telah mendengar berita
tersebut, sehingga sempat mempengaruhi diri kalian dan kalian mempercayainya.
Jika aku katakan kepada kalian bahwa sesungguhnya diriku bersih dari berita
bohong itu, dan Allah mengetahui bahwa diriku bersih, tentulah kalian tidak
mempercayaiku. Dan seandainya aku mengakui sesuatu hal yang Allah mengetahui
bahwa diriku bersih dari perbuatan tersebut, tentulah kalian akan
mempercayainya. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan bagi diriku dan
kalian kecuali seperti apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Yusuf, yang disitir
oleh firman-Nya:
{فَصَبْرٌ
جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ}
maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah
yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf:
18)
Kemudian aku berbaring di atas peraduanku seraya memalingkan tubuhku.
Sedangkan aku saat itu, demi Allah, merasa yakin bahwa diriku bersih dari
tuduhan tersebut, dan bahwa Allah pasti akan membersihkan diriku dari berita
bohong itu. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak berharap bahwa akan ada wahyu
yang diturunkan mengenai diriku, karena menurut anggapanku diriku ini terlalu
rendah untuk disebutkan oleh Allah Swt. dalam wahyu yang dibaca. Tetapi saya
berharap semoga diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam mimpi, hal yang
dapat membersihkan diriku dari berita bohong tersebut.
Demi Allah, saat itu Rasulullah Saw. masih belum meninggalkan tempat duduknya
dan tiada seorang pun dari keluarganya yang keluar dari rumahnya, hingga
turunlah wahyu kepadanya. Maka sebagaimana biasanya bila sedang menerima wahyu,
beliau kelihatan payah, hingga tubuhnya mengucurkan keringat seperti mutiara
yang berjatuhan, padahal saat itu sedang musim dingin. Hal itu terjadi karena
beratnya wahyu yang sedang diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah wahyu selesai diturunkan
kepada Rasulullah Saw., beliau tersenyum. Kalimat yang mula-mula diucapkannya
ialah:
"أَبْشِرِي
يَا عَائِشَةُ، أَمَّا اللَّهُ فَقَدْ بَرّأك
Bergembiralah, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan
dirimu.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ibunya berkata kepada-nya,
"Mendekatlah kamu kepadanya." Aku menjawab, "Demi Allah, aku tidak mau mendekat
kepadanya dan aku tidak mau memuji kecuali hanya kepada Allah Swt. yang telah
menurunkan pembersihan diriku." Allah menurunkan firman-Nya yang berbunyi:
{إِنَّ
الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kalian juga. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat 21.
Setelah Allah Swt. menurunkan ayat yang membersihkan namaku ini, maka Abu
Bakar r.a. yang tadinya biasa memberikan nafkah kepada Mistah ibnu Asasah
—karena masih kerabatnya dan termasuk orang miskin— mengatakan, "Demi Allah, aku
tidak akan memberinya lagi nafkah barang sedikit pun selama-lamanya sesudah apa
yang ia katakan terhadap Aisyah." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
{وَلا
يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ}
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat(nya). (An-Nur: 22)
sampai dengan firman Allah Swt.:
{أَلا
تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ}
Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, sesungguhnya kini aku suka bila
diampuni oleh Allah." Maka ia kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah
sebagaimana biasanya. Dan Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan
mencabut nafkahku (kepadanya) untuk selama-lamanya."
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Sebelum itu Rasulullah Saw. pernah
bertanya kepada Zainab binti Jahsy —yang juga istri beliau— tentang perihal
diriku. Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Zainab, apakah yang kamu ketahui dan
yang kamu lihat (dari Aisyah)?' Zainab menjawab, 'Wahai Rasulullah, aku
memelihara pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui
kecuali hanya kebaikan saja'."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, "Zainablah di antara istri Nabi Saw.
yang setara denganku, maka Allah memeliharanya dengan sifat wara'." Akan
tetapi, saudara perempuannya yang bernama Hamnah binti Jahsy bersikap oposisi
terhadap Siti Aisyah, maka ia binasa bersama orang-orang yang binasa.
Ibnu Syihab mengatakan, "Demikianlah kisah yang sampai kepada kami tentang
mereka."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahih
masing-masing melalui hadis Az-Zuhri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq dari Az-Zuhri. Ibnu Ishaq mengatakan pula, telah menceritakan pula
kepadaku Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah
r.a. Dan telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu
Amr ibnu Hazm Al-Ansari, dari Amrah, bahwa ayahnya telah menceritakan kepadanya
dari Siti Aisyah hadis yang semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah telah meriwayatkan dari
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan, "Setelah
perihal diriku menjadi buah bibir, sedangkan aku sendiri masih belum
mengetahuinya, Rasulullah Saw. berdiri di kalangan para sahabatnya seraya
berkhotbah. Mula-mula beliau membaca syahadat, lalu diiringi dengan puji dan
sanjungan kepada Allah, setelah itu baru bersabda:
"أَمَّا
بَعْدُ، أَشِيرُوا عَلَيّ فِي أُنَاسٍ أبَنُوا أَهْلِي، وَايمُ اللَّهِ مَا
عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي مِنْ سُوءٍ، وأبَنُوهم بمَن وَاللَّهِ مَا علمتُ عَلَيْهِ
مِنْ سُوءٍ قَطُّ، وَلَا يَدْخُلُ بَيْتِي قَطُّ إِلَّا وَأَنَا حَاضِرٌ، وَلَا
غِبْتُ فِي سَفَرٍ إِلَّا غَابَ مَعِي".
'Amma ba'du. Hai kalian semua, berilah saya saran tentang orang-orang yang
telah menuduh tidak baik terhadap keluarga (istri)ku. Demi Allah,
tiada yang kuketahui tentang keluargaku melainkan yang baik-baik saja, dan tiada
suatu keburukan pun yang kuketahui ada pada keluargaku, lalu dengan siapakah
mereka menuduhnya berbuat tidak baik? Demi Allah, tiada suatu keburukan pun yang
kuketahui darinya, dia tidak pernah masuk ke dalam rumahku melainkan aku selalu
ada. Dan tidak pernah ia pergi dalam suatu perjalanan melainkan selalu
bersamaku.'
Maka berdirilah Sa'd ibnu Mu'az Al-Ansari, lalu berkata, "Wahai Rasulullah,
berilah kami izin untuk memenggal kepala mereka.' Kemudian berdiri pulalah
seorang lelaki dari kabilah Khazraj, suatu kabilah yang berasal darinya ibu
sahabat Hassan ibnu Sabit, lalu lelaki itu berkata, 'Kamu dusta. Demi Allah,
seandainya mereka dari kalangan kabilah Aus, aku tidak suka bila kamu memenggal
kepala mereka'."
Siti Aisyah mengatakan, "Situasi menghangat sehingga hampir saja terjadi
keributan di antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj di dalam masjid, sedangkan
aku tidak merasakan adanya peristiwa tersebut.
Pada petang harinya aku keluar untuk menunaikan hajatku bersama Ummu Mistah
yang menemaniku. Di tengah jalan Ummu Mistah tersandung, lalu berkata,
'Celakalah Mistah!'
Maka aku bertanya kepadanya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci anakmu
sendiri?' Ummu Mistah diam, dan tersandung lagi, maka ia mengatakan, 'Celakalah
Mistah!* Aku beranya, 'Hai Ummu Mistah, mengapa engkau mencaci maki anakmu
sendiri?' Kemudian tersandung lagi untuk yang ketiga kalinya dan mengatakan,
'Celakalah, si Mistah!'
Maka aku menghardiknya supaya jangan mencaci lagi, tetapi Ummu Mistah
menjawab, 'Demi Allah, aku tidak memakinya melainkan demi membela kamu.' Aku
bertanya, 'Mengapa engkau membelaku, apakah yang telah kulakukan?' Ummu Mistah
menceritakan kisah tersebut dengan panjang lebar kepadaku, dan aku bertanya
menegaskan, 'Apakah memang betul?' Ummu Mistah menjawab, 'Ya, demi Allah'
Maka aku pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak menentu, lalu aku jatuh
sakit, dan aku berkata kepada Rasulullah, 'Pulangkanlah aku ke rumah ayahku.'
Maka Nabi Saw. mengirimkan aku bersama seorang budak sebagai temanku. Ketika aku
masuk, kujumpai Ummu Ruman (ibuku) berada di lantai bawah, sedangkan Abu Bakar
berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an.
Ummu Ruman bertanya, 'Ada keperluan apakah, hai anak perempuanku hingga kamu
datang ke sini?' Maka kuceritakan kepadanya kisah tersebut. Ternyata kisah
tersebut belum sampai kepadanya seperti yang telah sampai kepadaku. Maka Ummu
Ruman berkata, 'Tenangkanlah dirimu, hai anakku. Demi Allah, jarang sekali ada
seorang wanita cantik istri seorang lelaki yang mencintainya, sedangkan lelaki
itu mempunyai istri-istri yang lain, melainkan mereka iri terhadapnya dan selalu
mempergunjingkannya.'
Maka aku bertanya, 'Apakah ayahku telah mengetahui kisah ini?' Ummu Ruman
menjawab, 'Ya.' Aku bertanya, 'Begitu pula Rasulullah?' Ummu Ruman menjawab,
'Ya, Rasulullah pun telah mengetahuinya.'
Maka air mataku berkaca-kaca, lalu aku menangis, dan Abu Bakar mendengar
suara tangisanku, sedangkan ia berada di lantai atas sedang membaca Al-Qur'an,
lalu ia turun. Abu Bakar bertanya kepada ibuku (Ummu Ruman), 'Mengapa dia
menangis?' Ummu Ruman menjawab, 'Dia telah mendengar kisah dirinya yang menjadi
buah bibir orang-orang banyak.' Maka Abu Bakar menangis dan berkata, 'Saya mohon
kepadamu, hai anak perempuanku, agar kembali ke rumahmu' Maka aku pulang ke
rumahku, sedangkan Rasulullah Saw. telah berada di rumah, lalu beliau bertanya
kepada pelayan perempuanku tentang diriku, maka pelayan perempuanku menjawab,
'Wahai Rasulullah, tidak. Demi Allah, saya tidak mengetahui adanya suatu aib pun
pada dirinya. Hanya, ketika ia sedang tertidur, datanglah kambing, lalu kambing
itu memakan adonan rotinya.' Salah seorang sahabat Nabi Saw. menghardiknya
seraya berkata, 'Berkatajujurlah kamu kepada Rasulullah!', hingga pelayan
perempuanku itu takut karenanya. Maka berkatalah ia sekali lagi, 'Mahasuci
Allah, demi Allah tiadalah yang kuketahui tentangnya melainkan seperti apa yang
diketahui oleh seorang tukang kemasan tentang emas batangan merah (yang ada di
hadapannya).'
Kemudian kisah tersebut sampai kepada lelaki yang dituduh terlibat dalam
kejadian itu. Ia berkata, 'Mahasuci Allah. Demi Allah, aku tidak pernah membuka
kemaluan seorang wanita pun.'
Siti Aisyah mengatakan bahwa lelaki itu gugur mati syahid dalam medan perang
sebagai syuhada.
"Sejak itu kedua orang tuaku tetap berada denganku menemaniku, hingga
datanglah Rasulullah Saw. dan masuk menemuiku. Seusai salat Asar beliau masuk
menemuiku, sedangkan kedua orang tuaku mengapit diriku dari sisi kanan dan sisi
kiriku.
Nabi Saw. mengucapkan puja dan puji kepada Allah Swt., lalu bersabda:
'Amma ba'du. Hai Aisyah, jika engkau melakukan suatu keburukan atau berbuat
aniaya, maka bertobatlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah menerima tobat
hamba-hamba-Nya'.”
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Datanglah seorang wanita dari kalangan
Ansar, lalu ia duduk di dekat pintu. Maka aku berkata, Tidakkah engkau malu
terhadap wanita ini bila engkau menyebutkan sesuatu (yang terdengar olehnya)?'
Maka Rasulullah Saw. mengalihkan pembicaraannya kepada nasihat-nasihat.
Aku menoleh kepada ayahku dan kukatakan kepadanya, 'Jawablah Rasulullah Saw.
sebagai ganti dariku' Ayahku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan
kepadanya?'
Aku menoleh kepada ibuku dan berkata kepadanya, 'Jawablah Rasulullah sebagai
ganti dariku.' Ibuku menjawab, 'Apakah yang harus kukatakan kepadanya?' Keduanya
tidak mau menjawab.
Maka aku membaca syahadat dan memuji kepada Allah serta menyanjung-Nya dengan
puja dan puji yang layak bagi-Nya, kemudian kukatakan, 'Amma ba'du. Demi
Allah, jika kukatakan kepada kalian bahwa diriku tidak melakukannya, dan Allah
menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah orang benar, tentulah hal tersebut
tidak berguna bagiku dalam tanggapan kalian, karena kalian telah membicarakannya
dan isu tersebut telah meresap ke dalam hati kalian. Dan j ika aku katakan
kepada kalian bahwa sesungguhnya aku melakukannya, sedangkan Allah mengetahui
bahwa aku tidak melakukannya, tentulah kalian mengatakan bahwa itu memang salah
dan dosaku. Sesungguhnya, demi Allah, aku tidak menemukan suatu perumpamaan pun
bagi diriku dan kalian selain dari apa yang telah dialami oleh Nabi Ya'qub ayah
Yusuf.' Ketika ia mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka
kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)
Pada saat itu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw., maka kami
diam. Setelah wahyu selesai darinya, tampak jelas tanda kegembiraan mewarnai
wajah Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda seraya mengusap keringat dari
dahinya: 'Bergembiralah engkau, hai Aisyah, sesungguhnya Allah telah
menurunkan wahyu yang membersihkan namamu'.”
Siti Aisyah mengatakan bahwa saat itu ia dalam keadaan sangat marah, maka
ayah dan ibunya berkata kepadanya, "Mendekatlah kamu kepadanya!" Maka aku
menjawab, "Tidak, demi Allah, aku tidak mau mendekat kepadanya, dan aku tidak
mau memujinya, serta aku tidak mau memuji kamu berdua, melainkan hanya memuji
kepada Allah yang telah menurunkan wahyu tentang pembersihan namaku.
Sesungguhnya kalian telah mendengar berita bohong itu, tetapi kalian tidak
mengingkarinya dan tidak pula berupaya untuk mengubahnya."
Siti Aisyah mengatakan, "Adapun Zainab binti Jahsy, ia adalah seorang yang
dipelihara oleh Allah berkat agamanya, karena itu ia tidak mengatakan kecuali
kebaikan. Sedangkan saudara perempuannya (yaitu Hamnah binti Jahsy), ia binasa
bersama orang-orang yang binasa. Dan orang yang gencar membicarakan berita
bohong itu adalah Mistah, Hassan ibnu Sabit, dan seorang munafik (yaitu Abdullah
ibnu Ubay ibnu Salul). Dialah yang membubuhi asam dan garam berita bohong ini
dan yang mempunyai peran penting dalam menyiarkan berita bohong ini. Yang
lainnya adalah Hamnah."
Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Bakar bersumpah tidak akan
memberikan nafkahnya lagi kepada Mistah selama-lamanya. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan
di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi
(bantuan) kepada kaum kerabatnya), orang-orang miskin. (An-Nur:
22)
Yang dimaksud dengan seseorang di antara kalian adalah sahabat Abu Bakar,
sedangkan yang dimaksud dengan kerabat dan orang miskin adalah Mistah. Sampai
dengan firman-Nya: Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian?
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 22)
Maka Abu Bakar berkata, "Tidak, demi Allah, wahai Tuhan kami, sesungguhnya
kami benar-benar menginginkan agar Engkau memberikan ampunan bagi kami," lalu ia
kembali memberikan nafkahnya kepada Mistah seperti semula.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui jalur ini secara
ta'liq, tetapi dengan teks yang jazm (pasti) dari Abu Usamah,
yaitu Hammad ibnu Usamah, salah seorang Imam yang siqah.
Ibnu Jarir meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Sufyan ibnu Waki'
secara panjang lebar dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal atau
mendekatinya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Abu Usamah
sebagiannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
r.a. yang berkata, "Ketika diturunkan ayat yang membebaskan diriku dari langit,
Nabi Saw. datang kepadaku dan menyampaikannya kepadaku. Maka aku berkata, 'Saya
memuji kepada Allah dan tidak memuji kepadamu'."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi, dari
Muhammad ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah
yang mengatakan, "Setelah diturunkan wahyu yang membersihkan diriku, Rasulullah
Saw. berdiri, lalu menceritakan hal tersebut dan beliau membacakannya. Setelah
turun (dari mimbarnya) beliau memerintahkan agar menangkap dua orang laki-laki
dan seorang wanita, kemudian mereka dijatuhi hukuman dera sebagai had
mereka."
Para pemilik kitab sunan yang empat orang telah meriwayatkan hadis ini,
selanjutnya Imam Turmuzi (salah seorang dari mereka) menilai bahwa hadis ini
hasan. Dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud disebutkan
nama mereka yang dihukum dera itu, yaitu Hassan ibnu Sabit, Mistah ibnu Asasah,
dan Hamnah binti Jahsy.
Demikianlah jalur-jalur yang meriwayatkan hadis ini melalui berbagai sumber
dari Siti Aisyah Ummul Mu’minin r.a. yang terdapat di dalam kitab-kitab musnad,
kitab-kitab sahih, kitab-kitab sunan, dan kitab-kitab hadis lainnya.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis ibunya, yaitu Ummu Ruman r.a. Untuk itu
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami, Ali ibnu Asim, telah
menceritakan kepada kami Husain, dari Abu Wa-il, dari Masruq, dari Ummu Ruman
yang mengatakan bahwa ketika kami berada di dalam rumah Aisyah, tiba-tiba
masuklah kepada Aisyah seorang wanita dari kalangan Ansar, lalu wanita itu
berkata, "Semoga Allah membalas putranya (keponakannya) dengan pembalasan yang
setimpal."
Maka Aisyah bertanya, "Mengapa?" Wanita itu berkata, "Sesungguhnya dia
termasuk orang yang mempergunjingkan berita dusta tersebut." Siti Aisyah
bertanya, "Cerita tentang apa?" Wanita itu menerangkan segala sesuatunya kepada
Aisyah. Lalu Aisyah bertanya, "Apakah berita itu telah sampai juga kepada
Rasulullah?" Wanita Ansar itu menjawab, "Ya." Aisyah bertanya lagi, "Dan sampai
pula kepada Abu Bakar?" Wanita itu menjawab, "Ya." Maka Aisyah jatuh terjungkal
dalam keadaan pingsan, dan tidaklah ia sadar dari pingsannya kecuali badannya
dalam keadaan demam dan menggigil.
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bangkit dan menyelimuti tubuh
putrinya itu. Kemudian datanglah Nabi Saw., dan Nabi Saw. bertanya, "Ada apa
dengan dia?" Ummu Ruman menjawab, "Wahai Rasulullah, dia terkena demam dan
badannya menggigil." Nabi Saw. bersabda, "Barangkali setelah dia mendengar
berita yang dipergunjingkan mengenai dirinya."
Ummu Ruman melanjutkan kisahnya, bahwa Siti Aisyah bangkit duduk, lalu
berkata "Demi Allah, seandainya aku bersumpah kepada kalian (untuk membela
diriku), kalian tidak akan percaya kepadaku. Dan seandainya aku meminta maaf
kepada kalian, maka kalian tidak akan memaafkanku. Maka perumpamaanku dan
perumpamaan kalian adalah sama dengan Ya'qub dan anak-anaknya saat dia
mengatakan kepada mereka seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'maka
kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan' (Yusuf: 18)."
Ummu Ruman kembali melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. keluar
dan Allah menurunkan wahyu yang membersihkan kehormatan Aisyah. Kemudian
Rasulullah Saw. kembali dengan ditemani oleh Abu Bakar, maka Rasulullah Saw.
masuk (menemui Aisyah) dan bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu
yang membersihkan kehormatanmu, hai Aisyah."
Aisyah berkata, "Saya akan memuji kepada Allah dan tidak akan memujimu." Maka
Abu Bakar berkata, "Beraninya kamu katakan demikian kepada Rasulullah Saw.?"
Siti Aisyah menjawab, "Ya."
Tersebutlah bahwa di antara mereka yang membicarakan berita bohong itu adalah
seorang lelaki yang penghidupannya dijamin oleh Abu Bakar, maka Abu Bakar
bersumpah tidak akan bersilaturahmi lagi kepadanya. Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan
di antara kalian bersumpah. (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.
Lalu Abu Bakar berkata, "Benar." Maka Abu Bakar kembali bersilaturahmi
kepada lelaki itu.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara tunggal tanpa Imam Muslim
melalui jalur Husain.
Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula melalui Musa ibnu Isma'il, dari Abu
Uwanah dan dari Muhammad ibnu Salam, dari Muhammad ibnu Fudail; keduanya dari
Husain dengan sanad yang sama. Di dalam teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Uwanah disebutkan bahwa Ummu Ruman telah menceritakan kepadaku. Hal ini secara
jelas menunjukkan bahwa Masruq mendengar hadis ini langsung darinya. Akan
tetapi, hal ini disangkal oleh sejumlah huffaz (ahli hadis yang hafal)
yang antara lain ialah Al-Khatib Al-Bagdadi. Demikian itu karena pernyataan yang
dikatakan oleh ahli tarikh (sejarah) bahwa Ummu Ruman meninggal dunia di masa
Nabi Saw. (sedangkan Masruq adalah seorang tabi'in yang ada sesudah Nabi Saw.
wafat).
Al-Khatib mengatakan bahwa Masruq adalah orang yang me-mursal-kan
hadis ini; dia mengatakan bahwa Ummu Ruman pernah ditanya, lalu ia
menyebutkan hadis ini hingga selesai. Barangkali seseorang dari mereka menulis
suilat (ditanya) dengan memakai alif sehingga menjadi sa-altu
(aku bertanya). Lalu orang yang menerima hadis ini menduga bahwa lafaz
tersebut adalah sa-altu (aku bertanya) sehingga ia menduganya berpredikat
muttasil.
Al-Khatib mengatakan juga bahwa Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula
seperti itu dan dia tidak menyadari kealpaannya. Demikianlah apa yang dikutip
dari perkataan Al-Khatib, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Sebagian dari mereka meriwayatkan hadis ini melalui Masruq, dari Abdullah
ibnu Mas'ud, dari Ummu Ruman. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ
الَّذِينَ جَاءُوا بِالإفْكِ}
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu. (An-Nur:
11)
Yakni kedustaan, kebohongan, dan berita buat-buatan itu.
{عُصْبَةٌ}
segolongan orang. (An-Nur: 11)
Maksudnya sejumlah orang dari kalian.
{لَا
تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ}
Janganlah kalian kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian.
(An-Nur: 11)
Hai keluarga Abu Bakar.
{بَلْ
هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ}
Bahkan ia adalah baik bagi kalian. (An-Nur: 11)
Yaitu mengandung kebaikan bagi kalian di dunia dan akhirat; di dunia
membuktikan kejujuran lisan kalian, dan di akhirat kalian akan memperoleh
kedudukan yang tinggi. Sekaligus menonjolkan kehormatan mereka karena Aisyah
memperoleh perhatian dari Allah Swt. saat Allah menurunkan wahyu yang
membersihkan dirinya di dalam Al-Qur'an yang mulia.
{لَا
يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ}
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakangnya. (Fushshilat: 42), hingga akhir ayat.
Karena itulah ketika Siti Aisyah sedang menjelang ajalnya, kemudian Ibnu
Abbas masuk menjenguknya, maka Ibnu Abbas berkata menghibur hatinya,
"Bergembiralah kamu, sesungguhnya kamu adalah istri Rasulullah Saw. dan beliau
sangat mencintaimu. Beliau belum pernah kawin dengan seorang perawan selain
engkau, dan pembersihan namamu diturunkan dari langit."
Ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepadaku
Muhammad ibnu Usman Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun,
dari Al-Ma'la ibnu Irfan, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Jahsy yang mengatakan
bahwa Aisyah dan Zainab saling membanggakan diri. Zainab berkata, "Aku adalah
wanita yang perintah perkawinanku diturunkan dari langit." Aisyah berkata, "Aku
adalah wanita yang pembersihan namaku termaktub di dalam Kitabullah saat
Safwan ibnul Mu'attal membawaku di atas kendaraannya." Zainab berkata, "Hai
Aisyah, apakah yang kamu katakan ketika kamu menaiki unta kendaraannya?" Siti
Aisyah menjawab, "Aku ucapkan, 'Cukuplah Allah bagiku, Dia adalah sebaik-baik
Pelindung'." Zainab berkata, "Engkau telah mengucapkan kalimat orang-orang
mukmin"
*******************
Firman Allah Swt:
{لِكُلِّ
امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الإثْمِ}
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. (An-Nur: 11), hingga akhir ayat.
Yakni bagi tiap-tiap orang di antara mereka yang membicarakan peristiwa itu
dan menuduh Ummul Mu’minin Siti Aisyah r.a. berbuat keji (zina) akan mendapat
bagian dari azabnya yang besar.
{وَالَّذِي
تَوَلَّى كِبْرَهُ}
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu. (An-Nur: 11)
Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah orang yang mulai mencetuskan berita
bohong. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah orang yang menghimpunnya,
membubuhi asam garamnya, dan menyiarkan serta menenarkannya.
{لَهُ
عَذَابٌ عَظِيمٌ}
baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)
sebagai pembalasan dari perbuatannya itu.
Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud oleh ayat ini tiada lain adalah
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul; semoga Allah menghukum dan melaknatnya. Dialah
orang yang disebutkan di dalam teks hadis yang telah disebutkan di atas.
Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang.
Menurut pendapat lainnya, yang dimaksud adalah Hassan ibnu Sabit, tetapi
pendapat ini garib (menyendiri).
Seandainya tidak disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari sesuatu yang
menunjukkan ke arah itu, tentulah penyebutannya di antara orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa ini tidak mengandung faedah yang besar. Karena
sesungguhnya dia adalah seorang sahabat yang memiliki banyak keutamaan di antara
sahabat-sahabat lainnya yang mempunyai keutamaan, sepak terjang yang terpuji,
dan jejak-jejak peninggalan yang baik. Dia adalah seorang yang membela
Rasulullah Saw. melalui syairnya, dan dialah orang yang Rasulullah Saw. bersabda
kepadanya:
"هَاجِهِمْ
وَجِبْرِيلُ مَعَكَ"
Balaslah cacian mereka, dan Jibril mendukungmu.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abud Duha, dari Masruq yang mengatakan
bahwa ketika ia sedang berada di rumah Siti Aisyah r.a., tiba-tiba masuklah
Hassan ibnu Sabit. Lalu Siti Aisyah memerintahkan agar disediakan bantal duduk
untuknya. Setelah Hassan keluar, aku berkata kepada Aisyah, "Mengapa engkau
bersikap demikian?" Yakni membiarkan dia masuk menemuimu. Menurut riwayat lain
dikatakan kepada Aisyah, "Apakah engkau mengizinkan orang ini (Hassan) masuk
menemuimu? Padahal Allah Swt. telah berfirman: 'Dan siapa di antara mereka
yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya
azab yang besar.' (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Azab apa lagi yang lebih berat daripada kebutaan?"
Sedangkan saat itu kedua mata Hassan ibnu Sabit telah buta, barangkali hal
itulah yang dijadikan azab yang hebat baginya oleh Allah Swt. Kemudian Siti
Aisyah berkata," Sesungguhnya dia pernah membela Rasulullah Saw. melalui
syairnya."
Menurut riwayat yang lain, ketika Hassan hendak masuk menemuinya, ia
mendendangkan sebuah bait syair yang memuji Siti Aisyah, yaitu:
حَصَان رَزَانٌ مَا تُزَنّ بِرِيبَةٍ ... وتُصْبح غَرْثَى مِنْ لُحوم الغَوَافل ...
Wanita yang anggun yang tidak patut
dicurigai, tetapi pada pagi harinya haus dengan mempergunjingkan wanita-wanita
yang terhormat lagi dalam keadaan lalai.
Selanjutnya Hassan mengatakan, "Adapun engkau tidak demikian." Menurut
riwayat lain Hassan berkata, "Tetapi engkau tidaklah demikian."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Quza'ah,
telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, telah menceritakan kepada
kami Daud, dari Amir, dari Aisyah, bahwa ia pernah berkata, "Aku belum pernah
mendengar suatu syair pun yang lebih baik daripada syair Hassan, dan tidak
sekali-kali saya mendendangkannya melainkan saya berdoa semoga dia memperoleh
surga, yaitu ucapannya kepada Abu Sufyan ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib:
هَجَوتَ
مُحَمَّدا فَأجبتُ عَنْهُ ...
وَعندَ اللَّهِ فِي ذَاكَ الجزاءُ ...
فَإنَ
أَبِي وَوَالده وعِرْضي ...
لعرْضِ مُحَمَّد مِنْكُمْ وقاءُ ...
أَتَشْتُمُه،
ولستَ لَه بكُفءٍ? ...
فَشَرُّكُمَا لخَيْركُمَا الفدَاءُ ...
لِسَانِي
صَارمٌ لَا عَيْبَ فِيه ...
وَبَحْرِي لَا تُكَدِّرُه الدِّلاءُ ...
Engkau telah mengejek Muhammad, maka
aku menjawabmu sebagai ganti darinya, dan hanya berharap pahala dari sisi Allah
sajalah aku lakukan ini. Dan sesungguhnya ayahku dan anaknya serta kehormatanku
kukorbankan demi membela kehormatan Muhammad dari ejekanmu. Apakah engkau
mencacinya, sedangkan engkau tidak sepadan dengannya? Sebenarnya orang yang
terburuk di antara kamu berdua menjadi tebusan bagi orang yang terbaik di antara
kamu. Lisanku cukup tajam, tidak pernah tercela, dan lautku tidak akan kering
oleh banyaknya timba (yang mengambili airnya).
Ketika dikatakan kepada Siti Aisyah, "Hai Ummul Mu’minin, bukankah ini
namanya perkataan yang tidak berguna?" Siti Aisyah menjawab, "Tidak,
sesungguhnya yang dikatakan perkataan yang tidak berguna ialah syair-syair yang
membicarakan tentang wanita."
Ketika dikatakan kepadanya bahwa bukankah Allah Swt. telah berfirman: Dan
siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran
berita bohong itu, baginya azab yang besar. (An-Nur: 11)
Siti Aisyah menjawab, "Bukankah kedua matanya telah buta dan dilukai oleh
pukulan pedang?" Ia bermaksud pukulan pedang yang dilakukan oleh Safwan ibnul
Mu'attal As-Sulami terhadapnya saat Safwan mendengar berita bahwa Hassan ibnu
Sabit membicarakan tentang berita bohong mengenai dirinya itu. Lalu Safwan
memukulnya dengan pedang dan hampir membunuhnya.