Tafsir Surat Al-Fajr, ayat 1-14
وَالْفَجْرِ
(1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2) وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ (3) وَاللَّيْلِ إِذَا يَسْرِ
(4) هَلْ فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ (5) أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ
بِعَادٍ (6) إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ (7) الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي
الْبِلَادِ (8) وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ (9) وَفِرْعَوْنَ
ذِي الْأَوْتَادِ (10) الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ (11) فَأَكْثَرُوا فِيهَا
الْفَسَادَ (12) فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ (13) إِنَّ رَبَّكَ
لَبِالْمِرْصَادِ (14)
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang
genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat
sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal. Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Ad? (Yaitu) penduduk Iram
yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu
kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Samud yang memotong batu-batu
besar di lembah dan kaum Fir 'aim yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang
banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak
kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti
azab, sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.
Al-Fajr merupakan suatu hal yang telah dimaklumi, yaitu subuh, menurut Ali,
Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujaliid, dan As-Saddi. Diriwayatkan pula dari Masruq dan
Muhammad ibnu Ka'b, bahwa makna yang dimaksud dengan fajr ialah fajar Hari Raya
Idul Ad-ha, yaitu sepuluh malam terakhir.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah salat yang dikerjakan
di saat fajar (salat fajar), sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah. Dan
menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah seluruh siang hari; ini menurut
suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Mengenai sepuluh malam, makna yang dimaksud ialah tanggal sepuluh bulan Zul
Hijjah; sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama
Khalaf.
Di dalam kitab Sahih Bukhari telah disebutkan dari Ibnu Abbas secara
marfu':
"مَا
مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ
الْأَيَّامِ" -يَعْنِي عَشَرَ ذِي الْحِجَّةِ -قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: "وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلًا
خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، ثُمَّ لَمْ يَرْجِعُ مِنْ ذَلِكَ
بِشَيْءٍ"
Tiada suatu hari pun yang amal saleh lebih disukai oleh Allah padanya
selain dari hari-hari ini. Yakni sepuluh hari pertama dari bulan Zul
Hijjah. Mereka (para sahabat) bertanya, "Dan juga lebih utama daripada berjihad
di jalan Allah?" Rasulullah Saw. menjawab: Dan juga lebih utama daripada
berjihad di jalan Allah, terkecuali seseorang yang keluar dengan membawa
hartanya untuk berjihad di jalan Allah, kemudian tidak pulang selain dari
namanya saja.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama
dari bulan Muharam, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Ja'far Ibnu Jarir,
tetapi tidak menisbatkannya kepada siapa pun sumber yang mengatakannya.
Abu Kadinah telah meriwayatkan dari Qabus ibnu Abu Zabyan, dari ayahnya, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam yang sepuluh.
(Al-Fajr: 2) Bahwa yang dimaksud adalah sepuluh malam yang pertama dari bulan
Ramadan; tetapi pendapat yang benar adalah yang pertama tadi.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، حَدَّثَنَا عَيَّاش بْنُ عُقْبَةَ، حَدَّثَنِي خَير بْنُ
نُعَيم، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الْعَشْرَ عَشْرُ الْأَضْحَى، وَالْوَتْرُ يَوْمُ
عَرَفَةَ، وَالشَّفْعُ يَوْمُ النَّحْرِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab,
telah menceritakan kepada kami Iyasy ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku
Khair ibnu Na'im, dari Abuz Zubair. dari Jabir. dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Sesungguhnya malam yang sepuluh itu adalah malam yang sepuluh bulan
Zul Hijjah, dan al-watr (ganjil) adalah hari 'Arafah, sedangkan asy-syaf'u
(genap) adalah Hari Raya Kurban.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Raff dan Abdah ibnu Abdullah,
masing-masing dari keduanya dari Zaid ibnul Habbab dengan sanad yang sama. Ibnu
Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui Zaid ibnul Habbab dengan sanad
yang sama. Semua perawi yang disebutkan dalam sanad ini tidak mempunyai cela;
tetapi menurut hemat penulis, predikat marfu' dari matan hadis ini tidak dapat
diterima begitu saja; Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.:
{وَالشَّفْعِ
وَالْوَتْرِ}
dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3)
Dalam hadis di atas telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
al-watr ialah hari 'Arafah karena jatuh pada tanggal sembilan Zul Hijjah,
dan yang dimaksud dengan asy-syaf'u ialah Hari Raya Kurban karena ia jatuh pada
tanggal sepuluh. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Ikrimah,
dan Ad-Dahhak.
Pendapat kedua. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepadaku Uqbah ibnu Khalid, dari Wasil ibnus
Sa’ib yang mengatakan bahwa ia telah bertanya kepada Ata tentang makna
firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Apakah yang dimaksud
adalah salat witir yang biasa kita kerjakan? Ata menjawab, "Bukan, tetapi yang
dimaksud dengan asy-syaf'u ialah hari ' Arafah, dan yang dimaksud dengan
al-watru adalah Hari Raya Ad-ha."
Pendapat ketiga. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani, telah menceritakan kepadaku ayahku,
dari An-Nu'man ibnu Abdus Salam, dari Abu Sa'id ibnu Auf yang menceritakan
kepadaku di Mekah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnuz Zubair berkhotbah,
lalu berdirilah seorang lelaki mengatakan, "Wahai Amirul Mu’minin, terangkanlah
kepadaku makna syaf'u dan watru. Maka Abdullah ibnuz Zubair menjawab, bahwa yang
dimaksud dengan asy-syaf'u ialah apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam
firman-Nya: Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua
hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203) Dan yang dimaksud dengan
al-watru ialah apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari
itu), maka tidak ada dosapula baginya. (Al-Baqarah: 203)
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Murtafi",
ia pernah mendengar Ibnuz Zubair mengatakan bahwa asy-syaf'u adalah
pertengahan hari-hari tasyriq, sedangkan al-watru ialah akhir hari-hari
tasyriq.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui riwayat Abu Hurairah, dari
Rasulullah Saw. yang telah bersabda:
«إِنْ
لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا
دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ»
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yakni seratus
kurang satu; barang siapa yang menghafalnya, maka ia masuk surga; Dia adalah Esa
dan menyukai yang esa.
Pendapat keempat. Al-Hasan Al-Basri dan Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa
semua makhluk adalah genap dan ganjil; Allah Swt. bersumpah dengan menyebut
makhluk-Nya. Pendapat ini merupakan suatu riwayat yang bersumber dari Mujahid.
Tetapi pendapat terkenal yang bersumber dari Mujahid menyebutkan sebagaimana
pendapat yang pertama.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Ibnu Abbas
mengatakan bahwa Allah Esa, sedangkan kamu adalah genap. Dan dikatakan bahwa
asy-syaf'u adalah salat Isya (genap rakaatnya), sedangkan salat yang
witir (ganjil) adalah salat Magrib.
Pendapat kelima. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari
Israil, dari Abu Yahya, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan
yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa yang dimaksud dengan
asy-syaf'u ialah sejodoh, dan yang dimaksud dengan al-watru adalah Allah Swt.
Abu Abdullah telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Allah adalah al-watru;
sedangkan makhluk-Nya adalah asy-syaf'u alias genap, yakni laki-laki dan
perempuan (jantan dan betina).
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Segala sesuatu yang
diciptakan oleh Allah disebut asy-syaf'u (genap), langit dan bumi,
daratan dan lautan, jin dan manusia, matahari dan rembulan, demikianlah
seterusnya. Mujahid dalam hal ini mengikuti pendapat yang dikatakan oleh mereka
sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
akan kebesaran Allah. (Adz-Dzariyat: 49)
Yakni agar kamu mengetahui bahwa yang menciptakan makhluk yang
berpasang-pasangan adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Pendapat keenam. Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil. (Al-Fajr: 3) Bahwa
bilangan itu ada yang genap dan ada yang ganjil.
Pendapat yang ketujuh sehubungan dengan makna ayat ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui jalur Ibnu Juraij. Kemudian Ibnu Jarir
mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Nabi Saw. suatu hadis yang menguatkan
pendapat yang telah kami sebutkan dari Ibnuz Zubair.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Ziyad
Al-Qatwani, telah menceritakan kepada kami Zaid Al-Habbab, telah menceritakan
kepadaku Iyasy ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Khair ibnu Na' im, dari
Abuz Zubair, dari Jabir, bahwa rasulullah Saw. telah bersabda:
«الشَّفْعُ
الْيَوْمَانِ وَالْوَتَرُ الْيَوْمُ الثَّالِثُ»
Asy-syaf'u adalah dua hari dan al-watru adalah hari yang
ketiganya.
Demikianlah hadis ini dikemukakan, yakni dengan lafaz tersebut. tetapi
bertentangan dengan lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dalam riwayat Imam
Ahmad, Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim, juga apa yang telah diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta selain keduanya mengatakan bahwa
salat itu ada yang rakaatnya genap —seperti empat rakaat dan dua rakaat— ada
juga yang ganjil —seperti salat Magrib yang jumlah rakaatnya ada tiga, yang
boleh dibilang salat witir di (penghujung) siang hari—. Demikian pula salat
witir yang dilakukan di akhir tahajud yang terbilang witir malam hari.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah. dan Imran ibnu
Husain sehubungan dengan firman-Nya: dan yang genap dan yang ganjil.
(Al-Fajr: 3)
Bahwa yang dimaksud adalah salat-salat fardu, yang antara lain ada yang genap
bilangan rakaatnya dan ada pula yang ganjii. Tetapi asar ini munqathi lagi
mauquf, lafaznya hanya khusus menyangkut salat fardu. Sedangkan menurut yang
diriwayatkan secara muttasil lagi marfu' sampai kepada Nabi Saw. menyebutkan
dengan lafaz yang umum (yakni salat fardu dan juga salat sunat).
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
أَبُو دَاوُدَ -هُوَ الطَّيَالِسِيُّ-حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ عِصَامٍ: أَنَّ شَيْخًا حَدَّثَهُ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، عَنْ
عِمْرَانِ بْنِ حُصَيْنٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سُئِل عَنِ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ، فَقَالَ: "هِيَ الصَّلَاةُ، بَعْضُهَا شَفْعٌ،
وَبَعْضُهَا وَتْرٌ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi,
telah menceritakan kepada kami Hammam. dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, bahwa
seorang syekh dari ulama Basrah pernah menceritakan kepadanya sebuah hadis dari
Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang makna asy-syaf'u
dan al-watru. Maka beliau Saw. menjawab: Maksudnya adalah salat, sebagian
darinya ada yang genap (rakaatnya) dan sebagian yang lain ada yang
ganjil.
Demikianlah yang tertera di dalam kitab musnad.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari
Affan dan dari Abu Kuraib alias Ubaidillah ibnu Musa, keduanya dari Hammam ibnu
Yahya, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari seorang syekh, dari Imran ibnu
Husain.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa alias Imam Turmuzi, dari Amr
ibnu Ali, dari Ibnu Mahdi dan Abu Daud, keduanya dari Hanimam, dari Qatadah,
dari Imran ibnu Isam, dari seorang ulama Basrah, dari Imran ibnu Husain dengan
sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami
tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadis Qatadah. Dan Khalid ibnu Qais
telah meriwayatkannya pula dari Qatadah. Telah diriwayatkan pula dari Imran ibnu
Isam, dari Imran ibnu Husain sendiri; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Menurut hemat penulis, Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula, ia
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti,
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Hammam, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam Ad-Dab"i seorang syekh dari kalangan
penduduk Basrah, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi Saw., lalu disebutkan hal
yang semisal. Demikianlah yang penulis lihat di dalam kitab tafsirnya, dia
menjadikan syekh dari Basrah itu adalah Imran ibnu Isam sendiri.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan
kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah
menceritakan kepadaku Khalid ibnu Qais, dari Qatadah, dari Imran ibnu Isam, dari
Imran ibnu Husain, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna asy-syaf'u dan
al-watru. Beliau Saw. bersabda: Maksudnya ialah salat, di antaranya ada yang
genap dan di antaranya ada yang ganjil (rakaatnya).
Dalam riwayat ini tidak disebutkan syekh yang tidak dikenal itu, dan hanya
disebutkan Imran ibnu Isam Ad-Dab'i sendiri, dia adalah Abu linarah Al-Basri
Imam masjid Bani Dabi'ah. Dia adalah orang tua dari Abu Jamrah Nasr ibnu Imran
Ad-Dab'i. Qatadah dan putranya (yaituAbu Jamrah) dan Al-Musanna ibnu Sa'id serta
Abut Tayyah alias Yazid ibnu Humaid telah mengambil riwayat darinya.
Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam Kitabus Siqat sebagai salah seorang yang
berpredikat siqah, dan Khalifah ibnu Khayyat menyebutkannya di kalangan para
tabi'in dari kalangan penduduk Basrah. Dia adalah seorang yang terhormat, mulia,
dan mempunyai kedudukan di sisi Al-Hajjaj ibnu Yusuf. Kemudian Al-Hajjaj
membunuhnya di dalam Perang Ar-Rawiyah pada tahun 82 Hijriah, karena ia
bergabung dengan Ibnul Asy'as. Pada Imam Turmuzi tiada lagi hadisnya selain dari
hadis ini; tetapi menurut hemat penulis, predikat mauquf hadis ini hanya sampai
kepada Imran ibnu Husain, lebih mendekati kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang
Maha Mengetahui. Dan Ibnu Jarir tidak memutuskan dengan tegas mana yang
dipilihnya di antara pendapat-pendapat tersebut di atas mengenai masalah genap
dan ganjil ini.
*******************
Firman Allah Swt:
{وَاللَّيْلِ
إِذَا يَسْرِ}
dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah
malam hari apabila telah berlalu. Dan Abdullah ibnuz Zubair telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu. (Al-Fajr: 4)
Yakni bilamana berlalu sedikit demi sedikit, atau sebagian demi sebagian.
Mujahid, Abul Aliyah, dan Qatadah telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam dan
Ibnu Zaid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu.
(Al-Fajr: 4) Yaitu apabila berjalan. Pendapat ini dapat ditakwilkan sesuai
dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, yakni telah berlalu. Dapat pula
ditakwilkan bahwa makna yang dimaksud dengan berjalan ialah tiba. Juga dapat
dikatakan bahwa takwil ini lebih sesuai, mengingat ia menjadi lawan kata dari
firman-Nya: Demi fajar. (Al-Fajr: 1)
Karena sesungguhnya makna fajar itu ialah datangnya siang hari dan berlalunya
malam hari. Maka apabila firman Allah Swt.: dan malam bila tiba.
(Al-Fajr: 4) ditakwilkan dengan pengertian 'datangnya malam hari', berarti makna
yang dimaksud ialah bahwa Allah Swt. telah bersumpah dengan menyebut datangnya
siang hari dan berlalunya malam hari, juga dengan datangnya malam hari dan
berlalunya siang hari. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
وَاللَّيْلِ
إِذا عَسْعَسَ وَالصُّبْحِ إِذا تَنَفَّسَ
demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh
apabila fajarnya mulai menyingsing. (At-Takwir: 17-18)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak sehubungan dengan makna
firman-Nya: dan demi malam bila berjalan. (Al-Fajr: 4) Yakni bila
berlangsung. Lain pula dengan Ikrimah, ia mengatakan bahwa dan demi malam
bila berlalu. (Al-Fajr: 4) Bahwa makna yang dimaksud ialah malam Juma',
yaitu malam Muzdalifah; demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh
Ibnu Abu Hatim.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Kasir ibnu Abdullah ibnu Amr
yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam bila berlalu.
(Al-Fajr: 4) Dikatakan, "Teruskanlah perjalananmu, hai orang yang mengadakan
perjalanan di malam hari, dan jangan sekali-kali kamu menginap kecuali di
Jam'un."
*******************
Firman Allah Swt.:
{هَلْ
فِي ذَلِكَ قَسَمٌ لِذِي حِجْرٍ}
Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh
orang-orang yang berakal. (Al-Fajr: 5)
Maksudnya, bagi orang yang mempunyai akal dan pemikiran. Sesungguhnya akal
dinamakan hijr (pencegah) karena ia mencegah pemiliknya dari melakukan perbuatan
dan mengeluarkan ucapan yang tidak layak baginya. Dan termasuk ke dalam
pengertian ini Hijir Baitullah (Hijir Ismail) karena mencegah orang yang
melakukan tawaf dari menempel di temboknya yang termasuk rukun Syami.
Termasuk pula ke dalam pengertian ini Hijrul Yamamah (daerah Yamamah yang
dilindungi), dan dikatakan, "Hakim telah menahan si Fulan," bila si hakim
mencegahnya dari melakukan aktivitasnya.
وَيَقُولُونَ
حِجْراً مَحْجُوراً
dan mereka berkata, "Hijran Mahjura," (semoga Allah menghindarkan
bahaya ini dari saya). (Al-Furqan: 22)
Semuanya itu termasuk dalam satu bab dan mempunyai makna yang berdekatan.
Sumpah ini yang menyebutkan waktu-waktu ibadah dan juga ibadah itu
sendiri—seperti haji, salat, dan lain sebagainya—termasuk berbagai jenis dari
amal taqarrub yang dijadikan sarana oleh hamba-hamba-Nya yang bertakwa lagi
takut kepada-Nya serta rendah diri kepada-Nya untuk lnendekatkan diri mereka
kepada Zat-Nya Yang Mahamulia.
Setelah menyebutkan ibadah dan ketaatan mereka, lalu disebutkan oleh
firman-Nya:
{أَلَمْ
تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ}
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap
kaum 'Ad? (Al-Fajr: 6)
Mereka adalah orang-orang yang membangkang, angkara murka, sewenang-wenang,
pendurhaka terhadap Allah, mendustakan rasul-rasul-Nya lagi mengingkari
kitab-kitab-Nya. Maka Allah menyebutkan bagaimana Dia membinasakan mereka dan
menghancurkan mereka serta menjadikan mereka sebagai pelajaran dan kisah-kisah
umat yang durhaka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{أَلَمْ
تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ}
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum
'Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.
(Al-Fajr: 6-7)
Mereka adalah kaum 'Ad pertama, yaitu keturunan dari 'Ad ibnu Iram ibnu ' Aus
ibnu Sam ibnu Nuh, menurut Ibnu Ishaq. Mereka adalah kaum yang diutus kepada
merekaNabi Hud a.s., lalu mereka mendustakannya dan menentangnya. Maka Allah
menyelamatkannya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman
bersamanya dari kalangan mereka beserta orang-orang yang beriman bersamanya dari
kalangan mereka. Dan Allah membinasakan mereka dengan angin yang sangat dingin
lagi sangat kuat, yang terus-menerus menimpa mereka selama tujuh malam delapan
siang hari. Maka kamu lihat kaum itu mati semuanya di tempat tinggal mereka
seperti batang-batang pohon kurma yang lapuk, maka apakah kamu masih melihat
adanya sisa-sisa dari mereka?
Allah Swt. telah menyebutkan kisah mereka di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada
satu tempat agar dijadikan pelajaran bagi orang-orang mukmin kehancuran yang
telah menimpa mereka.
Firman Allah Swt.:
{إِرَمَ
ذَاتِ الْعِمَادِ}
(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.
(Al-Fajr: 7)
Berkedudukan sebagai 'ataf bayan untuk menambah keterangan perihal identitas
mereka, dan firman-Nya: yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.
(Al-Fajr: 7) karena mereka menempati kemah-kemah yang terbuat dari bulu,
kemudian ditegakkan dengan tiang-tiang yang kuat lagi kokoh. Mereka terkenal
sangat kuat di masanya dan paling besar tubuhnya. Untuk itulah rasul mereka
(yaitu Nabi Hud a.s.) mengingatkan mereka akan nikmat tersebut dan memberi
petunjuk kepada mereka agar nikmat tersebut dijadikan sebagai sarana bagi mereka
untuk taat kepada Tuhannya yang telah menciptakan mereka. Hal ini disebutkan
oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:
{وَاذْكُرُوا
إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ
بَسْطَةً فَاذْكُرُوا آلاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ }
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah
melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-A'raf: 69)
Dan firman Allah Swt:
فَأَمَّا
عادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقالُوا مَنْ أَشَدُّ
مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ
مِنْهُمْ قُوَّةً
Adapun kaum 'Ad, maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan
yang benar dan berkata, "Siapakah yang lebih besar kekuatannya daripada kami?”
Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka
adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? (Fushshilat: 15)
Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{الَّتِي
لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلادِ}
yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri
lain. (Al-Fajr: 8)
Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka di
negeri mana pun, karena mereka memiliki kekuatan yang dahsyat, keras, lagi
perawakan mereka besar-besar. Mujahid mengatakan bahwa Iram adalah suatu umat di
masa dahulu, yakni kaum 'Ad pertama. Qatadah ibnu Di'amah dan As-Saddi
mengatakan bahwa sesungguhnya Iram adalah ibu kota kerajaan kaum 'Ad. Ini
merupakan pendapat yang baik, jayyid, lagi kuat.
Mujahid, Qatadah, dan Al-Kalabi mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: yang mempunyai bangunan-bangunanyang tinggi. (Al-Fajr: 7)
Mereka adalah suku nomaden dan tidak pernah menetap dalam suatu tempat. Al-Aufi
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya mereka disebut zatul-
'imad karena perawakan mereka sangat tinggi. Ibnu Jarir memilih pendapat
yang pertama dan menolak pendapat yang kedua, dan ternyata dia benar.
Firman Allah Swt.:
{الَّتِي
لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلادِ}
yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri
lain. (Al-Fajr: 8)
Ibnu Zaid mengatakan bahwa domir yang ada merujuk kepada 'imad karena
ketinggiannya yang tidak terperikan, dan ia mengatakan bahwa mereka telah
membangun bangunan-bangunan yang tinggi di atas bukit-bukit pasir, yang belum
pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain. Lain halnya
dengan Qatadah dan Ibnu Jarir, keduanya merujukkan damir yang ada kepada
kabilah. Yakni belum pernah ada suatu kabilah pun yang diciptakan seperti mereka
di masanya. Pendapat inilah yang benar, sedangkan pendapat Ibnu Zaid dan
orang-orang yang mengikutinya lemah. Karena seandainya makna yang dimaksud
adalah seperti yang ditakwilkan oleh mereka, tentulah bunyi ayat bukan lam
yukhlaq, melainkan lamyu'mal mi'sluha fil bilad. Dan sesungguhnya
bunyi ayat adalah seperti berikut: yang belum pernah diciptakan (suatu
kabilah pun) seperti mereka di negeri-negeri lain. (Al-Fajr: 8)
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ كَاتِبُ
اللَّيْثِ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنِ
الْمِقْدَامِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ
إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ فَقَالَ: "كَانَ الرَّجُلُ مِنْهُمْ يَأْتِي عَلَى
صَخْرَةٍ فَيَحْمِلُهَا عَلَى الْحَيِّ فَيُهْلِكُهُمْ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Lais, telah menceritakan
kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari orang yang telah menceritakan hadis ini
kepadanya, dari Al-Miqdam, dari Nabi Saw. sehubungan dengan penduduk Iram yang
mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Maka beliau Saw. bersabda: Adalah
seseorang dari mereka (kaum 'Ad) dapat mengangkat sebuah batu yang amat besar
(seperti bukit), lalu ia memikulnya dan menimpakannya kepada suatu penduduk
desa, maka binasalah mereka.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul
Husain, telah menceritakan kepada kami Abut Tahir, telah menceritakan kepada
kami Anas ibnu Iyad, dari Saur ibnu Zaid Ad-Daili yang mengatakan bahwa ia
pernah membaca sebuah prasasti kuno yang bunyinya seperti berikut, "Akulah
Syaddad ibnu Ad, akulah yang meninggikan bangunan-bangunan yang tinggi. dan
akulah orang yang hastaku sama besarnya dengan tubuh satu orang; dan akulah
orang yang menyimpan perbendaharaan sedalam tujuh hasta, tiada yang dapat
mengeluarkannya selain umat Muhammad Saw."
Menurut hemat saya, pendapat apa pun dari yang telah disebutkan di atas, baik
yang mengatakannya sebagai bangunan-bangunan tinggi yang mereka bangun, atau
menganggapnya sebagai tiang-tiang rumah mereka di daerah pedalaman, ataukah
menganggapnya sebagai senjata yang dipakai mereka untuk berperang atau
menggambarkan ketinggian seseorang dari mereka. Semuanya itu pada garis besarnya
menunjukkan bahwa mereka adalah suatu umat yang disebutkan di dalam Al-Qur'an
bukan hanya pada satu tempat saja yang penyebutan mereka dibarengi dengan kisah
kaum Samud, sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini; hanya Allah-lah Yang
Maha Mengetahui.
Dan mengenai orang yang mengira bahwa firman-Nya: (yaitu) penduduk Iram
yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr: 7) Bahwa makna yang
dimaksud adalah suatu kota yang adakalanya kota Dimasyq seperti apa yang
diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab dan Ikrimah, atau menganggapnya kota
Iskandariah seperti yang diriwayatkan dari Al-Qurazi, atau dianggap kota
lainnya. Maka pendapat-pendapat ini masih perlu diteliti kebenarannya; karena
bila diartikan demikian, mana mungkin dapat sesuai dengan firman-Nya: Apakah
kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad (Yaitu)
penduduk Iram yang mempunyai bangun an-bangunan yang tinggi. (Al-Fajr:
6-7)
Jika hal itu dijadikan sebagai badal atau 'ataf bayan, maka tidak sealur
dengan konteks pembicaraannya. Karena sesungguhnya yang dimaksud dalam topik
pembicaraan ayat ini tiada lain memberitakan tentang kebinasaan suatu kabilah
yaitu 'Ad, dan azab yang ditimpakan oleh Allah kepada mereka sebagai pembalasan
dari-Nya, tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Dan makna yang dimaksud
bukanlah menceritakan perihal suatu kota atau suatu kawasan.
Sesungguhnya kami ingatkan hal ini tiada lain agar jangan ada orang yang
terpedaya oleh berbagai macam pendapat yang dikemukakan oleh sebagian ulama
tafsir sehubungan dengan ayat ini. Yang diantaranya ada yang menyebutkan bahwa
Iram adalah suatu kota yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang
dibangun dengan bata emas dan perak gedung-gedung, rumah-rumah, dan
taman-tamannya. Dan bahwa batu kerikilnya dari intan dan mutiara, sedangkan
tanahnya dari kesturi, dan sungai-sungainya mengalir, sedangkan buah-buahannya
berjatuhan; rumah-rumahnya tiada berpenghuni, tembok-tembok dan pintu-pintunya
dalam keadaan terbuka, tetapi tiada seorang pun yang ada di dalamnya. Dan bahwa
kota tersebut berpindah-pindah; adakalanya di negeri Syam dan adakalanya di
negeri Yaman, dan adakalanya berpindah ke negeri Iraq, dan lain sebagainya. Maka
sesungguhnya kisah seperti ini termasuk dongengan-dongengan Israiliyat, yang
tiada kenyataanya, dan termasuk yang dibuat oleh orang-orang Zindiq dari
kalangan mereka, yang sengaja dituangkan untuk memperdaya akal orang-orang yang
bodoh agar mau percaya dengan kisah buatan mereka.
As-Sa’labi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pernah ada seorang lelaki Badui
yang bernama Abdullah ibnu Qilabah hidup di masa mu'awiyah. Lelaki Badui itu
pergi mencari beberapa ekor untanya yang lepas; ketika ia sedang mencarinya
kemana-mana, tersesatlah ia di suatu daerah. Dan tiba-tiba ia menjumpai suatu
kota yang besar dengan tembok-temboknya yang tinggi dan pintu-pintu gerbangnya
yang besar. Lalu ia memasukinya dan menjumpai di dalamnya banyak hal yang
mendekati, seperti apa yang telah kami sebutkan diatas, yaitu kota emas. Lalu
lelaki itu kembali dan menceritakan kepada orang-orang apa yang telah
dilihatnya, maka orang-orang beramai-ramai pergi bersama dia menuju ke tempat
yang disebutkannya, dan ternyata mereka tidak melihat sesuatu pun di tempat
tersebut.
Ibnu Abu Hatim telah menyebutkan kisah mengenai kota Iram yang mempunyai
bangunan-bangunan yang tinggi ini dengan kisah yang panjang sekali. Dan kisah
ini tidak sahih sanadnya. Seandainya memang sahih sampai kepada lelaki Badui
tersebut, maka barangkali lelaki Badui itu membuat-buatnya; atau dia terkena
semacam penyakit kejiwaan yang menimbulkan ilusi berbagai macam hal, sehingga ia
menganggap bahwa ilusinya itu suatu kenyataan, padahal hakikatnya tidaklah
demikian. Dan faktor inilah yang memastikan tidak sahnya kisah lelaki Badui
itu.
Hal ini hampir sama dengan apa yang di beritakan oleh kebanyakan orang yang
kurang akalnya, yang tamak kepada keduniawian. Mereka beranggapan bahwa di dalam
perut bumi terdapat banyak emas, perak dan berbagai macam permata, yaqut,
mutiara, dan keajaiban (teka-teki) yang besar. Akan tetapi, mereka beranggapan
bahwa untuk mencapainya ada banyak hambatan yang harus dilenyapkan terlebih
dahulu agar dapat diambil. Karenanya mereka banyak menipu harta orang-orang kaya
dan orang-orang yang lemah lagi kurang akalnya (yang mau membelanjakan hartanya
untuk tujuan itu) sehingga mereka yang melakukan praktek demikian, memakan harta
orang lain dengan cara yang batil. Mereka mengilusikan kepada orang-orang yang
mereka perdaya, bahwa biaya itu untuk membeli dupa, ramu-ramuan, dan lain
sebagainya yang diada-adakan oleh mereka, padahal kenyataanya hanyalah tipuan
belaka.
Akan tetapi, yang pasti memang di dalam tanah banyak terdapat harta-harta
yang terpendam, yang dahulunya adalah bekas-bekas peninggalan masa jahiliah dan
masa Islam pertama. Maka barang siapa yang berhasil mendapatkannya, ia dapat
memindahkannya. Adapun mengenai harta terpendam seperti apa yang digambarkan
oleh dugaan mereka, hal itu hanyalah dusta dan buat-buatan belaka., dan tidak
benar sama sekali bahwa hal itu dapat dipindahkan atau dapat diambil oleh orang
yang menemukannya. Hanya Allah-lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang
benar.
Dan mengenai pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa firman Allah Swt.:
(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.
(Al-Fajr: 7). dapat ditakwilkan sebagai nama suatu kabilah atau suatu negeri
(kota) yang dihuni oleh kaum ; Ad, yang karenanya lafaz Iram tidak menerima
tamyin. Pendapat ini masih perlu diteliti, karena makna yang dimaksud oleh
konteks cerita hanyalah menceritakan tentang kabilah. untuk itulah maka
disebutkan dalam firman berikutnya:
{وَثَمُودَ
الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ}
dan kaum Samud yang memotong batu-batu besar di lembah. (Al-Fajr:
9)
Yakni mereka memotong batu-batu yang ada di lembah tempat mereka. Ibnu 'Abbas
mengatakan bahwa mereka mengukirnya dan melubanginya. Hal yang sama di katakan
oleh Mujahid, Qatadah. Ad-Dahhak, dan Ibnu Zaid. Dan termasuk kedalam pengertian
kata ini bila dikatakan mujtabin nimar, artinya bila mereka melubanginya.
Dan dikatakan wajtabassauba bila seseorang membukanya (memotongnya); oleh
karena itulah maka kantong dalam bahasa Arab disebut al-jaib. Dan Allah
Swt. telah berfirman:
وَتَنْحِتُونَ
مِنَ الْجِبالِ بُيُوتاً فارِهِينَ
Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah
dengan rajin. (Asy-Syu'ara: 149)
Dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan kisah ayat ini
menyebutkan ucapan seorang penyair:
أَلَا
كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَائِدٌ ... كَمَا
بَادَ حَيٌّ مِنْ شَنِيفٍ وَمَارِدِ
هُمْ
ضَرَبُوا فِي كُلِ صَمَّاءَ صَعْدَةً ... بِأَيْدٍ
شِدَادٍ أَيَّدَاتِ السَّوَاعِدِ
Ingatlah segala sesuatu selain Allah
pasti lenyap (binasa) sebagaimana telah lenyap suatu kabilah dari Syanif dan
Marid.
Mereka telah mengukir dan memotong
batu-batu gunung dengan tangan-tangan yang keras dan lengan-lengan yang
kekar.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Arab, dan tempat
tinggal mereka adalah di lembah Al-Qura. Kami telah menyebutkan kisah kaum 'Ad
secara rinci di dalam tafsir surat Al-A'raf, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَفِرْعَوْنَ
ذِي الأوْتَادِ}
dan kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak. (Al-Fajr: 10)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan
al-autad ialah bala tentaranya yang mendukung dan menguatkan
kedudukannya. Menurut suatu pendapat, Firaun —bila menghukum— mengikat kedua
tangan dan kedua kaki si terhukum pada pasak-pasak besi, lalu digantungkan
dengannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, bahwa dia mematok tangan dan
kaki terhukum pada pasak-pasak, yakni dipasung. Hal yang sama di katakan oleh
Sa’id ibnu Jubair dan Al-Hasan dan As-Saddi. As-Saddi menyebutkan bahwa Fir’aun
mengikat seorang lelaki pada tiap-tiap tangan dan kakinya ke pasak-pasak,
kemudian menggelindingkan sebuah batu besar ke atas tubuhnya hingga si lelaki
terhukum itu hancur karenanya.
Qatadah mengatakan, telah sampai suatu kisah kepada kami, bahwa Fir'aun
mempunyai mainan berupa pasak-pasak dan tambang-tambang yang di letakkan di
dalam suatu tempat yang mempunyai naungan. Sabit Al-Bannani telah meriwayatkan
dari Abu Rafi'. bahwa Fir'aun dijuluki Zul Autad karena dia memasang cmpat pasak
untuk istrinya yang kedua tangan dan kedua kakinya diikat pada pasak-pasak itu.
Lalu diatas punggung istrinya diletakkan sebuah batu penggilingan yang besar,
hingga istrinya mati (karena ia beriman kepada Musa a.s).
Firman Allah Swt:
{الَّذِينَ
طَغَوْا فِي الْبِلادِ فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ}
Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lain mereka berbuat banyak
kerusakan dalam negeri itu. (Al-Fajr: 11-12).
Yakni angkara murka, angkuh, lagi senang menebarkan kerusakan di muka bumi
dan menyakiti orang lain.
{فَصَبَّ
عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ}
karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. (Al-Fajr:
13).
Yaitu Allah menurunkan kepada mereka azab dari langit dan hukuman yang tiada
seorang pun dapat menolaknya dari kaum yang durhaka itu.
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ
رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ}
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Al-Fajr: 14).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mendengar dan melihat,
yakni mengawasi semua amal perbuatan makhluk-Nya dan kelak Dia akan menimpakan
balasan-Nya terhadap masing-masing, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dan
kelak Dia akan memberdirikan semua makhluk di hadapan-Nya, lau dia memutuskan
hukum-Nya terhadap mereka dengan adil, dan memberikan pembalasan kepada
masing-masing sesuai dengan apa yang berhak diterimanya. Dia Mahasuci dari
perbuatan aniaya dan melampaui batas.
Imam Ibnu Abu Hatim dalam hal ini telah mengetengahkan sebuah hadis yang
garib sekali dan sanadnya masih perlu di teliti kesahihannya. Untuk itu ia
mengatakan:
حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي الْحَوَارِيِّ، حَدَّثَنَا يُونُسُ
الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ الْبَيْسَانِيِّ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا مُعَاذُ،
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَدَى الْحَقِّ أَسِيرٌ. يَا مُعَاذُ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا
يَسْكُنُ رَوْعُهُ وَلَا يَأْمَنُ اضْطِرَابُهُ حَتَّى يُخَلَّف جِسْرَ جَهَنَّمَ
خَلْفَ ظَهْرِهِ. يَا مُعَاذُ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ قَيَّدَهُ الْقُرْآنُ عَنْ
كَثِيرٍ مِنْ شَهَوَاتِهِ، وَعَنْ أَنْ يَهْلَكَ فِيهَا هُوَ بِإِذْنِ اللَّهِ،
عَزَّ وَجَلَّ، فَالْقُرْآنُ دَلِيلُهُ، وَالْخَوْفُ مَحَجَّتُهُ، وَالشَّوْقُ
مَطِيَّتُهُ، وَالصَّلَاةُ كَهْفُهُ، وَالصَّوْمُ جَنَّتُهُ، وَالصَّدَقَةُ
فِكَاكُهُ، وَالصِّدْقُ أَمِيرُهُ، وَالْحَيَاءُ وَزِيرُهُ، وَرَبُّهُ، عَزَّ
وَجَلَّ، مِنْ وَرَاءِ ذَلِكَ كُلِّهِ بِالْمِرْصَادِ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad
Ibnu Abul Hawari, telah menceritakan kepada kami Yunus Al Hazza, dari Abu Hamzah
Al-Bisani, dari Mu'az ibnu Jabal yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Hai Mu'az., sesungguhnya orang mukmin itu menjadi tawanan Tuhan
yang Hak. hai Mu'az., sesungguhnya orang mukmin itu tidak dapat terbebas dari
ketakutannya dan tidak merasa aman dari kekhawatirannya sebelum ia meninggalkan
jembatan Jahanam berada di belakang punggungnya (telah melaluinya dengan
selamat). Hai Mu’az., sesungguhnya orang mukmin itu diikat oleh Al-Qur'an
terhadap kebanyakan nafsu syahwatnya dan terhadap hal-hal yang membinasakan
dirinya karena terjerumus ke dalamnya dengan seizin Allah Swt. maka Al-Qur’an
adalah penunjuk jalannya, takut kepada Allah adalah alasannya, dan rindu
kepada-Nya merupakan kendaraannya, salat adalah gua perlindimgannya, puasa
adalah bentengnya, sedekah adalah kebebasannya, dan kejujuran (kebenaran)
adalahpemimpinnya, malu adalahpembantunya, dan Allah Swt. dibelakang itu
semuanya selalu mengawasinya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Yunus Al-Hazza dan Abu Hamzah merupakan
perawi yang tidak dikenal; Abu Hamzah meriwayatkan dari Mu’az berpredikat
mursal, seandainya hanya dikatakan dari Abu Hamzah saja tentulah baik. Yakni
seandainya hadis ini hanyalah semata-mata perkataan Abu Hamzah saja, tentulah
baik (karena berarti seadanya, mengingat Abu Hamzah tidak mengalami masa Mu'az
ibnu Jabal).
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami
Al-Walid ibnu Muslim, dari Safwan ibnu Amr, dari Aifa', dari Ibnu Abdul Kala'i,
bahwa Aifa' pernah mendengarnya sedang memberi pelajaran kepada orang banyak,
yang antara lain ibnu Abdul Kala'i mengatakan bahwa sesungguhnya neraka Jahanam
itu mempunyai tujuh buah tanggul, sedangkan sirat berada di atas semiianya itu.
ia mengatakan bahwa lalu semua makhluk ditahan di tanggul yang pertama. dan
dikatakan kepada mereka:
{وَقِفُوهُمْ
إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ}
Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan
ditanya. (Ash-Shaffat: 24)
Lalu mereka dihisab tentang salat mereka dan mereka dimintai pertanggung
jawaban mengenainya. Maka binasalah karenanya orang-orang yang binasa dan
selamatlah karenanya orang-orang yang selamat. Apabila mereka telah sampai di
tanggul yang kedua, maka dihisablah mereka terhadap amanatnya, apakah mereka
menunaikannya dan apakah mereka mengkhianatinya. Maka binasalah orang-orang yang
binasa dan selamatlah orang-orang yang ditakdirkan selamat. Dan apabila mereka
telah sampai di tanggul yang ketiga, maka mereka dimintai pertanggung jawaban
tentang hubungan persaudaraan, apakah mereka menjalinnya ataukah memutuskannya.
Maka binasalah orang-orang yang binasa dan selamatlah orang-orang yang
selamat.
Ibnu Abdul Kala'i melanjutkan kisahnya, bahwa rahim (persaudaraan) pada hari
itu menjulur ke udara diatas neraka Jahanam seraya berdoa "Ya Allah, barangsiapa
yang menghubungkan diriku, maka hubungilah dia. Dan barangsiapa yang memutuskan
aku, maka putuskanlah dia." Ibnu Abdul Kala'i mengatakan bahwa itulah yang
dimaksud oleh firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.
(Al-Fajr: 14)
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan dari asar ini secara apa adanya,
tetapi Ibnu Abu Hatim tidak menyebutkannya secara lengkap.